Kamis, 19 Desember 2013

Sosial



PERSPEKTIF
Perspektif itu adalah cara pandang seseorang terhadap sesuatu yang didasarkan pada  pengamatannya, lalu dari hasil pengamatan atas fenomena yang ada tadi membuat suatu penilaian (kesimpulan). Atau dengan kata lain perspektif itu berupa kumpulan asumsi atau keyakinan seseorang atas sesuatu hal.
Terhadap sesuatu objek, setiap manusia pasti punya perspektif yang berbeda. Karena itu tidak ada kebenaran perspektif manusia yang mutlak, yang ada itu perspektif dominan. Bisanya yang dominanlah yang menguasai minoritas. Perspektif minoritas biasanya disebut sesat atau keliru.
Perspektif tadi sering melahirkan kondisi saling mengklaim kebenaran dan menyalahkan pihak lain. Bahkan sering berujung pada bentrok fisik sampai pada pembunuhan. Misalnya ketika Hittler membunuh orang-orang Yahudi, hal itu didasarkan perspektif Hittler bahwa Yahudi itu pembuat masalah.  Hitler mengatakan dalam buku Mein Kampf yang ditulisnya, “Tidak akan kubantai habis seluruh yahudi agar di masa yang akan datang kalian mengerti alasan mengapa aku membantai mereka.” Hitler punya perspektif terhadap bangsa Yahudi dan menurutnya perspektifnya itu benar.
Lalu dapatkah kita mengatakan bahwa Hitler itu tidak waras? Jawabannyapun tergantung dari perspektif mana kita melihat. Barangkali dari perspektif bangsa Jerman saat itu, apa yang diperbuat oleh Hitler itu benar, tapi dalam perspektif bangsa Yahudi tentu lain, mereka akan bilang Hitler tidak waras dan sadis.
Para teroris membunuh orang dengan cara meletakan bom mobil ditengah keramaian, bagi teroris itu adalah kebenaran, tapi orang-orang lain akan memandang itu adalah tindakan gila dan tidak beradab. Siapakah yang benar disini, semua kembali kepada, dari perspektif mana kita milihat.
Fenomena yang terjadi didunia ini juga akan melahirkan perspektif yang bermancam-macam. Bahkan belakangan ini ada benturan antara peradaban modern dan pra modern. Orang-orang modern memandang bahwa peradaban pra modern adalah irrasional, sedangkan orang modern memiliki pandangan yang rasional. Lalu mana yang benar dari dua   peradaban itu. Orang pra modern memiliki pandangan kosmopolitan, sedangkan orang modern lebih berpandangan rasionalitas. Jawabannya tergantung dari perspektif mana kita akan melihatnya.
Agamapun telah melahirkan perspektif bermacam-macam, maka lahirlah dogmatika. Tuhanpun telah dinilai oleh manusia dari perspektif manusia itu sendiri, dan anehnya setiap manusia punya perspektif sendiri tentang Tuhan, akibatnya lahirlah berbagai teologia tentang Tuhan. Orang-orang Hindu akan memandang bahwa yang Maha kuasa itu adalah terdiri dari dewa-dewi, orang Kristen menyebut yang maha Tinggi itu dalam istilah Tritunggal, sedangkan Islam menyebut Allah, bangsa Yahudi menyebutnya Yahwe sedangkan bangsa Yunani menyebut yang maha Tinggi dengan Zeus.
Pertanyaannya, manakah yang benar? Jawabnya tergantung  dari pespektif mana saudara melihatnya. Sama halnya ketika ada sebutan  orang waras atau tidak waras, itupun tergantung dari perspektif mana saudara melihat. Orang yang merasa dirinya waras akan menyebut orang yang tidak sejalan dengan pikirannya dengan tidak waras (gila) sebaliknya orang gila tadi akan menyebut orang waras itu sebagai orang aneh (gila) juga. Jakob Sumarno dalam bukunya ambang waras dan gila, justru melihat kewarasan yang sebenarnya adalah kegilaan, dan kegilaan yang sebenarnya adalah kewarasan. Menurutnya hidup waras itu hanya manipulasi orang-orang gila. Hidup penuh kebohongan. Hidup penuh kepura-puraan. Jadi apa yang disebut hidup waras adalah hidup yang mengikuti cara berpikir umum tentang apa yang disebut waras, jadi itu adalah kesepakatan budaya.
Pendapat Jakob Sumarno tadi memang ada benarnya, tapi itu akan dibantah oleh orang lain dengan perspektif lain juga. Mereka akan berkata bahwa gila itu adalah berprilaku aneh dan tidak lazim.
Lalu apakah yang hendak kita peroleh dari  ada banyaknya perspektif itu? Jawabnnya adalah bahwa kita sesungguhnya tidak bisa mengklaim kebenaran itu dengan menafikan kebenaran menurut perspektif orang lain. Artinya kita harus tetap menghargai pendapat orang lain, kendatipun kita tidak satu ideologi, atau tidak satu paham tidak berarti kita dibenarkan untuk melakukan kekerasan terhadap orang yang tidak sealiran dengan kita tadi, apalagi dengan cara membunuh.
Menonjolkan sikap yang  lebih terbuka dan melihat bahwa dunia ini luas dan memiliki pelbagai peradaban yang mana satu dengan lainnya saling berbeda, tapi perbedaan itu tidak menjadikan kita harus bersikap picik tapi melihat itu sebagai kekayaan dan menjadi sumber pengetahuan bagi kita.
Belajar untuk menerima perbedaan pendapat adalah rahmat. Apabila   orang lain  tidak sependapat dengan kita  atau berpeda  perspektif dalam memandang sesuatu kebenaran, itupun harus kita terima dengan lapang dada, karena dunia ini dari sejawak awal memiliki perbedan. Bahkan menurut kepercayaan sebagian besar orang beragama menyakini bahwa Tuhan sendiri menciptakan perbedaan itu dan memberi pengetahuan pada manusia untuk menilai yang baik dan jahat. Pengetahuan inilah yang melahirkan perspektif dalam kehidupan manusia, karena manusia itu seperti disebutkan oleh Aristoteles sebagai “binatang yang berakal”
Sayapun sadar, bahwa tulisan ini juga belum tentu diterima oleh orang lain yang memiliki perspektif berbeda dengan saya, lalu sayapun tidak bisa mengatakan bahwa apa yang saya tulis ini adalah yang paling benar, karena orang lain bisa saja berpendapat lain. So, mari saling menghormati perbedaan...  

Sabtu, 25 Mei 2013

Buku Hukum






           Tindak Pidana Korupsi yang menimbulkan kerugian keuangan negara dalam UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3, dan terhadap pelanggaran ketentuan tersebut oleh Pasal 18 UU tersebut terpidana dapat dikenakan pembayaran pidana uang pengganti. Masalahnya adalah pembayaran pidana uang pengganti oleh terpidana sering tidak terlaksana. Ada pandangan keliru seolah-olah dengan dilaksanakan pidana tambahan oleh terpidana dengan sendirinya pembayaran pidana uang pengganti oleh terpidana menjadi hapus. Paradigma ini adalah keliru, karena pidana uang pengganti akan tetap menjadi hutang terpidana kepada negara sepanjang belum ada pembayaran. Oleh karena itu Penuntut Umum selaku eksekutor putusan wajib mengejar kekayaan terpidana guna pelaksanaan pidana  uang pengganti tersebut.
      Mengapa sulit terlaksana pembayaran pidana uang pengganti oleh terpidana, dan mengapa pula Penuntut Umum kerapkali gagal melakukan pembayaran pidana uang pengganti (asset recovery), buku ini mencoba membahasnya. Penulis mulai melihat dari sudut pandang   faktor-faktor apa saja yang menghambat sulit terlaksananya pembayaran pidana uang pengganti, disamping itu  mencoba melakukan suatu terobosan baru terhadap hukum, yaitu memasukan konsep hukum perdata kedalam ranah hukum pidana.
      Konsep yang ditawarkan  dalam buku ini adalah konsep sita jaminan (conservatoir beslag). Penerapan konsep sita jaminan  dapat dilakukan sejak penyidikan. Tujuannya tidak lain supaya penjatuhan pidana uang pengganti tidak menjadi sia-sia, karena kerap kali terpidana tidak mau membayar, harta yang dijadikan sita jaminan langsung dapat segera dieksekusi untuk menutupi kerugian Negara yang ditimbulkan oleh perbuatan terdakwa tersebut. Melalui penerapan konsep sita jaminan tersebut diharapkan tunggakan pidana uang pengganti yang tidak dibayarkan oleh terpidana setidaknya dapat dieleminir.
         Penelitian penulis terhadap kendala-kendala yang dihadapai dalam implementasi pidana uang pengganti dalam praktek coba dibahas, penulis akan melihat dari aspek yang mempengaruhi pelaksanaan pidana uang penggati, baik dari aspek substansi (undang-undang), aspek aparatur penegak hukum maupun aspek kesadaran hukum masyarakat (terpidana).  
        Akan dibahas pula aspek pelaksanaan sita jaminan yang dikenal dalam konsep hukum perdata kedalam hukum pidana. Langkah-langkah apa yang perlu dan bagaimana pelaksanaanya dengan cara memadu konsep sita yang dikenal dalam hukum acara pidana dan konsep sita yang dikenal dalam hukum acara perdata.