Kamis, 14 April 2011

Kasus Bibit Chandra


QUO VADIS KASUS BIBIT CHANDRA


         Kasus Bibit-Chandra kembali menguak lagi, sehubungan dengan dikabulkannya gugatan praperadilan   Anggodo melalui Penasihat Hukumnya oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selanjutnya setelah  Kejaksaan  mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta, ternyata Pengadilan Tinggi Jakarta tetap menguatkan putusan pengadilan Negeri Jakarata Selatan tersebut. Konsekwensinya jelas sebagaimana isi putusan tersebut yaitu memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk melanjutkan atau melimpahkan perkara Bibit Chandra yang telah di P-21 tersebut.
         Pengadilan Negeri Jakarata Selatan dan PT DKI Jakarta menganggap bahwa SKP2 yang dikeluarkan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah tidak berdasarkan hukum, karena alasan sosiologis yang dijadikan alasan  untuk menerbitkan SKP2 merupakan alasan yang tidak pernah dipergunakan dalam pertimbangan hukum kasus tersebut.
         Sejak semula SKP2 yang diterbitkan oleh Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan telah diprediksi akan menimbulkan masalah dikemudian hari. Karena dianggap alasan yang dikeluarkan oleh jaksa untuk menerbitkan SKP2 tersebut alasan yang tidak kuat dan besar kemungkinan akan dibatalkan. Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP menyebutkan hanya ada 3 alasan bagi Penuntut umum untuk menerbitkan Penghentian Penuntutan yaitu pertama tidak cukup bukti, kedua  bukan merupakan tindak pidana dan ketiga perkara ditutup demi hukum.
         Bila dirunut kebelakang,  usul diterbitkannya SKP2 kasus Bibit-Chandra   bermula dari dibentuknya tim 8 melalui Kepres Nomor :31 tahun 2009 tanggal 2 Nopember 2009 oleh Presiden. Tim 8 berdasarkan Kepres tersebut memiliki tugas melakukan verifikasi terhadap fakta dan proses hukum kasus Bibit-Chandra yang selanjutnya akan dilaporkan kepada Presiden. Dibentuknya tim 8 ini terkait dengan gonjang-ganjing bahwa kasus tersebut merupakan rekayasa yang disimpulkan dari hasil rekaman yang diputar di MK.
        Hasil dari rekomendasi tim 8 yang mengatakan tidak cukup bukti mengajukan perkara Bibit-Chandra ke Pengadilan disampaikan ke Presiden. Tanggapan presiden terhadap rekomendasi tersebut ialah memberikan isyarat kepada penegak hukum untuk menyelesaikann kasus Bibit-Chandra diluar pengadilan (out of sttlement court). Isyarat yang diberikan oleh Presiden itu ditanggapi oleh Kejaksaan dengan menerbitkann SKP2 untuk kasus Bibit-Chandra.
        Jujur saja harus diakui, bahwa penyelesaian terhadap kasus Bibit-Chandra yang dilakukan selama ini merupakan tindakan yang melanggar sistem hukum yang kita anut. Dikatakan telah merusak sistem (tatanan) hukum khususnya sistem peradilan pidana kita adalah karena yang memiliki dominus litis terhadap suatu perkara bisa dialanjutkan atau tidak adalah jaksa.  Perkara Bibit-Chandra oleh Jaksa Penuntut Umum telah dinyatakan lengkap,  maka tidak ada alasan lagi untuk menghentikan perkara tersebut kecuali atas tiga alasan seperti yang telah dikemukakan diatas.
         Keluarnya putusan Pengadilan yang menyatakan SKP2 kasus Bibit-Chandra  tidak sah, ternyata juga disikapi dengan pelbagai pendapat yang kelihatannya semakin membuat runyam kasus tersebut. Lihatlah ada pihak-pihak yang mengusulkan agar Jaksa menerbitkan SKP2 yang kedua kalinya, kemudian ada juga yang mengusulkan agar Jaksa Agung mendeponiring kasus Bibit-Chandra tersebut.
         Memperhatikan usul-usul tersebut terlihat bahwa usul tersebut  tidak berdasar hukum sama sekali, dan  akan berimplikasi pada rusaknya sistem peradilan pidana.  Misalnya penerbitan SKP2 yang kedua kali, jelas mengada-ada. Soalnya yang pertama saja sudah dibatalkan oleh Hakim, lalu atas dasar apa lagi penerbitan SKP2 kedua tersebut. Begitu pula dengan usulan deponering, tidaklah semudah itu. Karena untuk mendeponering suatu perkara, unsur esensialnya adalah   istilah ’kepentingan umum’.
         Apabila perkara tersebut dideponering konsekwensinya adalah bahwa  tuduhan terhadap tersangka/terdakwa telah memenuhi cukup bukti, akan tetapi Jaksa Agung dengan diskresinya memiliki kewenangan untuk mengenyampingkan (deponering) perkara tersebut.  Sementara ada anggapan bahwa Bibit-Chandra tidak bisa diajukan ke Pengadilan dengan alasan tidak cukup bukti atau perkara tersebut direkayasa. Bila demikian halnya, maka tindakan Jaksa mengeluarkan SKP2 adalah sudah tepat, hanya saja alasannya yang tidak dapat diterima oleh Hakim praperadilan.
         Atas dasar itu, maka deponering terhadap perkara Bibit-Candra adalah kurang tepat. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, kalaupun hendak dipaksakan untuk dideponering, pengertian kepentingan umum haruslah terlebih dahulu menjadi jelas. Ternyata pengertian kepentingan umum ini tidak ada keseragaman. Pada masa Hindia Belanda pengertian kepentingan umum juga tidak ada keseragaman sampai dengan masa kemerdekaan, pengertian kepentingan umum tersebar dipelbagai perundang-undangan. Akan tetapi oleh karena ini menyangkut diskresi yang dimiliki Jaksa Agung, maka pengertian kepentingan umum disini harus mengacu kepada ketentuan dalam Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan.
         Pasal 35 huruf c UU nomor 16 tahun 2004 menyebutkan bahwa Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum. Penjelasan pasal tersebut mendefenisikan pengertian kepentingan umum ssebagai kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Penjelasan tersebut memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan terhadap dua hal, pertama terhadap kepentingan bangsa dan negara, sedangkan kedua terhadap kepentingan masyarakat luas. Persoalannya apa yang dimaksud dengan kepentingan bangsa dan negara itu? Dan  apapula itu kepentingan masyarakat luas.
         Ternyata dari pelbagai literatur sulit untuk menemukan adanya defenisi yang jelas mengenai apa itu kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan masyarakat luas itu. Oleh karena itu jaksa Agung sangat jarang sekali  menggunakan hak oppurtunitas tidak lain dikarenakan biasnya pengertian kepentingan umum itu. Jaksa Agung pernah sekali menggunakan deponering tersebut terhadap kasus M.Jasin (tokoh petisi 50). Ketika berkas perkara dilimpahkan ke penuntut umum dalam tahap prapenuntutan, jaksa agung menggunakan hak oportunitasnya sesuai dengan KUHP yaitu dengan mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum. Kepentingan umum dalam hal ini adalah kepentingan politik.
         Kembali kita pada kasus Bibit-Chandra, bahwa untuk mendeponering kasus tersebut adalah sangat sulit, karna biasnya pengertian kepentingan umum. Apalagi dikaitkan dengan suasana bathin masyarakat pada saat ini sangat jauh berbeda dengan suasana batin pada saat penahanan Bibit-Chandra. Maka bila dipaksakan untuk dikeluarkan deponering hal ini akan merusak sistem hukum yang kita anut.
         Dikarenakan tidak memungkinkan diajukan deponering, maka satu-satunya jalan adalah melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan. Kalaupun ada anggapan bahwa bila perkara dilanjutkan ke Pengadilan, maka kondisi KPK akan semakin lemah dikarenakan kurangnya pimpinan KPK, merupakan alasan klasik yang tidak dapat diterima. Ada banyak cara untuk tidak membuat KPK semakin lemah. Hal ini sudah pernah dilakukan ketika Bibit Chandra ditahan, presiden telah mengangkat tiga pimpinan KPK sebagai pelaksana tugas saat itu dengan Perpu nomor 4 tahun 2009.
         Melanjutkan perkara Bibit Candra ke Pengadilan merupakan cara yang sesuai dengan sistem peradilan pidana yang kita anut. Pendapat yang mengatakan bahwa bukti yang diajukan Jaksa sangat lemah tidak serta merta membuat kita melanggar sistem hukum dengan melakukan out of the court settlement. Lagipula Jaksa sebagai  pemilik dominis litis terhadap suatu perkara justru memiliki keyakinan bahwa perkara Bibit Candra telah cukup bukti, maka tidak ada alsan bagi pihak manapun untuk menggagalkan keyakinan Jaksa tersebut, kecuali nanti setelah diuji di Pengadilan.
         Persoalan kasus Bibit Candra sebaiknya jangan dibiaskan dengan eksistensi KPK, karena  KPK tidak  tergantung pada Bbit Candra. KPK adalah institusi sedangkan Bibit Candra adalah oknum dari KPK, jadi bila memang benar ada ditemukan kesalahan pada dirinya tidak serta merta harus berlindung dibalik institusi KPK.
         Disamping itu kita jangan salah persepsi memandang pemberantasan korupsi hanya pada fokus satu institusi yaitu KPK, karena di negeri ini disamping KPK, masih ada lembaga lain yang juga ditugasi untuk melakukan pemberantasan korupsi yaitu Kejaksaan dan Kepolisian. Oleh karena itu sudah sebaiknyua kita merubah paradigma selama ini bahwa kita terlalu bertumpu pada KPK dalam pemberantasan korupsi dengan mengabaikan institusi lain. Semua institusi yang diberi tugas memberantas korupsi harus diberikan perhatian yang sama dan kewenangan yang sama dan  sama-sama diberdayakan sehingga cita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang bebas korupsi dapat terwujud.


            
        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar