Selasa, 20 September 2011

HUKUM dan MORALITAS


HUKUM DAN MORALITAS
       Hukum itu merupakan bagian dari pergumulan manusia dalam upayanya mewujudkan rasa aman dan sejahtera. Karena itu hukum ditengarai menjadi sarana utama dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam kelompok masyarakat. Hukum itu sendiri tidak lepas dari masyarakat, karena telah menjadi aksioma yang mengatakan Ibi society ibi ius, yang artinya dimana ada masyarakat maka ada hukum.
       Hukum itu harus hidup ditengah-tengah masyarakat, sebab hukum tidak sekedar aturan tapi harus diimplementasikan. Hukum merupakan seperangkat aturan yang memberi batasan pada masing-masing individu dalam korelasinya satu individu dengan individu lainnya dan dari satu kelompok kepada kelompok lainnya, sehingga perhubungan itu akan mewujudkan suatu perhubungan yang harmonis dan serasi.
       Bahwa pelanggaran terhadap aturan (hukum) itu perlu mendapat reaksi. Reaksi itu sendiri dapat berupa sanksi. Dengan diterapkannya sanksi diharapkan keharmonisan yang terganggu tadi dapat dipulihkan kembali. Bahwa disinilah mulai masuk pada ranah penjaga hukum itu sendiri atau yang dalam istilah modern disebut sebagai aparat penegak hukum. Fungsi aparat penegak hukum menjadi sangat signifikan, karena merekalah yang diberikan kewenangan oleh masyarakat cq. Negara untuk melaksanakan dan mengawal aturan yang telah menjadi kesepakatan itu.
      Besarnya kepercayaan yang diberikan kepada aparat penegak hukum yang tercermin dari kewenangan yang diberikan padanya menjadikan mereka   orang-orang yang memiliki otoritas untuk membatasi kebebasan individu dan bahkan mematikan individu itu sendiri dalam pelanggaran hukum tertentu yang dianggap berat.
      Persoalan yang muncul adalah, apakah orang yang diberi kewenangan tadi (aparat penegak hukum) telah menjalankan kewenangannya dengan sebaik-baiknya? Salah satu karakteristik hukum modern adalah pengaturan yang dibuat secara positif yang memberi sarana untuk melindungi individu maupun upaya hukum. Karena itu hukum modern merupakan produk yang diciptakan oleh penguasa yang selanjutnya akan menjadi rule bagi yang berada dalam kekuasaan tersebut. Peran aparat penegak hukum disini adalah   memberlakukan hukum itu bagi pelanggarnya.
      Kondisi hukum modern  seperti yang digambarkan diatas  oleh Prof.Satjipto Rahardjo telah mewaspadainya dengan pernyataanya yang mengatakan,”salah satu dari kemungkinan yang mesti diwaspadai adalah bergesernya hukum menjadi permaianan”
      Peran penegak hukum sangat signifikan dalam penegakan hukum itu sendiri, oleh karena itu moralitas penegak hukum adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar yang harus dipegang teguh oleh setiap insan penegak hukum.
      Barangkali sulit untuk dibayangkan bagaimana hukum yang sarat dengan moralitas dipegang oleh orang-orang yang tidak bermoral. Mau kemana hukum itu? Inilah mungkin masalah besar yang sedang dihadapi bangsa ini.  Penegak hukum harus memiliki keteguhan hati untuk menempatkan hukum sebagai pelindung (pengayom) dan hukum yang bersifat kasih. Hukum yang demikian akan member warna lain, yaitu wajah hukum yang tidak lagi menakutkan, tapi menjadikan masyarakat tentram dan percaya pada penegak hukum, karena penegak hukum benar-benar menjadi penegak hukum yang baik dan bermoral.
     


Kamis, 08 September 2011

Hukum Pidana


REMISI UNTUK TERPIDANA KORUPSI
Oleh : Hendri Edison, S.H.,M.H.

Belakangan ini kembali santer diributkan masalah pemberian remisi terhadap para terpidana terkait kasus korupsi. Setiap kali menjelang tanggal 17 Agustus (hari kemerdekaan) maupun saat menjelang perayaan hari-hari besar keagamaan selalu ada berita tentang pemberian remisi, Remisi itu sendiri secara juridis memiliki arti sebagai pengurangan hukuman.
      Menurut ketentuan dalam  dalam Pasal 14 ayat (1) huruf  i Undang-undang nomor 12 tahun 1985 jo Pasal 34 ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2006 menyebutkan bahwa remisi merupakan hak yang diberikan kepada narapidana maupun pidana anak.
      Pemberian remisi kepada terpidana maupun anak pidana , haruslah memenuhi persyaratan.  Tata cara maupun persyaratan untuk memperoleh remisi tersebut diatur dalam Peraturan pemerintah nomor 28 tahun 2006. Pasal 34 ayat (2) PP nomor 28 tahun 2006 secara umum mensyaratkan untuk memperoleh remisi ada dua hal yaitu pertama berkelakuan baik dan kedua telah menjalani pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
      Sedangkan dalam ayat (3) diatur ketentuan lebih spesifik, mengenai pemberian remisi kepada terpidana kasus terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap HAM berat dan kejahatan transnasional lainnya, dimana persyaratan yang harus dipenuhi adalah pertama berkelakuan baik dan kedua telah menjalani 1/3  masa pidana.
      Melihat dari ketentuan yang diatur baik dalam UU nomor 12 tahun 1995 dan Peraturan pemerintah nomor 28 tahun 2006, bahwa tidak ada larangan bagi terpidana korupsi untuk memperoleh remisi. Akan tetapi saat ini sering sekali pada setiap ada remisi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana korupsi senantiasa menuai protes dari beberapa pihak.
      Penanggulangan tindak pidana korupsi dinegeri ini, memang telah menjadi prioritas sejak bergulirnya reformasi. Bahkan gerakan utama dilakukannya reformasi dinegeri ini adalah memberantas korupsi, sehingga kejahatan korupsi dianggap sebagai kejahatan nomor satu dinegeri ini dan harus diutamakan pemberantasannya.
      Penulis memperhatikan, bahwa adalah masalah besar yang dihadapi oleh Indonesia dalam penanggulangan korupsi, dan ini menjadi kegagalan. Persoalan itu adalah bahwa upaya penanggulangan  korupsi dinegeri ini masih berharap sepenuhnya kepada penegak hukum. Penanggulangan korupsi yang bertumpu pada penegakan hukum semata tentulah tidak akan memberikan hasil sebagaimana diharapkan.
      Menganggap korupsi sebagai kejahatan besar tidak mesti membuat kita harus ekstrim, yaitu dengan merampas hak-hak para terpidana korupsi. Sejarah pemidanaan ternyata telah memberi pengetahuan pada kita, bahwa penghukuman terhadap pelaku kejahatan tidak semata-mata sebagai bentuk dari balas dendam (retributif). Pandangan modern mengenai tujuan pemidanaan tidak lain adalah disamping pencegahan (deterrence effect), tapi juga upaya melakukan perbaikann pada diri terpidana. Oleh karena itu pergantian nama dari lembaga penjara menjadi  lembaga pemasyarakatan  adalah gambaran bahwa  paradigma pemidanaan di Indonesia lebih bersifat modern.
      Pemberian remisi kepada terpidana, apapun kejahatannya sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur dalam peraturan adalah hal yang tidak perlu dipersoalkan, dan apa yang dilakukan oleh lembaga Kemenkuhham dengan memberikan remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan aturan hukum, dan karena itu tidak perlu dipersoalkan.
      Kalaulah ada anggapan yang muncul, bahwa pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi akan berdampak pada terhambatnya upaya penanggulangan korupsi. Pandangan atau anggapan demikian menurut penulis adalah keliru.      
      Memang patut untuk dipertanyakan, bahwa setelah tigabelas tahun reformasi berjalan, ternyata penanggulangan korupsi dinegeri ini seolah tidak ada kemajuan. Lalu apa yang menjadi masalah dan kendala?
      Sesungguhnya negeri ini telah melakukan pemberantasan korupsi tanpa arah yang jelas dan juga tidak diketahui capaian apa yang hendak diperoleh. Sehingga kita lihat upaya penanggulangan korupsi lebih berfokus pada upaya penegakan hukum, dan ini adalah kesalahan yang fatal.
      Meminjam istilah yang digunakan oleh Mochtar Lubis tentang korupsi, dikatakannya bahwa korupsi itu adalah kejahatan berwajah banyak (multidimensi). Sehingga untuk penanggulangannya juga tidak dapat dilakukan dengan melihat pada satu aspek. Tapi penanggulangan yang dilakukan haruslah penanggulangan secara konfrehensip.
      Penanggulangan korupsi tidak dapat dilakukan dengan menghilangkan gejalanya (symptomatic) saja, tapi haruslah penanggulangan yang bersifat causatife, artinya yang diatasi adalah faktor-faktor penyebab timbulnya korupsi itu sendiri.
      Barangkali kita harus mengkaji ulang langkah-langkah maupun strategi yang hedak diambil dalam upaya penanggulangan korupsi, karena kalau tidak sampai kapanpun upaya pemberantasan korupsi yang telah menjadi cita-cita reformasi tidak akan berbuah banyak.         
     

Kamis, 04 Agustus 2011

Penegakan hukum


HILANGNYA WIBAWA HUKUM
Oleh : HENDRI EDISON, S.H.,M.H.

         Hukum dalam peradaban manusian menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Dalam kehidupan bermasyarakat, eksistensi hukum   diperlukan untuk mengatur hubungan-hubungan yang timbul dalam kelompok maupun antar kelompok dalam masyarakat.
         Perkembangan kehidupan masyarakat melahirkan hubungan-hubungan yang komplek ditambah lagi dengan kemajuan dibidang teknologi  hukum yang diciptakan harus memiliki kemampuan untuk  mengatur perhubungan tersebut. Tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya benturan-benturan yang berakibat pada rusaknya tatanan dalam masyarakat, Negara maupun dunia.        
          Masing-masing individu, masyarakat maupun bangsa memiliki  kepentingan dan oleh  hukum akan dipertahankan  perdamaian dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya, karena hukum hanya dapat mencapai tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai) jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan   mana terdapat keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi
        Keberadaan hukum tentu sangat dibutuhkan dan sangat penting. Persoalannya hukum itu bersifat mengatur dan secara psikologis, manusia enggan untuk diatur, karena manusia memiliki sifat untuk menuntut kebebasan dalam kehidupan. Tentu hal tersebut tidak dibenarkan, karena hak  seseorang akan berbenturan dengan kewajibannya.
         Penghormatan terhadap hukum wajib sifatnya dan  juga untuk  dipatuhi setiap masyarakat, hukum yang tidak dihormati lagi, sama artinya hukum telah kehilangan wibawa. Persoalannya rasa ketidak adilan seringkali melahirkan sikap tidak mau menghormati hukum. Lalu apakah yang dimaksud dengan keadilan itu sendiri.
      Bahwa sudah seyogyanya yang menjadi tujuan daripada hukum adalah mengwujudkan keadilan itu sendiri. Tapi perlu pula disadari, bahwa hukum tidaklah identik dengan keadilan, kendati demikian sejatinya (das solen) antara hukum dengan keadilan haruslah sejalan. Namun apabila hukum dengan keadilan tidak sejalan, hukum tetap harus ditegakan, mengapa demikian sebab sekalipun hukum itu tidak adil, ia harus ditaati, sebab bila tidak ditaati, maka hukum akan kehilagan wibawanya, demikian ungkapan Socrates saat menjelang dihukum mati.
       Ungkapan Socrates ini hendak menyampaikan pesan betapa pentingnya  sikap untuk menghormati hukum, bahkan jauh lebih penting dari pada masalah keadilan itu sendiri. Bila hukum sudah tidak dihormati, sama artinya keadaan tanpa hukum. Keadaan tanpa hukum itu berarti keadaan yang penuh dengan kekacauan dan kecemasan.
       Persoalan tentang sikap menghormati hukum, ternyata tidak sekedar dipertontonkan oleh masyarakat, tapi juga oleh pejabat dinegeri ini. Ini membuktikan betapa hukum dinegeri ini telah bobrok alias kehilangan wibawa. Kasus yang menimpa jemaat gereja Kristen Indonesia (GKI) di komplek perumahan  Yasmin Bogor adalah bukti bahwa hukum telah kehilangan wibawa.
       Jemaat GKI yang sedang membangun gereja di komplek perumahan Yasmin harus dihentikan oleh keputusan walikota Bogor, padahal GKI telah mengantongi izin mendirikan gereja. Pihak GKI mencoba melakukan mediasi dengan pihak walikota, akan tetapi tetap mendapat benturan, yaitu izin tetap dibekukan dan pihak GKI tidak boleh melanjutnya pembangunan Gereja GKI tersebut.
       Merasa terbentur, akhirnya jemaat GKI melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan, dan sampai pada tingkat kasasi di MA. Oleh MA dalam Putusannya telah memenangkan jemat GKI. Kendati putusan MA telah keluar, persoalan  ternyata tidak selesai disitu, Walikota Bogor tetap saja menolak untuk mencabut pembekuan izin tersebut, dan bahkan terkesan tidak menghormati putusan MA.
       Inilah barangkali yang disebut dengan tidak menghormati hukum yang dipertontonkan oleh sang Walikota, dan ironisnya ketidak patuhan terhadap hukum itu dilakukan oleh orang yang nota bene pejabat dinegeri ini yang seyogyanya wajib menghormati hukum sebagai contoh bagi warganya.
       Konsekwensi yang muncul dari sikap Walikota Bogor ini adalah akan melahirkan kondisi hukum yang kehilangan wibawa. Ungkapan yang disampaikan Socrates sebagaimana yang ditulis diatas, patut untuk direnungkan, apalagi secara konstitusional disebutkan bahwa Negara adalah  berdasarkan hukum.
       Kemajuan peradaban suatu bangsa sangat ditentukan dari ketaatannya pada hukum, sikap Walikota Bogor seperti yang terjadi pada jemaat GKI Yasmin menunjukan betapa peradaban bangsa ini masih jauh tertinggal dan menunjukan rendahnya integritas pemimpin.