Kamis, 14 April 2011

Pengadilan Tipikor


KPK DAN PENGADILAN TIPIKOR

       Sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 19 Desember 2006 melahirkan kritik pedas dari beberapa kalangan. Dapat dicatat penyesalan yang  timbul terhadap putusan MK tersebut, misalnya ada yang menganggap bahwa putusan MK tersebut  sebagai putusan kontraproduktif dan ada pula yang  menganggap sebagai penghambat upaya pemberantasan korupsi.    MK dianggap  memiliki andil menghalangi upaya pemberantasan korupsi. Sehingga ada yang berpendapat bahwa dengan putusan MK tersebut pengadilan Tipikor telah di “bunuh”.   
       Sebenarnya bila dilihat isi putusan   MK tanggal 19 Desember 2006 tidaklah bermaksud membubarkan pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). Sebenarnya putusan MK lebih bersifiat putusan koreksi (a verdict of correction) karena MK merasa bahwa  pembentukan Pengadilan Tipikor   bertentangan dengan UUD 1945. Alasannya adalah keberadaan pengadilan Tipikor sebagai ”cantelan” dari UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK tidak dapat dibenarkan.
       Pasal 53 UU Nomor 30 tahun 2002 mensyaratkan perlu dibentuk pengadilan khusus yang mengadili perkara tindak pidana Korupsi. Keberadaan pengadilan Tipikor yang dibentuk berdasarkan undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK itulah yang dianggap oleh MK tidak sesuai dengan maksud dari UUD 1945. Pasal 24 A ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa susunan, kedudukan dan hukum acara Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang.
       Atas dasar itulah maka MK meminta agar DPR bersama Pemerintah segera membuat Pengadilan Tipikor berdasarkan Undang-undang. MK tidak serta merta menyatakan pengadilan tipikor dibubarkan sejak putusan, akan tetapi MK telah memberikan tenggang waktu selama 3 tahun untuk memberikan kesempatan kepada DPR dan pemerintah untuk  membentuk undang-undang mengenai pengadilan Tipikor.  
       Masalah yang dihadapi adalah bahwa setelah diberi tenggang waktu selama 3 tahun oleh Mahkamah Konstitusi, ternyata sampai saat ini (kurang dari dua bulan lagi batas akhir tanggal 19 Desember 2009) undang-undang Pengadilan tipikor tidak juga kunjung selesai dibuat. Keadaan demikian  melahirkan wacana bahwa bila UU pengadilan Tipikor tidak juga selesai, maka KPK tidak dibenarkan lagi melakukan penuntutan, karena dianggap tidak sah. Oleh karena itu banyak kalangan mewacanakan agar Presiden mengeluarkan Perpu untuk pembentukan Pengadilan Tipikor tersebut.
       Apakah memang benar wacana yang mengatakan bahwa bila undang-undang pengadilan Tipikor tidak selesai pada batas waktu yang telah ditentukan mengakibatkan KPK tidak berwenang lagi melakukan penuntutan? Masalahnya tidak sesederhana itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas, kita perlu mengkaji, apakah maksud dari Undang-undang KPK nomor 30 tahun 2002 memang mensyaratkan bahwa KPK hanya diberikan kewenangan untuk melakukan penuntutan di Pengadilan Tipikor.
       Pasal 52 ayat (1) UU KPK menyebutkan Penuntut Umum setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut wajib melimpahkan berkas perkara tersebut ke Pengadilan Negeri. Selanjutnya ayat (2) menyebutkan bahwa Ketua Pengadilan Negeri Wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diperiksa dan diputus.
       Ketentuan tersebut diatas jelas menyebutkan pelimpahan perkara korupsi oleh Penuntut Umum KPK adalah kepada Pengadilan Negeri, tidak menyebutkan kepada Pengadilan Tindak Pidana korupsi. Selanjutnya bila kita lihat ketentuan dalam BAB VII UU KPK dengan titel pemeriksaan disidang Pengadilan, ternyata bila dibaca mulai dari Pasal  53 sampai dengan Pasal 63 tidak ada berbicara tentang pemeriksaan disidang Pengadilan, tapi membahas mengenai pembentukan pengadilan Tipikor. Pasal 63 hanya menegaskan proses persidangan di Pengadilan Tipikor tetap mengacu pada ketentuan dalam KUHAP.
       Mencermati hal tersebut diatas, ternyata pelimpahan perkara ke Pengadilan Negeri oleh KPK tidaklah bertentangan dengan UU KPK. Seterusnya bila pengadilan Tipikor tidak ada, maka tentu proses pelimpahan perkara adalah ke Pengadilan Negeri. Oleh karena itu wacana yang mengatakan bahwa bila UU Pengadilan Tipikor tidak jadi terbentuk maka KPK  tidak berwenang melakukan penuntutan adalah tidak berdasar sama sekali. Indriyanto Seno Adji juga mengatakan bahwa KPK tetap harus melakukan penegakan hukum yaitu melakukan penuntutan, pelimpahan dan penyidikan perkara seperti biasa kendati RUU Pengadilan Tipikor tidak selesai dibahas hingga DPR Periode 2004-2009 mengakhiri tugasnya.(kompas, 20-08-2009)
       Begitupula dengan wacana yang mendesak agar Presiden mengeluarkan Perpu untuk mengatasi kegagalan pembentukan pengadilan Tipikor sama sekali tidak berdasar juga. Perpu yang dikeluarkan oleh Presiden harus memiliki kriteria yaitu dalam hal keadaan darurat atau dalam hal kegentingan yang memaksa.  Permasalahannya apakah kegagalan pembentukan pengadilan Tipikor merupakan keadan darurat atau  keadaan hal kegentingan yang memaksa? Apakah dengan tidak terbentuknya pengadilan Tipikor maka bubarlah KPK?
       Pengertian hal kegentingan yang memaksa menjadi syarat mutlak bagi Presiden untuk mengeluarkan Perpu. Penafsiran mengenai hal kegentingan yang memaksa tersebut dalam praktek  kadang kala memang menjadi bias dan tidak jelas. Untuk melihat batasan ”hal ihwal kegentingan yang memaksa” dapat dilihat pendapat Prof. Bagir Manan dalam bukunya teori dan Politik konstitusi. Dikatakannya bahwa hal ilhwal kegentingan yang memaksa tersebut harus bisa dibuktikan secara nyata oleh Presiden. Jika keadaan hal ihwal kegentingan yang memaksa itu tidak dapat dibuktikan secara nyata oleh Presiden, maka Perpu tersebut batal demi hukum, karena bertentangan dengan asas legalitas yaitu dibuat tanpa wewenang. Hal ihwah kegentingan yang memaksa harus menimbulkan bahaya atau hambatan secara nyata terhadap kelancaran fungsi pemerintahan. 
       Seperti yang telah diuraikan diatas ternyata keberadan KPK tidak tergantung kepada keberadan pengadilan Tipikor, karena KPK dalam melimpahkan perkara korupsi dapat dilakukan ke Pengadilan Negeri (umum). Maka   keadaan tentang ”hal ihwal keggentingan yang memaksa” dalam hal ini tidaklah dapat diterima. Oleh karena itu Presiden tidak perlu mengeluarkan Perpu untuk membentuk Undang-undang Pengadilan tipikor.
       Satu hal yang patut disayangkan adalah sikap politik DPR, dimana kendati telah diberikan tenggang waktu 3 tahun oleh MK ternyata tidak dimanfaatkan untuk segera membentuk UU pengadilan Tipikor. Justru yang terjadi mengulur-ulur waktu hingga batas waktu  hampir habis. Pembentukan suatu undang-undang yang dilakukan secara tergesa-gesa akan berakibat jelek, dimana undang-undang yang dirumuskan  tersebut nantinya  bisa kurang baik.


      
        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar