PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN
DALAM PERKARA KORUPSI
I.
PENDAHULUAN
Pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintahan Indonesia sampai
saat ini sepertinya belum membuahkan hasil yang memuaskan. Bahkan ada sinyalamen, tingkat kejahatan korupsi
dimasa era reformasi ini semakin mengganas. Upaya-upaya yang dilakukan
pemerintah untuk pemberantasan korupsi seperti mengganti peraturan
perundang-undangan tentang korupsi, mulai dari undang-undang Nomor 3 tahun 1971
kemudian diubah dengan dengan UU Nomor 31 tahun 1999 dan diubah lagi dengan
undang-undang nomor : 20 tahun 2001 belum membuahkan hasil yang signifikan.
Disamping dilakukan perubahan terhadap undang-undang (penyempurnaan
peraturan) saat ini telah dibentuk koasi lain diluar kejaksaan dan kepolisian untuk penanganan kejahatan korupsi. Disamping
lembaga konvensional yang sudah ada, maka dengan lahirnya undang-undang nomor
30 tahun 2002 telah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki
kewenangan sama dengan kejaksaan dan kepolisian dalam penanganan tindak pidana
korupsi, bahkan jika dirinci mengenai kewenangannya, maka kewenangan yang
dimiliki KPK jauh lebih besar dibanding dengan kewenangan yang ada ditangan
Kejaksaan dan Kepolisian.
Pemberantasan Kejahatan korupsi telah menjadi agenda utama sejak bergulirnya
era reformsi dipertengahan tahun 1998. Era reformasi yang
ditandai dengan tumbangnya rezim pemerintahan Soeharto, maka tuntutan paling
besar yang menggema diseantoro nusantara ini adalah agar kejahatan Korupsi
diberantas. Sebab masyarakat telah muak dengan segala bentuk dan keberadaan
korupsi yang begitu merajalela di negeri ini.
Korupsi memberi akibat yang besar terhadap mayortias penduduk Indonesia,
terutama masyarakt miskin. Korupsi tersebut juga menciptakan risiko
ekonomi-makro yang tinggi, membahayakan kestabilan keuangan, serta
mengkompromikan keamanan dan hukum serta ketertiban umum. Dan diatas segalanya
korupsi merendahkan legitimasi dan
kredibilitas negara di mata rakyat. Karena itu, korupsi menghadirkan ancaman
yang besar terhadap transisi politik dan ekonomi negeri ini.
Dari hasil penelitian beberapa lembaga independan seperti Transparency
Internacional Indonesia (TII) telah melakukan survey yang menunjukan Indonesia merupakan negara paling korup
nomor enam di dunia dari 133 negara. Dikawasan Asia, Bangladesh dan Myanmar
lebih Corp. dibandingkan Indonesia. Nilai indeks persepsi korupsi (IPK)
Indonesia ternyata lebih rendah daripada negara negara tetangga, seperti Papua
Nugini, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Singapura. Sementara itu ditingkat
dunia, negara-negara ver-IPK lebih buruk dari Indonesia merupakan negara yang
sedang mengalami konflik seperti Angola, Azerbaijan, Tajikistan dan Haiti.[1]
Lalu apakah kejahatan korupsi
hanya ada di Indonesia, apakah di negara lain tidak ada korupsi? Persoalannya
tidak disitu, benar dinegara lain juga ada korupsi, tapi yang menjadi catatan
bagi kita adalah bahwa dinegara lain betapa upaya penegakan hukum terhadap
kejahatan korupsi itu telah begitu nyata sehingga orang-orang dapat melihat
bahwa para pelaku kejahatan korupsi akan dijatuhi hukuman berat. Lalu bila kita
bercermin pada negara kita terhadap pemberantasan korupsi, kita akan menyadari
betapa penegakan hukum terhadap pelaku korupsi yang telah terbukti acap kali
dijatuhi hukuman yang ringan.
Masalah krusial dalam pemberantasan korupsi adalah berkaitan dengan
masalah pembuktian. Ada dua alasan mengapa pemberantasan tindak pidana korupsi
sangat sulit, yaitu pertama kwalitas pembuktian Sangat sulit dan kedua karena
pelaku korupsi biasanya dilakukan oleh para profesional yang memiliki minimal
edukasi yang askeptable bagi kemungkinannya dilakukan kejahatan tersebut.
Selain itu, integritas, kapabelitas, dan aktivitas pelaku pada umumnya Sangat
rentan dengan lingkungan terjadinya tindak pidana korupsi ini. Artinya, pelaku
Sangat memahami lingkungan kerja dan format untuk menghindari terjadinya
pelacakan terhadap kejahatan (tindak pidana) korupsi ini.
Mengingat tindak pidana korupsi ini sebagai suatu “seriuosness crime” yang sulit pembuktiannya maka sebagian ada ide
yang berpendapat bahwa penangannya harus dilakukan sedemikian rupa dan bersifat
luar biasa pula. Karena itu, tindak pidana korupsi selain dianggap sebagai “seriusness crime” juga memerlukan
penanganan yang sangat luar biasa (extra ordinary enforcement or measures).
Oleh karena itu dalam undang-undang nomor 3 tahun 1971 mulai diperkenalkan
pembalikan beban pembuktian (Omkering van
bewijslast) hal ini merupakan pergeseran konprehensif terhadap sistem
pembuktian yang ada. Apabila sistem pembuktian dalam Hukum Pidana Formal,
menampatkan Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang memiliki tanggungjawab
dan kewajiban untuk membuktian
suatu perbuatan yang dikategorikan
sebagai tindak pidana, maka dalam tindak pidana korupsi beban pembuktian ini
diletakan pada terdakwa. Artinya terdapat suatu “reversal of burden Proof” atau
“omkering van bewijslast”, yaitu pembalikan beban pembuktian.[2]
Sehubungan dengan
diperkenalkannya pembalikan beban pembuktian dalam penanganan perkara tindak
pidana korupsi, maka akan melahirkan beberapa permasalahan yang dalam tulisan
ini akan dicoba dilakukan pengkajian. Adapun yang menjadi permasalahan dalam
tulisan ini adalah sebagai berikut :
- Bagaimanakah Sistem pembuktian dalam Hukum Pidana?.
2.
Bagaimanakah
penerapan konsep pembalikan beban pembuktian dalam penanganan tindak
pidana korupsi?
II.
SISTEM
PEMBUKTIAN DALAM HUKUM PIDANA
Dalam
hukum pidana, maka masalah pembuktian masuk kedalam sistem kelompok hukum
pidana formal (hukum acara). Namur demikian ada juga yang berpendapat bahwa sistem
pembuktian merupakan hukum pidana materil. Pendapat akhir ini lebih dipengaruhi
berdasarkan pendekatan yang ada dalam hukum Perdata. Dalam Hukum Perdata,
masalah pembuktian memang menimbulkan persepsi yang bias, mengingat aturan
mengenai pembuktian ini masuk dalam kelompok hukum perdata materil maupun hukum
perdata formil.[3]
Sejak
KUHAP diberlakukan dengan Undang-undang nomor 8 tahun 1981, masalah pembuktian
secara tegas diatur dalam kelompok sistem hukum pidana formal (acara). Menurut
Martiman Prodjohamidjojo, SH.,MM mengatakan bahwa makna sistem (hukum
pembuktian) dapat diartinya sebagai suatu keseluruhan dari unsur-unsur hukum pembuktian yang berkaitan dan
berhubungan satu dengan yang lain serta saling pengaruh mempengaruhi dalam
suatu keseluruhan atau kebulatan.[4]
Dapat
disimpulkan bahwa hukum pembuktian itu merupakan suatu proses untuk mencari
kebenaran suatu tindak pidana yang dilakukan terdakwa melalui alat-alat bukti
yang diakui oleh hukum pidana formil tersebut sehingga dapat diketahui apakah
terdakwa benar-benar telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan
atau tidak terbukti sama sekali.
A. Sistem Pembuktian
Apa yang dimaksud
dengan sistem pembuktian, maka dapat diberikan batasan yaitu suatu kebulatan
atau keseluruhan dari berbagai ketentuan perihal kegiatan pembuktian yang
saling kait mengait dan berhubungan satu dengan yang lain yang tidak
terpisahkan dan menjadi suatu kesatuan yang untuh. Adapun isinya sistem
pembuktian terutama tentang alat-alat bukti apa yang boleh digunakan untuk
pembuktian, cara bagaimana alat bukti itu boleh tersebut serta standar/kriteria
yang menjadi usuran dalam mengambil kesimpulan tentang terbuktinya sesuatu
(objek) yang dibuktikan.[5]
Dalam sistem pembuktian terdapat
pengertian yaitu suatu rangkaian upaya yang berisi mengenai ketentuan tentang
bagaimana cara dalam membuktikan dan standar apa yang digunakan dalam menarik
kesimpulan tentang terbuktinya suatu objek yang dibuktikan. Bahwa sistem
pembuktian demikian biasanya dikenal dengan istilah ajaran atau teori
pembuktian. Dalam sistem hukum pembuktian dikenal beberapa ajaran atau teori
tentang pembuktian yaitu :
1. Sistem keyakinan belaka
Sistem Pembuktian keyakinan belaka
ini sering juga disebut keyakinan hakim melulu (conviction intime). Bahwa teori ini berpangkal tolak dari konsep
bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwapun kadang-kadang tidak selalu
membuktikan kebenaran atau pengakuan terdakwa tidak mejamin terdakwa
benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu
diperlukan keyakinan hakim sendiri untuk menentukan bersalah tidaknya terdakwa.
Dengan sistem ini pemidanaan dimunginkan tanpa didasarkan kepada alat-alat
bukti dalam undang-undang. Sistem ini dianut oleh peradilan jury di Prancis.[6]
Sistem pembuktian di Indonesia
pernah dianut yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem
ini menurut Wirjono Prodjodikoro memungkinkan hakim menyebut apa saja yang
menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan médium atau dukun.[7]
Bahkan menurut Andi Hamzah pengadilan adat dan swapraja memakai sistem keyakinan
hakim melulu selaras dengan kenyataan bahwa pengadilan-pengadilan tersebut dipimpin oleh hakim-hakim yang bukan
ahli (berpendidikan) hukum.[8]
2. Sistem Keyakinan dengan alasan logis
Sistem ini tetap berpegang pada
keyakinan hakim, namur keyakinan hakim tersebut harus didasarkan pada
alasan-alasan yang logis. Jadi dalam sistem keyakinan hakim melulu faktor
keyakinan hakim memiliki faktor menentukan, sedangkan dalam sistem keyakinan
hakim dengan alasan logis keyakinan hakim dibatasi. Hakim dalam putusannya
wajib menguraikan alasan-alasannya untuk menyatakan kesalahan pada diri
terdakwa dan alasan-alasan yang diuraikan tersebut haruslah logis.
Keyakinan hakim memang masih
mendominasi putusan hakim, tapi dibatasi dengan dengan dasar-dasar pembuktian
disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada
peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim dijatuhkan dengan
situ motivasi. Sistem ini atau teori pembuktiann ini disebut juga pembuktian
bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vruje
bewijstheorie).[9]
3. Sistem melulu berdasarkan undang-undang
Sistem ini sering juga disebut
pembuktian menurut undang-undang secara positif atau positief wettelijk bewijstheorie. Sistem ini Sangat bertolak
belakang dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim. Dalam sistem ini
yang menjadi acuan bagi hakim untuk menentukan bersalah atau tidak bersalahnya
terdakwa adalah didasarkan alat-alat bukti yang dibatasi oleh undang-undang.
Dibandingkan dengan sistem pembuktian
berdasarkan keyakinan hakim melulu (conviction
in time), sistem ini Sangat bertolak belakang, dimana keyakinan hakim sama
sekali disingkirkan. Hakim dalam mengadili suatu perkara hanya berpijak pada
alat bukti yang sudah ditentukan oleh undang-undang. Dalam sistem ini hakim
bertindak seolah-olah “robot pelaksana” undang-undang yang memang tidak
memiliki hati nurani. Menurut Yahya Harahap, ketentuan sistem pembuktian
berdasarkan undang-undang secara positif ini memiliki nilai kebaikan, karena
lebih dekat dengan prinsip “penghukuman berdasarkan hukum”. Artinya penjatuhan
hukuman terhadap seorang, semata-mata tidak diletakan dibawah kewenangan hakim,
tapi diatas kewenangan undang-undang yang berlandasakan asas : seseorang
terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jira apa yang didakwakan kepadanya
benar-benar terbukti berdasarkan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang.[10]
Dalam sistem berdasarkan
undang-undang secara positif ini sebenarnya memiliki sisi kelemahan, yaitu
hanya menghandalkan kekuatan pembuktian yang didasarkan undang-undang. Sehingga
bisa saja terdakwa bebas karena tidak minimnya alat bukti, atau sebaliknya
terdakwa yang tidak bersalah karena banyaknya saksi-saksi palsu, karena itu pengalaman hakim dalam sistem ini
benar-benar tidak memiliki arti apa-apa.
Sistem ini banyak dianut di Eropah,
saat berlakunya aas inkisitor (inquisitoir)
dalam acara pidana.[11]
Sementara itu Wirjono Prodjodikoro menolak sistem pembuktian berdasarkan
undang-undang secara positif ini diterapkan di Indonesia, alasannya hakim tidak
dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya
tentang hal kebenaran itu, lagipula keyakinan seorang hakim yang Jujuy dan
berpengalam mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.[12]
4. Sistem Menurut UU secara terbatas.
Sistem ini biasa disebut atau
dikenal dengan istilah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijk Stelsel). Teori atau
sistem ini hampir sama dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim
yang logis. Persamaannya adalah bahwa
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang logis dan pembuktian menurut
undang-undang secara negatif, sama-sama menempatkan keyakinan hakim sebagai
sarana untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa.
Perbedaannya adalah bahwa
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang logis tetap berpangkal tolak pada
keyakinan hakim, namun keyakinan itu harus didasarkan pada suatu kesimpulan yang
logis, yang tidak didasarkan undang-undang. Sedangkan pembuktian menurut
undang-undang secara negatif, tetap berpangkal tolak pada keyakinan hakim,
hanya saja keyakinan hakim tersebut didasarkan atau diperoleh dari alat-alat
bukti yang disebutkan secara limitatif oleh undang-undang.
Sistem ini merupakan gabungan dari
dua sistem yang bertolak belakang yaitu sistem pembuktian berdasarkan keyakinan
hakim melulu (conviction in time)
dengan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang melulu (Positief wettelijke bewijs theorie). Dari hasil penggabungan kedua
sistem dari yang saling bertolak belakang itu terwujudlah suatu sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Rumusannya berbunyi : salah
tidaknya seorang terdakwa ditentukan oeh keyakinan hakim yan gdidasarkan kepada
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Menurut Yahya harahap sistem
pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif ini memang memimiliki sisi
kelemahan juga, yaitu keyakinan hakim tetap memiliki dominasi untuk menentukan
salah atau tidaknya terdakwa. Umpamanya, walaupun kesalahan terdakwa telah
cukup terbukti menurut cara dan dengan alat bukti yang sah, pembuktian itu
dapat “dianulir” atau “ditiadakan” oleh
keyakinan hakim. Apalagi jira pada diri hakim terdaat motivasi yang tidak
terpuji demi keuntungan pribadi, dengan
suatu imbalan materi, dapat dengan mudah membebaskan terdakwa dari
pertanggungjawaban hukum, atas alasan hakim “tidak yakin” akan kesalahan
terdakwa. Sekalipun secara teoritis antara kedua componen itu tidak saling
dominan, tapi dalam praktek, secara terselebung unsur keyakinan hakim yang
paling menentukan dan dapat melemparkan secara halus unsur pembutian yang
cukup. Terutama bagi seorang hakim yang kurang hati-hati, atau hakim yang
kurang tanggungj benteng iman dan moralnya, gampang sekali memanfaatkan sistem
pembuktian ini dengan suatu imbalan yang diberikan oleh terdakwa.[13]
B. Sistem Pembuktian Menurut KUHAP.
Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8
tahun 1981 yang dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maka
tentang hukum pembuktian adalah masuk dalam kelompok hukum pidana formil
(acara). Dalam KUHAP diatur sistem pembuktian dan dari KUHAP ini pula kita
dapat mengetahui sistem pembuktian bagaimana yang dianut oleh KUHAP.
Sebagaimana telah disebutkan
diatas, bahwa dalam ilmu hukum pidana ada 4 teori atau sistem pembuktian yang
dikenal, yaitu sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu, sistem
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang logis, sistem pembuktian
berdasarkan undang-undang secara positif dan sistem pembuktian berdasarkan
undang-undang secara negatif. Dari keempat teori atau sistem tersebut bila
dirujuk kedalam ketentuan KUHAP, maka diketahui bahwa KUHAP menganut sistem
pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Untuk mengetahui hal ini
dapat dilihat dalam pasal 183 KUHAP yang isinya :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seorang keculai apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdawalah yang bersalah melakukannya.”
Bahwa ketentuan
dalam pasal 183 KUHAP tersebut merupakan adobsi dari pasal 294 ayat (1) HIR
(hukum acara pidana indonesia sebelum berlakunya KUHAP). Rumusan Pasal 294 ayat
(1) HIR tersebut adalah :
“Tidak
seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan
alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang boleh dihukum dan
bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu.”[14]
Dari rumusan pasal 294 (1) HIR
dengan pasal 183 KUHAP, perbedaan utamanya adalah terletak pada minimal alat
bukti yang diperoleh untuk mendapat keyakinan hakim. Dalam pasal 294 ayat (1) HIR
tidak disebutkan minimal alat bukti yang harus dipenuhi, sedangkan dalam pasal
183 KUHAP secara tegas disebutkan bahwa keyakinan hakim hanya lahir dari
minimal dua alat bukti yang sah. Sehingga sistem pembuktian dalam KUHAP lebih
mendekati sistem pembuktian negatif dibanding dengan HIR.
Bahwa yang dimaksud dengan alat
bukti yang sah adalah alat bukti yang dibatasi oleh undang-undang (KUHAP).
Dalam pasal 184 KUHAP disebutkan urutan alat-alat bukti yang diakui (sah) yaitu
:
- Keterangan saksi
- Keterangan ahli
- Surat
- Petunjuk
- Keterangan terdakwa.
Jadi untuk menjatuhkan atau
menyatakan terdakwa bersalah atau hakim harus mempertimbangkan atau memiliki
keyakinan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah yang disebutkan
undang-undang tersebut. Berdasarkan alat bukti minimum tersebutlah hakim akan
menarik kesimpulan (keyakinannya) untuk menentukan apakah terdakwa bersalah
melakukan tindak pidan ataukah tidak.
Dalam sistem yang dianut KUHAP ini
yaitu sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif, pemidanaan
didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel
en grondslag), yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim
dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada
peraturan undang-undang.[15]
Disamping dua alat bukti yang sah
(alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang) maka keyakinan hakim juga harus
ada untuk dapat menentukan bersalahnya terdakwa. Menurut Adam Chazawi, ada tiga
macam tingkat keyakinan yang harus didapatkan hakim atas sekurang-kurangnya dua
alat bukti tersebut, yaitu pertama Hakim yakin tindak pidana benar-benar telah
terwujud, kedua hakim yakin terdakwa benar-benar telah melakukannya dan ketiga
hakim yakin terdakwa bersalah.[16]
III.
PEMBALIKAN
BEBAN PEMBUKTIAN DALAM PERKARA KORUPSI
Pada prinsipnya dalam pembuktian suatu
perkara yang diajukan kepersidangan, maka sudah menjadi kewajiban Negara Cq.
Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan kesalahan si terdakwa. Hal ini didasarkan
pada prinsip “Siapa yang mendakwakan in casu Negara, maka negaralah yang
dibebani untuk membuktikan apa yang didakwakan itu benar”. Prinsip ini timbul
akibat dari berlakunya asas presemption
of innocence yang yang dijunjung tinggi dalam hokum Acara pidana.
Berdasarkan hal ini, maka
diperkenalkannya sistem pembalikan beban pembuktian (omkering van het bewijslast) dalam Undang-undang tindak pidana
korupsi merupakan penyimpangan dari asas hukum pidana tersebut diatas. Asas
pembalikan beban pembuktian terbalik ini telah mulai dikenalkan sejak
berlakunya undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi nomor 3 tahun
1971. Menurut Prof. Oemar Seno Adji, bahwa penerapan konsep pembalikan beban
pembuktian tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima oleh pandangan para sarjana
hukum. Hal ini berkaitan dengan hak seorang terdakwa /tersangka pada non self in crimination.[17]
Asas pembalikan beban pembuktian
ini hanya dikenal dalam sistem Anglo Saxon dan terbatas pada “certain Cases”, khususnya terhadap
delik “gratification” (pemberian) yang berkaitan dengan “bribery” (suap). Pada sistem Anglo Saxon
tersebut, tidak semua rumusan delik korupsi diterapkan asas pembalikan beban
pembuktian, karena pembalikan beban pembuktian yang bersifat total dan absolute
jelas melanggar prinsip perlindungan dan pehargaan hak-hak Asasi Manusia,
khususnya terhadap hak-hak terdakwa.[18]
A. Sejarah
lahirnya Ide asas Pembalikan beban pembuktian.
Apabila dilihat dari sejarah
lahirnya atau diperkenalkannya pembalikan beban pembuktian dalam perkara tindak
pidana korupsi, sistem pembalikan beban pembuktian terrsebut telah dimulai pada
saat penyusunan undang-undang nomor 3 tahun 1971. Pada saat penyusunan tersebut
dan ide memasukan konsep pembalikan beban pembuktian terbalik tidak sepenuhnya
mendapat persetujuan dari anggota
parlemen. Hal ini menimbulkan perdebatan panjang tentang perlu tidaknya konsep
pembalikan beban pembuktian tersebut dimasukan dalam penanganan tindak pidana
korupsi.
Alasan untuk menolak penggunaan
asas pembalikan pembebanan pembuktian ini adalah karena asas ini dianggap
bertentangan dengan hak-hak terdakwa yang secara universal diakui seperti asas
praduga tidak bersalah (presumption of innocence), begtupula
dengan asas nonself in crimination atau kewajiban untuk mempersalahkan dirinya
sendiri serta asas The right to remain
Silent, atau hak untuk diam, dimana hak-hak tersebut tidak boleh dikurangi
sedikitpun ( Non-Derogable Right).
Atas pertimbangan bahwa penerapan
asas pembalikan beban pembuktian dapat bertentangan dengan hak-hak asasi
manusia (khususnya tersangka/terdakwa), maka penerapan konsep pembalikan beban
pembuktian tersebut sifatnya dibatasi, yaitu tidak mutlak ada ditangan terdakwa
saja. Jadi kendati terdakwa diberikann hak untuk membuktikan bahwa dirinya
tidak bersalah, terhadap Jaksa Penuntut Umum tetap memiliki kewajiban untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah.
Sehingga dapat dikatakan bahwa
pembalikan beban pembuktian yang diberlakukan sejak undang-undang nomor 3 tahun
1971 sampai dengan undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang telah
diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tetap menerapkan asas
pembalikan beban pembuktian yang terbatas dan berimbang. Terbatas artinya
pembalikan beban pembuktian tidak diterapkan secara total dan absolute terhadap
semua delik yang apada pada undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang
telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001. Sedangkan berimbang
artinya beban pembuktian terhadap dugaaan tindak pidana korupsi tetap dilakukan
oleh Jaksa Penuntut Umum. Konsep terbatas dan berimbang inilah yang oleh
sebagian kalangan dianggap tidak efektif, karena hanya gerakan simbolis yang
tidak memiliki daya represi terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ide untuk memberlakukan asas
pembalikan beban pembuktian dalam penanganan tindak pidak pidana korupsi adalah
karena adanya anggapan bahwa tindak pidana korupsi merupkan kejahatan yang
digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime), sehingga untuk penanganan tindak pidana korupsi juga
diperlukan cara-cara yang luar biasa (extra
ordinary enforcement).
Tindak Pidana Korupsi dianggap
sebagai kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime) dan juga kejahatan yang serius (seriosness crime), karena bentuk kejahatannya melibatkan para
pelaku kejahatan ekonomi kelas atas (high
level economic) dan birokrasi kalangan atas (high level beurocratic). Sehingga kejahatan yang melibatkan
kekuasaan ini sangat sulit untuk pembuktiannya, karena pelaku-pelakunya adalah
orang-orang yang terlibat dan memiliki jarangan dengan kekuasaannya. Dengan
demikian tidak menutup kemungkinan akan terjadi benturan kepentingan antara
para penegak hokum dengan pihak penguasa. Sehingga Prfo.Indriyanto Seno Adji
mengatakan bahwa kejahatan korupsi ini seolah-olah menjadi “beyond the law” dan sebagai bentuk perbuatan yang “untauchble by the law”.[19]
Atas dasar hal tersebut diataslah, maka lahirnya ide
untuk menerapkan konsep pembalikan beban pembuktian tersebut. Konsep itu
ternyata dalam pembahasan di parlemen akhirnya disetujui dengan mengambil jalan
tengah, yaitu pembalikan beban pembuktian yang terbatas dan seimbang. Sebab
bila digunakan pembalikan beban pembukitian yang absolut dikahawatirkan akan
terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia.
B. Penerapan
konsep asas Pembalikan Beban Pembuktian dalam praktek.
Bahwa dalam sistem pembuktian,
maka untuk membuktikan in casu
kesalahan terdakwa, maka harus digunakan
standar-standar. Seperti yang telah diuraikan diatas, maka dalam KUHAP
sistem atau ajaran pembuktian yang dikenal atau digunakan oleh hukum acara
pidana di Indonesia
adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (bewijslast negatif wederehctelijk).
Dalam KUHAP standar yang digunakan untuk melahirkan keyakinan hakim adalah alat
bukti yang sah minimal dua alat bukti yaitu : keterangan saksi, keterangan
ahli, surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa.
Dalam KUHAP dikenal bahwa beban
pembuktian (burden of proof) terletak
ditangan Jaksa Penuntut Umum selaku wakil negara dalam melakukan penuntutan
terhadap terdakwa, sehingga tidak dikenal dalam KUHAP bahwa terdakwa memiliki
kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya bersalah atau tidak. Jadi dengan
lahirnya undang-undang tindak pidana korupsi yang dimulai sejak undang-undang
nomor 3 tahun 19971 sampai dengan undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana
yang telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 telah terjadi
pergeseran dalam hal beban pembuktian, yaitu dari Jaksa Penuntut Umum yang
berkewajiban membuktikan telah bergeser kepada terdakwa, dimana terdakwa juga
harus mampu membuktikan bahwa dia tidak bersalah.
Proses pembuktian dalam tindak
pidana korupsi (acara pidana khusus)
adalah tidak ada perbedaan dengan pembuktian dalam acara pidana biasa. Untuk
membuktikan seseorang bersalah tetap mengacu kepada ketentuan dalam pasal 183
KUHAP. Ketentuan tersebut tidak dapat disimpangi, karena ketentuan tersebut
telah menjadi fondasi atau asas pokok pembuktian acara pidana. Jadi disini
penerapan beban pembuktian kepada terdakwa adalah merupakan pergeseran
kewajiban pembuktian dari tangan jaksa penuntut umum kepada terdakwa. Istilah
yang muncul dimasyarakat awam telah menyebutkan sistem pembuktian terbalik,
sebenarnya hal tersebut tidaklah tepat.
Prof. Indriayanto Seno Adji,
mengungkapkan bahwa penggunaan istilah pembuktian terbalik tidak tepat bila
ditelusuri secara gramatikal. Dari
sisi bahasa dikenal sebagai “omkering van
het bewijslast” atau “Revesal Burden
Of Proof” yang bila secara bebas diterjemahkan menjadi “pembalikan beban
pembuktian”. Prof. Andi Hamzah mengungkapkan bahwa tanpa meletakan kata
“beban”, maka makna yang terjadi akan berlainan. Pembuktian terbalik tanpa kata
“beban” dapat ditafsirkan tidak adanya beban pembuktian dari terdakwa, sehingga
bisa saja ditafsirkan secara harfiah yang hanya melihat pergeseran tata urutan
alat bukti saja. Namun demikian, telepas adanya polemik tersebut, publik cukup
mengenal istilah “pembuktian terbalik” sebagai bahagian dari proses terobosan
hukum dalam rangka mempermudah perolehan alat bukti dalam perakar tindak pidana
korupsi.[20]
Ketentuan
khusus mengenai pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi sebagaimana yang
diatur dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam
undang-undang nomor 20 tahun 2001 terdapat dalam :
Ø Pasal 12
B ayat (1) huruf a dan b
Ø Pasal 37
Ø Pasal 37
A
Ø Pasal 38
B
Pasal-pasal
tersebut diatas merupakan hukum acara khusus yang ada dalam undang-undang tindak
pidana korupsi, sehingga inilah yang disebut penyimpangan dari ketentuan dari
KUHAP. Bahwa dengan pasal-pasal tersebut dapat dibagi bahwa ketentuan hukum
pembuktian dalam tindak pidana korupsi ada 3 sistem yaitu pertama sistem terbalik, kedua
sistem biasa, ketiga sistem semi
terbalik (berimbang terbalik).
Untuk mengetahui bentuk atau sistem
beban pembuktian terbalik dalam hukum acara pidana korupsi, dapat dilihat dalam
ketentuan pasal 37 jo 12B ayat (1) jo.38 A dan 38B. Rinciannya adalah :
- Pasal 37 merupakan dasar hukum sistem pembebanan pembuktian terbalik.
- Pasal 12B ayat (1) huruf a dan Pasal 38B merupakan ketentuan mengenai tindak pidana korupsi (objeknya) yang beban pembuktiannya dengan menggunakan sistem terbalik.
Ada dua objek yang harus dibuktikan
oleh terdakwa daam penerapan pembalikan beban pembuktian yaitu :
Ø Pertama :
Pada tindak pidana Korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp.10 juta atau lebih (Pasal 12B ayat 1 Jo.pasal 37 ayat (2) jo.
Pasal 38A). Pada ketentuan ini terdakwa memiliki kewajiban untuk membuktikan
bahwa gratifikasi (pemberian) yang diterimanya itu adalah bukan tindak pidana
korupsi. Disini yang dibuktikan oleh terdakwa adalah langsung pada
unsur-unsurnya sehingga jika terdakwa berhasil membuktikan bahwa
unsur-unsur gratifikasi yang
dituduhkan pada terdakwa tidak terbukti
maka terdakwa harus dibebaskan dari tuntutan hukum (vrisjpraak). Ketentuan ini
merupakan beban pembuktian terbalik yang murni.
Ø Kedua :
Khusus pada harta benda terdakwa yang belum didakwakan (pasal 38B Jo. Pasal
37). Disini yang harus dibuktikan oleh terdakwa adalah harta benda yang
dimiliki oleh terdakwa. Kendati tidak dimasukkan dalam dakwaan, apabila harta
terdakwa tersebut disita, maka terdakwa harus mampu membuktikan bahwa harta
yang dimilikinya baik oleh terdakwa sendiri, istri atau anak-anaknya adalah
bukan dari hasil kejahatan korupsi, bila berhasil dibuktikan terdakwa bahwa
hartanya bukan berasal dari kejahatan, maka terdakwa dapat dibebaskan dari
pidana perampasan barang-barang milik terdakwa. Jadi disini yang dibuktikan
oleh terdakwa adalah tidak langsung pada perkara pokok. Keberhasilan terdakwa
membuktikan hartanya bukan dari hasil kejahatan tidak menjadikan terdakwa
dibebakan dari hukuman.
Sehubungan dalam sistem
pembalikan beban pembuktian sebagaimana
diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi diterapkan secara terbats dan
khusus terhadap dua perbuatan, maka dibawah ini akan diuraikan yaitu :
1. Sistem Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Penyuapan.
Dalam undang-undang tindak pidana
korupsi, gratifikasi kepada pegawai negeri dianggap suap yang untuk
pembuktiannya diatur khusus yaitu diatur dalam pasal 12B ayat (1) yang isi lengkapnya adalah :
“Setiap
gratifikasi kepada Pegawai Negeri atau penyelengara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Yang nilainya Rp.10.000.000,- atau lebih, pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima
gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,- pembuktian bahwa gratifikasi tesebut suap
dilakukan oleh penuntut umum.”
Ketentuan dalam pasal 12B ayat (1)
ini untuk pembalikan beban pembuktian
mensyaratkan pemberian tersebut diatas
Rp.10.000.000, sedangkan dibawah Rp.10.000.000 pembuktian tetap seperti biasa
yaitu mejadi tugas Jaksa Penuntut Umum. Ketentuan dalam pasal 12B ayat (1)
huruf a ini berkaitan erat dengan pasal 37 ayat (2), sebab ketentuan inilah
yang menjadi dasar dibenarkannya pembalikan beban pembuktian, sehingga untuk
menentukan pelanggaran terhadap pasal 12B ayat (1) huruf a harus dijuntokan
dengan ketentuan pasal 37 ayat (2).
Ketentuan dalam pasal 12B ayat (1)
huruf a tersebut memiliki rumusan delik yang sedikit aneh, sebab bila dibaca
sepintas bahwa yang dilarang adalah seolah-olah orang yang memberikan
gratifikasi, padahal yang dilarang itu adalah pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima gratifikasi. Lalu bagaimana dengan yang memberikan
gratifikasi, apakah dapat dihukum atau tidak. Maka untuk melihat hal ini harus
dirujuk pada ketentuan penyuapan aktif sebagaimana yang diatur dalam pasal 5
ayat (1) huruf a atau b; atau Pasal 6 ayat (1) huruf a atau pasal 13
Undang-undang nomor 31 tahun 1999.
Dalam ketentuan paal 12B ayat (1)
tersebut gratifikasi bukanlah tindak pidana suap, tapi “dianggap “ sebagai
tindak pidana suap. Gratifikasi memang bukan bentuk tindak pidana korupsi,
melainkan pengertian harfiah : ialah pemberian dalam arti luas (penjelasan
pasal 12B). Barda Nawawi mengatakan bahwa dilihat dari formulasinya,
“Gratifikasi” bukan merupakan jenis maupun kwalifikasi delik. Yang dijadikan
delik bukan gratifikasinya, melainkan perbuatan menerima gratifikasi.[21]
Sebagaimana telah disebutkan bahwa
yang menjadi dasar hukum diterapkan asas pembalikan beban pembuktian adalah
ketetentuan dalam pasal 37 ayat (2) yang isinya adalah :
“Dalam
hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi,
maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk
menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.”
Ketentuan mengenai pembalikan beban
pembuktian sebagaimana yang diformulasikan dalam pasal 37 ayat (2) tersebut
belum mampu mejawab pemahaman tentang pembalikan beban pembuktian. Dari rumusan
tersebut diatas, akan memunculkan beberapa permasalahan yaitu :
- Bagaimana prosedur atau cara terdakwa dalam membuktikan?
- Apa syarat-syarat (estándar) yang harus ada untuk dapat dinyatakan terdakwa berhasil membuktikan dan tidak berhasil membuktikan?
Perihal prosedur terdakwa untuk
membuktikan, memang tidak dijelaskan sejak kapan, apakah mulai dari tingkat
penyidikan atau tingkat persidangan di pengadilan. Tapi untuk menjelaskan hal
ini, kita perlu melihat pada ketentuan dalam undang-undang tindak pidana
korupsi yaitu pasal 26 yang menyebutkan bahwa penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan
hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang
ini.
Bahwa oleh karena untuk proses
pembalikan beban pembuktian tidak diatur khusus oleh undang-undang tindak
pidana korupsi, maka ketentuan untuk pembalikan beban pembuktian tetap
berpedoman pada KUHAP. Bahwa untuk pembuktian hal tersebut tentu harus mengacu
kepada asas pembuktian yang dianut oleh KUHAP yaitu pasal 183 KUHAP. Sedangkan
alat-alat bukti yang digunakan yaitu mengacu pada ketentuan pasal 184 KUHAP.
Perlu untuk menjadi kajian adalah
bagaimana bentuk pembuktian dalam hal terdakwa menerima gratifikasi Rp.10.000.000,- atau lebih. Oleh kaena dalam
pasal 12B disebutkan penerima
gratifikasi wajib membuktikan, lalu
apakah Jaksa penuntut umum tidak perlu lagi membuktikan dakwaannya, atau
cukup menyebutkan fakta-fakta dalam surat dakwaannya. Karena jelas fakta-fakta
yang diperoleh oleh Jaksa penuntut Umum adalah berdasarkan fakta-fakta yang
diperoleh dari Berita Acara Penyidikan, padahal Berita Acara Penyidikan
bukanlah fakta final. Oleh karena itu upaya jaksa penuntut umum menetapkan
adanya penerimaan gratifikasi berdasarkan fakta-fakta dari Berita Acara
Penyidikan belum dapat diterima sebagai pembuktian.
Hal yang semestinya dilakukan oleh
jaksa Penuntut umum dalam pelaksanaan sistem pembalikan beban pembuktian adalah
Jaksa Penuntut Umum mengumpulkan fakta-fakta yang diperoleh dan dicatat dalam
Berita Acara Penyidikan sekurang-kurangnya dua alat bukti sebagaimana
disebutkan dalam pasal 183 KUHAP. Dari fakta-fakta tersebutlah disusun surat
dakwaan dan diajukan kepada terdakwa
didepan persidangan. Lalu dalam persidangan menjadi kewajiban terdakwa untuk
membuktikan bahwa gratifikasi yang diterima oleh terdakwa bukan penyuapan.
Jadi penuntut umum wajib menentukan lebih
dahulu adanya penerimaan gratifikasi dan nilainya Rp.10.000.000,- atau lebih yang diuraikan
dalam surat dakwaan. Disini Jaksa Penuntut Umum dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti mampu membuktikan fakta-fakta bahwa terdakwa ada menerima
gratifikasi yang nilainya Rp.10.000.000,- lebih. Dan kewajiban terdakwa adalah
membuktikan bahwa gratifikasi yang diterimanya bukanlah suap. Sebab dalam pasal
12B ayat (1) tersebut yang wajib dibuktikan oleh penerima gratifikasi
(terdakwa) adalah bahwa penerimaan gratifikasi tersebut bukan melawan hukum
(suap).
2. Sistem pembalikan beban pembuktian terhadap perampasan
harta benda milik terdakwa.
2.1. Perampasan harta benda yang
belum didakwakan.
Sebagai dasar hukum untuk
membuktikan objek harta benda yang belum didakwakan yang harus dibuktikan
dengan menggunakan sistem pembalikan beban pembuktian adalah pasal 38B. Rumusan
lengkap pasal 38B Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang telah
diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 adalah sebagai berikut :
1)
Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak
pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 14,
Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
tindak pidana korupsi dan Pasal 5 sampai dengan pasal 12 Undang-undang ini,
wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum
didakwakan, tetapi diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
2)
Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta
benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidanan
korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana
korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut
dirampas untuk negara.
3)
Tuntutan perampasan harta enda sebagaiama dimaksud dalam
ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada
perkara pokok.
4)
Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam
ayat (10 bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada
saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada
memorie banding dan memorie kasasi.
5)
Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk
memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4).
6)
Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari
segala tuntutan hukumdari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak.
Dalam ketentuan ini
mengatur tentang dasar hukum sistem pembalikan beban pembuktian sebatas tentang
harta benda terdakwa yang belum didakwakan, tetapi diduga berasal dari tindak
pidana korupsi, dan harta benda yang akan dirampas dan akan dilakukan
pembuktian secara terbalik tersebut adalah khusus terhadap dakwaan perkara
pokok yang berasal dari tindak pidana korupsi pasal 2,3,4,14,15,16, UU no.31
tahun 1999 dan Pasal 5 sampai dengan 12 UU no.20 tahun 2001.
Perbedaan ketentuan pasal
38B ini dengan ketentuan dalam pasal 12B adalah pada sistem pembalikan beban
pembuktiannya. Bahwa pada pasal 12B tentang gratifikasi, terdakwa wajib
membuktikan pokok perkaranya yang menyebutkan bahwa gratifikasi yang
diterimanya adalah bukan korupsi suap. Sedangkan dalam pasal 38B disebut dengan
semi pembalikan beban pembuktian, yaitu dimana Jaksa Penuntut Umum wajib
membuktikan unsur-unsur kesalahan terdawa pada perkara pokok. Sedangkan
pembalikan beban pembuktian dalam hal Jaksa Penuntut umum dalam requisitoirnya
mengajakan perampasan barang-barang terdakwa yang dinyatakan sebagai hasil dari
kejahatan tindak pidana korupsi, maka terdakwa wajib untuk membuktikan bahwa
barang-barang yang dinyatakan untuk dirampas oleh jaksa penuntut umum tersebut
adalah barang-barang yang bukan berasal dari tindak pidana korupsi, dan jika
berhasil terdakwa membuktikan bahwa barang-barang yang akan dikenakan
perampasan tersebut bukan berasal dari
tindak pidana korupsi, maka terdakwa dapat dilepaskan dari perampasan
barang-barang tersebut.
Bahwa keberahasilan terdakwa membutikan
bahwa barang-barang yang akan dirampas oleh negara sebagaimana dalam tuntutan
jaksa penuntut umum tersebut bukan berasal dari tindak pidana korupsi, tidaklah
otomatis atau secara serta merta terdakwa dapat dibebaskan dari pidana pokok.
Jadi dalam ketentuan pasal 38B ini hanya mengatur pembalikan beban pembuktian
khusus pada perampasan barang-barang terdakwa yang diduga berasal dari tindak
pidana korupsi.
Apabila Jaksa dalam
requisitoirnya menyebutkan perampasan terhadap harta benda, maka untuk
pembalikan beban pembuktian dalam perampasan terhadap harta benda ini sesuai
dengan pasal 38B ayat (5) hakim dapat membuka kembali guna memberikan
kesempatan bagi terdakwa untuk mengajukan pembuktian terhadap perampasan
terhadap harta benda terdakwa tidak dapat dibenarkan, karena barang-barang
milik terdakwa tersebut bukan berasal dari tindak pidana korupsi.
Jadi, walaupun terdakwa
berhasil membuktikan tentang harta bendanya yang tidak didakwakan dalam surat
dakwaan, tidak dapat dijadikan dasar menarik amar putusan pembebasan, melainkan
sekedar menyatakan bahwa harta benda yang dituntut oleh Jaksa untuk dirampas
ternyata bukan hasil korupsi, dan oleh karena itu menolak tuntutan jaksa
penuntut umum tersebut.
2.2. Perampasan harta benda yang didakwakan.
Dasar hukum
sistem pembalikan beban pembuktian terhadap objek harta benda yang didakwakan
diformulasikan dalam pasal 37A yang rumusan lengkapnya adalah :
1). Terdakwa wajib memberikan eterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami dan harta benda setiap orang
atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perakara yang didakwakan.
2). Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang
kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan
kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan
untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi.
3). Ketentuan sebagaimana dalam ayat (1) dan ayat (2)
merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalma Pasal
2,Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai
dengan Pasal 12 UU ini, sehingga penuntut Umum tetap berkewajiban untuk
membuktikannya.
Ketentuan ini bila
dikaitkan dengan beban pembuktian yaitu kepada siapa dan bagaimana cara
membuktikannya menurut ketentuan pasal ini dan dihubungkan dengan tindak pidana
korupsi dalam perkara pokok, dapat disebut dengan sistem pembuktian semi
terbalik atau berimbang.
Dalam sistem ini dimana dalam surat dakwaannya jaksa penuntut umum telah mendakwa terdakwa melakukan tindak pidana korupsi (selain suap
gratifikasi) yang sekaligus juga didakwakan mengenai harta benda terdakwa yang
dianggap diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi, maka untuk pembuktiannya
diletakan masing-masing pada jaksa penuntut umum dan terdakwa secara berlawanan
dan berimbang.
Dalam sistem semi
terbalik atau berimbang ini, maka objek yang dibuktikan oleh terdakwa adalah
mengenai harta benda terdakwa yang didakwakan ole Jaksa Penuntut Umum sebagai
hasil dari tindak pidana korupsi, dimana terdakwa akan berusaha membuktikan
bahwa benda yang didakwakan oleh jaksa Penuntut Umum tersebut tidak dari hasil
tindak pidana korupsi tetapi sesuatu yang legal.
Sedangkan objek yang akan
dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam hal ini adalah perkara pokok yang in
casu semua unsur-unsurnya. Jaksa Penuntut Umum berkewajiban membuktikan tentang
telah terjadinya tindak pidana korupsi yang didakwakan, dan dilakukan oleh
terdakwa serta terdakwa bersalah melakukannya.
Dalam pembuktian semi
terbalik ini bisa saja terdakwa berhasil membuktikan bahwa harta benda yang
didakwakan oleh Jaksa Penutut umum sebagai hasil dari tindak pidana korupsi
adalah tidak benar, dimana terdakwa berhasil membuktikan bahwa harta benda yang
didakwakan tersebut adalah hasil
perimbangan dari penghasilannya. Akan tetapi kendati terdakwa berhasil
membuktikan harta benda yang dimilikinya adalah sah, tapi terdakwa tetap
terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang telah
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
IV.
KESIMPULAN
Adapun yang menjadi
kesimpulan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Tujuan
dari pembuktian dalam system hokum pidana adalah suatu sarana untuk mencari
kebenaran materil suatu perkara yang dihadapkan kedepan persidangan. Guna
menemukan kebenaran dari suatu dakwaan, maka diperlukan pembuktikan. Sistem
pembuktian itu sendiri adalah menjadi sarana yang menetapkan standar-standar
apa yang harus digunakan dalam membuktikan kebenaran dari sesuatu yang
didakwakan.
Dalam hokum pidana hokum
pembuktian masuk kedalam kelompok hokum pidana formili (hokum acara pidana).
Bahwa dalam ilmu hokum pidana ada beberapa ajaran atau teori tentang system
pembuktian yaitu pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu, pembuktian
berdasarkan keyakinan hakim dengan alasan yang logis, pembuktian berdasarkan
undang-undang secara positif, dan terakhir system pembuktian berdasarkan
undang-undang secara negative.
Dari pelbagai system
pembuktian tersebut, maka dalam hokum acara pidana di Indonesia (undang-undang
nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP), maka system pembuktian yang kita anut adalah
system pembuktian berdasarkan undang-undang secara negative. Hal ini dapat
dilihat dalam ketentuan pasal 183 KUHAP yang menyebutkan bahwa mengetahui
hal ini dapat dilihat dalam pasal 183 KUHAP yang isinya :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seorang keculai apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdawalah yang bersalah melakukannya.”
2.
Dalam
penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia,
undang-undang yang diterapkan adalah undang-undang nomor 31 tahun 1999
sebagaimana yang telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001. Bahwa
dalam undang-undang tentang tindak pidana korupsi tersebut telah diatur
beberapa ketentuan khusus, diantaranya adalah pembalikan beban pembuktian.
Bahwa disebut pembalikan
beban pembuktian (omkering van bewijslast)
adalah karena dalam system pembuktian biasa, maka yang berkewajiban membuktikan
adalah siapa yang menuntut, dalam hal ini adalah jaksa Penuntut umum. Terdakwa
mempunyai hak untuk diam (The right to
Remain silent), hak untuk dianggap tidak bersalah (presemption of inncence) dan hak untuk tidak menyalahkan diri
sendiri (non-self incrimination),
dengan hak-hak ini tentu tidak ada kewajiban bagi terdakwa untuk membuktikan
ketidak bersalahan dirinya.
Akan tetapi dalam
undang-undang tindak pidana korupsi telah memperkenalkan system pembalikan
beban pembuktian, dimana tidak juga diberi kewajiban untuk membuktikan terhadap
sesuatu hal yang didakwakan kepadanya. Tapi system pembalikan beban pembuktian
yang diterapkan dalam undang-undang pemberantasan korupsi ternyata hanya
terbatas, yaitu pada suap (gratifikasi) dan terhadap perampasan harta benda
milik terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
Pp
[1] Evi
Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal.2
[2]
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Prof. Oemar Seno
Adji, SH dan rekan, Jakarta,
2006, hal.105.
[3] Ibid,
hal. 83.
[4] Martiman
Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU nomor 31
tahun 1999) Cetakan I Bandung CV Mandar Madju, 2001 hal.98.
[5] Adami
Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Koupsi, Alumni Bandung, 2006, hl. 24.
[6] Simon,
D, Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvordering, Haarlem: De Erven F.Bohn, hal.149.
[7] Wirjono
Prodjodikoro, Hukum Atcara Pidana di Indonesia, Djakarta,
Penerbit Sumur Bandung, Hal.72
[8] Andi
Hamzah, Pengantar Hukum Acara Indonesia,
Ghalia Indonesia, 1985, Jakarta, hal.231
[9] Ibid
hal.231
[10] Yahya
Harahap, Pemabahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2000 hal.257.
[11]
D.Simons, Op.cit hal.149.
[12]
Wirdjono Prodjodikoro, Op.cit hal. 75.
[13] Yahya
Harahap, op.cit, hal.259.
[14] R.Tresna, Komentar HIR, Peneribt Pradnya
Paraminta Jakarta, 2000, hal.237.
[15]
Wirdjono Prdjodikoro, Op.cit hal.77
[16] Adam
Chazawi, Op.cit, hal.32.
[17] Oemar
Seno Adji, Hukum Pidana pengembangan, Jakarta,
Penerbit Erlangga, 1985, Hal. 228.
[18]
Indrianto Seno Adji, Op.cit hal.131
[19]
Indriyanto Seno Adji, Op.cit hal. 135
[20] Andi
Hamzah, Ide Yang Melatarbelakangi Pembalikan Beban Pembuktian, Makalah pada
seminar nasional Debat Publik tentang pembalikan Beban Pembuktian, hari Rabu,
tanggal 11 Juli 2001 di Universitas Trisakti.
[21] Barda
Nawasi Arief, Kapita Selcta hokum Pidana, Penerbit PT Citra Aditya Bhakti, Bandung,2003, hal.109