Kamis, 28 April 2011

Hukum dan ketertiban

KETERTIBAN  TANPA HUKUM
  
                    Hubungan hukum dengan masyarakat diungkapkan dalam bahasa latin yang sederhana yaitu ubi societas ibi ius yang artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Kandungan kata ini juga berarti bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa tatanan. Dimanapun dan kapanpun manusia senantiasa hidup dengan tatanan sebab kalu tidak maka kehidupan manusia tersebut akan chaos (kacau). Lalu kalau ada orang yang mengatakan bahwa manusia bisa hidup tertib tanpa hukum, apakah hal demikian dimungkinkan.
                    Hukum memang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan keamanan  dalam masyarakat. Ini dikarena bahwa hukum itu sendiri diciptakan memang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Sejak dahulu kala para ahli hukum atau filsafat hukum telah memperhatikan hal ini, sehingga kondisi tersebut telah melahirkan beberapa aliran dalam cabang filsafat hukum seperti hukum alam dan positivisme hukum. Filsafat hukum merupakan suatu bentuk dari upaya manusia dalam menjawab tantangan-tantangan yang muncul pada umat manusia seputar mencari format hukum mana yang paling tepat untuk dilaksanakan.
                    Lahirnya hukum   Alam atau hukum kodrat merupakan sejarah umat manusia dalam usahanya untuk menemukan keadilan yang mutlak (absolute justice).  Dalam pemikiran hukum alam, keadilan merupakan tujuan utama dari hukum tersebut.  Karena itu keterkaitan antara hukum dan moral tidak dapat dipisahkan. Berbeda dengan aliran positivisme hukum yang lebih menonjolkan kepada kepastian hukum, sehingga dalam aliran positivisme hukum relasi  antara hukum dan moral adalah terpisah.
                    Dalam pandangan ilmu hukum lahirnya aliran positivisme hukum merupakan cikal bakal lahirnya hukum modern. Dalam konteks hukum modern kepastian hukum sangat ditonjolkan. Sehingga disini kepentingan individual lebih diutamakan daripada kepentingan orang banyak.
                    Dalam tulisan ini hukum yang penulis maksud adalah hukum modern. Yaitu hukum yang mulai dikenal sejak abad ke-18/19, dimana sebelumnya apa yang disebut dengan hukum modern itu belum dikenal. Sehingga akan kita lihat apakah   hukum modern dapat mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum itu sendiri yaitu ketertiban. Dalam pelajaran hukum yang mulai dipelajari oleh mahasiswa hukum, maka relasi antara hukum dan ketertiban sangat erat, dan dapat dikatakan tujuan dari hukum itu sendiri adalah ketertiban. Sebagaimana dikatakan oleh Van Vollenhoven, bahwa tujuan dari hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai (tertib hukum). Sehingga perdamian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi setiap kepentingan-kepentigan manusia yang tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta dan sebagainaya terhadap yang merugikannya.
                    Untuk mengatur ketertiban tersebut maka dalam   tataran hukum modern kepastian hukum lebih memungkinkan untuk diterapkan, karena takaran keadilan sulit untuk diukur secara formal. Oleh karena itu dikalangan ahli hukum modern, memandang hukum adalah aturan yang dibuat secara tertulis dan formal. Dalam pandangan legalistik formalistik, keadilan adalah bila aturan yang diciptakan oleh penguasa dilaksanakan, dan pelanggaran terhadap aturan tersebut merupakan kejahatan dan pelaku harus dihukum. Dalam konteks ini hukum modern tidak melihat apa dasar seseorang telah melakukan pelanggaran terhadap hukum tertulis tersebut.
                    Prof.Sajipto Rahardjo mengatakan, tidak mudah untuk mengatakan bahwa hukum (hukum modern) mampu mengatur ketertiban, alih-alih mengatur ketertiban malah sering kali hukum menimbulkan ketidak tertiban atau kekacauan (chaos). Pertama harus disadari terlebih dahulu bahwa hukum modern lahir seiring dengan perkembangan paham liberal (liberalisme) di Amerika dan Eropa. Dimana dalam liberalisme kepentingan idividual sangat diagungkan, sehingga untuk melindungi kepentingan indivudual diganakan sarana hukum. Lalu hukum berkembang dari format hukum yang tidak dikenal sebelumnya dibuat dalam bentuk yang lebih legal, yaitu dengan mewujudkan adanya kepastian hukum bagi perlindungan kepentingan individual diperlukan hukum tertulis (legalisme).
                  Oleh karena itu dalam hukum modern lahirlah beberapa asas yang memperlihatkan menonjolnya kepentingan individu. Seperti pengakuan hak milik sebagai hak yang mutlak, asas seorang tidak boleh dihukum bila aturan terlebih dahulu tidak ada melarangnya dan lain sebagainya.
                    Indonesia walau tidak jelas sebagai penganut aliran positivisme hukum, akan tetapi meanstream yang dianut adalah positivisme hukum. Sehingga lahirlah produk-produk hukum yang dibuat penguasa tanpa didasari dengan pengkajian mendalam mengenai aturan yang hendak diterapkan. Lahirnya UUPA Nomor 5 tahun 1960 telah mengakibatkan benturan antara hukum adat dengan hukum pertanahan nasional. Sehingga rakyat yang telah lama menguasai dan mengusahai tanah tersebut didasarkan pada hak ulayat harus kehilangan hak atas tanah tersebut, bahkan harus tergusur dari tanah diamana selama ini telah menjadi sumber penghidupan dan tempat tinggalnya, karena tanah yang mereka kuasai dan usahai selama ini telah menjadi milik lain hanya dengan dasar orang tersebut telah memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh pemerintah (BPN). Menurut UUPA sertifikat merupakan bukti terkuat dalam hal kepemilikan hak atas tanah.  Lalu apakah dengan demikian dapat kita katakan hukum tersebut telah menimbulkan ketertiban atau kedamaian dalam masyarakat.  Kita dapat mencatat sejak bergulirnya reformasi di Indonesia, gelombang unjuk rasa masyarakat yang hendak memperoleh hak atas tanahnya yang telah dirampas pada masa orde baru terus berlangsung tanpa henti. Kasus Maruya, kasus tanah PTP di Deli serdang, kasus Polonia dan lain sebagainya bukti  bahwa hukum telah melahirkan ketidak tertiban.
                    Lahirnya Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga UU nomor 23 tahun 2004, memang memiliki tujuan yang baik (filosofisnya), tapi penulis melihat bahwa masyarakat belum bisa memahami undang-undang tersebut dengan baik. UUKDRT menjadi contoh bagi pemerintah untuk menertibkan masyarakat dengan menggunakan sarana penal. Tapi fakta karena ketidak pahaman masyarakat justru ada rumah tangga yang berantakan karena UUKDRT tersebut. Seorang suami yang menampar istrinya, lalu istri melapor kepihak Kepolisian dan akhirnya suami ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara karena telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Ternyata persoalan tidak selesai disitu, suami yang merupakan tulang punggung kehidupan keluarga menjadi kehilangan pekerjaan dan istri serta anaknya tersebut yang bergantung kepada suami menjadi terlantar. Lalu dapatkah kita mengatakan bahwa hukum telah memberikan ketertiban dan kedamaian?
                    Apa yang penulis kemukakan diatas adalah contoh kecil  bahwa hukum ternyata sering  menimbulkan kekacauan. Bila kita lihat kebelakang ternyata masyarakat pada masa dulu bisa hidup dengan tenang tanpa ada hukum, Masyarakat dapat mengelola lahan dan mengambil hasil hutan tanpa harus dikenai sanksi melanggar undang-undang kehutanan. Persoalan-persoalan atau konflik  dalam masyarakat  ternyata bisa selesai dan masyarakat dapat hidup tenang kendati tanpa  hukum. Hal ini membuktikan bahwa penyelesaian sengketa secara adat jauh lebih menyentuh perasaan hukum (rechtgevol) masyarakat ketimbang penyelesaian melalui hukum modern.
                    Prof. Soedjito Rahardjo telah mengungkapkan tulisan Kathryn E. Neilson tentang bagaimana keadaan diluar hukum ternyata masih ada ketertiban. Contoh ini terjadi di Kamboja sebagaimana ditulis Kathryn E.Neilson.
                    Pada tahun 1975 di Kamboja Parta Demkratik Kamboja  (khemer Merah) mengambil alih kekuasaan dan menghancurkan semua institusi tradisional yang ada dalam rangka membangun suatu masyarakat Marxis. Semua rakyat diperkotaan dan yang berpendidikan hampir semua dibabat habis, Pengadilan, Fakultas Hukum dan lain-lain dihancurkan. Buku-buku dimusnahkan, Hakim, advokat dan para gurubesar  dibunuh atau melarikan diri. Sehingga dari 400-600 tenaga hukum profesional yang ada pada tahun 1979 telah menyusut dan tinggal enam sampai 12 orang saja. Kondisi ini menjadikan Kambojo merosot menjadi suatu negara tanpa hukum. Ternyata walaupun keadaan Kamboja demikian kehidupan tetap berjalan kendati hukum ambruk sama sekali. Ini berarti diluar hukum ternyata masih ada ketertiban.
                    Tidak dapat dipungkiri penyelesaian sengketa dalam masyarakat tidak selamanya bisa diselesaikan di pengadilan. Hukum modern saat ini telah menjadikan pengadilan sebagai sarana untuk mencari pemenang, pengadilan tidak lagi sebagai institusi yang memberikan keadilan. Ketika terjadi perdebatan antara Hakim, Jaksa dan advokat diruang sidang tidak lain merupakan perdebatan yang hendak membuktikan siapa yang lebih unggul. Tidak lagi perdebatan untuk mencari kebenaran atau keadilan.
                    Pergulatan terbesar manusia dalam hidupnya adalah pergulatan dalam mencari atau menciptakan keadilan dalam masyarakat. Lalu apabila hukum (modern) itu sendiri telah menciptakan ketidak teraturan apakah masih dapat dikatakan hukum. Jadi dalam konteks ini perlu kita pikir ulang apakah hukum modern yang telah kita terapkan saat ini yang sebenarnya jauh dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat masih terus dipertahankan. Tanpa hukum yang ada saat ini masyarakat Indonesia telah hidup tertib, lalu kenapa saat ini dengan menerapkan hukum modern masyarakat merasa hukum itu sebagai hal asing?    

1 komentar:

  1. membantu saya sekali gan, untuk mencari referensi di artikel saya ini http://www.jurnaliscun.com/2016/02/hukum-dan-ketertiban.html

    BalasHapus