Selasa, 27 November 2012

Filsafat Hukum


HUKUM KESEIMBANGAN
Theseus adalah pahlawan yang sangat terkenal dalam legenda (mitologi) rakyat  Athena, bahkan oleh kehebatan Theseus dan perannya yang sangat besar bagi  rakyat Athena, telah melahirkan ungkapan ditengah-tengah rakyat Athena yang mengatakan, “kota Athena bukan apa-apa tanpa Theseus”. Dia dianggap  pahlawan, dikarenakan kesetiaannya untuk berkorban demi rakyat Athena untuk melawan seorang monster bernama Minotaur. Ada hal yang menarik dari kisah Theseus, yaitu pemikirannya yang sederhana  mengenai keadilan.
Bagi Theseus hukuman yang adil bagi penjahat adalah menghukum sipenjahat dengan hukuman seperti si penjahat menghukum korbannya. Misalnya Sciron yang telah menghukum korbannya dengan menyuruhnya berlutut dan mencuci kakinya dan kemudian menendangnya kelaut; Theseus melakukan hal yang serupa pada Sciron. Begitupula dengan Sinis, yang membunuh korbannya dengan mengikat mereka dipohon Pinus, juga mati dengan cara demikian.[1]
Hukum yang diterapkan oleh Theseus tersebut adalah gambaran dari “hukum keseimbangan”(lex Illianos). Tradisi Yahudi juga mengenal hukum keseimbangan yang dikenal dengan istilah  “gigi ganti gigi” dan  “mata ganti mata”. Artinya dalam hukum Yahudi, bila seseorang melakukan pembunuhan, maka sipembunuh tersebut juga harus dihukum bunuh.
Setelah saya renungkan, ternyata alam telah mengajarkan kita tentang hukum yang sesungguhnya. Tatkala Tuhan menciptakan alam semesta ini, Dia telah membentuk hukum keseimbangan itu. Dia menciptakan Siang dan malam, ada terang dan ada gelap, ada laki-laki dan perempuan dan lain sebagainya yang kesemuanya menunjukan adanya keseimbangan.
Hukum Islam juga mengenal hukum keseimbangan ini, seperti bagi pencuri hukuman baginya adalah dipotong tangannya, karena dianggap tangan tersebut telah melakukan kejahatan pencurian, kareana tanganlah yang digunakan pencuri dalam melakukan kejahatan tersebut. Istilah yang digunakan dalam Hukum Islam mengenai hukum keseimbangan atau hukum pembalasan ini adalah Qisos.
Hukum keseimbangan atau biasa juga disebut hukum pembalasan, sesungguhnya hendak mengajarkan kepada kita, tentang bagaimana alam akan melakukan hal serupa kepada seseorang sebagaimana yang telah dia perbuat. Ada ungkapan yang mengatakan apa yang kamu tabur, maka itu juga yang akan kamu tuai. Tidak mungkin petani yang menabur benih padi akan menuai (memanen) jagung atau apel, tentu jika yang ditabur adalah benih padi, maka yang akan dituai juga adalah padi.
Hukum keseimbangan ini termasuk juga hukum alam (natural law). Alam akan memberikan balasan yang setimpal terhadap apa yang telah dilakukan manusia. Ketika manusia tidak lagi bersahabat dengan alam dengan cara merusak hutan, maka alampun akan memperlihatkan ketidak bersahabatannya, yaitu dengan  menghukum manusia misalnya, melalui bencana banjir.
Hukum keseimbangan ini membenarkan ungkapan yang mengatakan, apa yang hendak orang lain perbuat pada dirimu, maka perbuatlah itu juga pada orang lain. Kalimat ini akan mengajarkan kita bagaimana bersikap dalam kehidupan ini. Ketika anda senang memberikan senyuman pada orang lain, maka percayalah anda akan menemukan banyak orang lain selalu tersenyum dengan anda.
Begitu pula ketika anda berbuat baik kepada sesama, percayalah alam juga akan memberikan kebaikan kepada anda. Ketika anda banyak memberi alam akan membuat anda tidak pernah merasa kekurangan, dan bahkan lebih dari itu, anda akan menyaksikan betapa banyaknya kebaikan yang akan anda terima disepanjang kehidupan anda.
 Pelajaran yang dapat kita petik adalah janganlah pernah berhenti untuk melakukan hal-hal yang baik. Amsal Sulaiman juga mengajarkan kita tentang hukum keseimbangan ini, “Siapa mengejar kebaikan, berusaha untuk dikenan orang, tetapi siapa mengejar kejahatan akan ditimpa kejahatan”. So, berbuat baiklah sepanjang umurmu dan mulailah sekarang!.






[1] Dikutip dari buku karangan Edith Hamilton, Mitologi Yunani, 2011, hal.134.

Senin, 12 November 2012

Persidangan In Absensia


PERSIDANGAN IN ABSENSIA DALAM PERKARA KORUPSI
           
      Persidangan in absentia merupakan penyimpangan dari proses persidangan secara umum, sebab menurut KUHAP dalam Pasal 196 ayat (1) menyebutkan, “Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain”.  Penyimpangan dari ketentuan ini,  dalam hal apabila  undang-undang memang secara tegas membolehkan persidangan in absensia. Pertanyaannya adalah apakah KUHAP ada mengatur tentang persidangan secara in absensia?
      Persidangan secara in absensia dalam KUHAP hanya berlaku terhadap perkara pelanggaran lalu lintas, hal ini diatur dalam Pasal 213 KUHAP yang menyatakan,    terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang”. Selain itu, Pasal 214 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP menyatakan:
(1)  Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan;
(2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera disampaikan kepada terpidana;
      Apabila mengacu pada ketentuan dalam KUHAP, maka persidangan in absentia pada prinsipnya tidak dapat dibenarkan, kecuali terhadap pelanggaran lalu lintas yang memang secara tegas disebutkan dalam KUHAP. Akan tetapi oleh Mahkamah Agung telah pula memperluas pelaksanaan persidangan secara in absensia. Melalui surat Edaran Mahkamah Agung   No. 9 Tahun 1985 tentang Putusan yang Diucapkan di Luar Hadirnya Terdakwa Mahkamah Agung berpendapat bahwa perkara-perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat (baik perkara tindak pidana ringan maupun perkara pelanggaran lalu lintas jalan) dapat diputus di luar hadirnya terdakwa (verstek) dan Pasal 214 KUHAP berlaku bagi semua perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat.”.
Jadi, hukum acara pidana tidak hanya mengakui keberadaan persidangan secara in absentia untuk perkara pelanggaran lalu lintas jalan, melainkan berlaku juga bagi perkara tindak pidana ringan (lihat Pasal 205 KUHAP).
      Persidangan in absentia merupakan persidangan tanpa hadirnya terdakwa, larangan terhadap persidangan in absentia adalah berangkat dari asumsi dasar bahwa persidangan pidana harus dilaksanakan dengan memperhatikan hak-hak asasi dari terdakwa, sehingga pelaksanaan persidangan in absentia dianggap pelanggaran terhadap hak-hak terdakwa, karena persidangan tersebut mengakibatkan    hak-hak bagi terdakwa untuk melakukan pembelaan   akan  terabaikan.  Lalu apakah ada ketentuan lain yang membolehkan dilaksanakannya peradilan in absentia. 
      Ada beberapa perundang-undangan di Indonesia yang membolehkan dilaksanakannya peradilan secara in absensia. Ketentuan tersebut diatur dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001, Undang-undang   No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang  dan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009.
      Dalam Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001, dasar hukum  peradilan secara in absensia, diatur dalam Pasal 38 ayat (1) yang menyebutkan “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
      Bagaimanakah pelaksanaan persidangan secara  in absensia ini? Ada dua pandangan dikalangan penegak hukum tentang pelaksanaan peradilan secara In absensia. Pandangan pertama berpendapat,  persidangan secara in absensia hanya bisa dilaksanakan apabila sebelumnya dalam penyidikan tersangka telah diperiksa dan dibuat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), sehingga bila dipersidangan ternyata terdakwa tidak hadir, maka persidangan dapat dilanjutkan dengan persidangan tanpa hadirnya terdakwa (in absensia). Sedangkan pandangan kedua, peradilan secara in absensia dapat dilaksanakan, meskipun sejak awalnya (penyidikan) tersangka tidak pernah hadir atau diperiksa.
      Terhadap pandagan pertama, barangkali tidak akan menimbulkan persoalan, karena baik keterangan maupun identitas terdakwa telah tecantum sebelumnya dalam BAP. Bagaimana dengan identitas terdakwa yang sejak awal tidak diketahui, karena pada saat penyidikan terdakwa tidak pernah diperiksa?
      Memang pengaturan tentang persidangan secara in absensia tidak diatur secara detail dalam undang-undang, misalnya apakah penyidikan secara in absensia juga dibenarkan? Hal ini akan terkait erat dengan pembuatan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Sebagaimana diketahui, ketentuan dalam KUHAP yaitu Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b, menyatakan:
Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi :
a.    Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tangga lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
b.    Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Apabila terdakwa sejak awal (tahap penyidikan) tidak pernah diperiksa yang pasti identitas terdakwa tidak akan diperoleh secara lengkap, sehingga identitas terdakwa dalam surat dakwaan tidak lengkap sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 143 ayat (2) huruf a tersebut.
Persoalannya adalah apakah dengan identitas yang tidak lengkap tersebut akan membawa konsekwensi terhadap surat dakwaan? Ketentuan dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP hanya menyatakan dakwaan batal demi hukum dalam hal tidak memenuhi ketentuan dalam ayat (2) huruf b yaitu apabila uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan tidak dipenuhi. Artinya dakwaan yang tidak diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidananya akan berdampak dakwaan batal demi hukum. Sedangkan identitas yang tidak lengkap tidak mengakibatkan dakwaan batal demi hukum.
Maka dapat disimpulkan, apabila dilakukan persidangan secara in absensia, maka tidak ada keharusan bahwa identitas terdakwa harus lengkap, cukup apabila nama terdakwa saja disebutkan, karena ketidak lengkapan identitas terdakwa tidaklah menyebabkan dakwaan  batalkan demi hukum.
Bahwa dengan uraian sebagaimana disebutkan diatas, maka peradilan in absensia dalam tindak pidana Korupsi, tidak mensyaratkan bahwa terdakwa harus terlebih dahulu diperiksa dan dibuat BAPnya pada saat penyidikan. Ketentuan dalam pasal 38 ayat (1) tersebut hanya mensyaratkan apabila terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah,
Disamping itu, apabila penasihat hukum terdakwa dalam persidangan secara in absensia ternyata hadir hal ini tidak dibenarkan, dan Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut harus menolak kehadiran penasihat hukum terdakwa dalam persidangan secara in absensia. Ketentuan ini diatur dalam surat Edaran Mahkamah Agung nomor 6 tahun 1989  tentang Penasehat Hukum atau Pengacara yang Menerima Kuasa dari Terdakwa/Terpidana "In Absentia". Ketidak hadiran terdakwa secara sengaja dianggap sebagai menghambat jelannya persidangan dan pelaksanaan putusan hakim.