Senin, 16 Mei 2011

Hukum Pembuktian



PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN
DALAM PERKARA KORUPSI
Oleh : HENDRI EDISON, S.H.,M.H.

I.           PENDAHULUAN

Pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintahan Indonesia sampai saat ini sepertinya belum membuahkan hasil yang memuaskan. Bahkan ada sinyalamen, tingkat kejahatan korupsi dimasa era reformasi ini semakin mengganas. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk pemberantasan korupsi seperti mengganti peraturan perundang-undangan tentang korupsi, mulai dari undang-undang Nomor 3 tahun 1971 kemudian diubah dengan dengan UU Nomor 31 tahun 1999 dan diubah lagi dengan undang-undang nomor : 20 tahun 2001 belum membuahkan hasil yang signifikan.
            Disamping dilakukan perubahan terhadap undang-undang (penyempurnaan peraturan) saat   ini telah dibentuk   koasi lain diluar  kejaksaan dan kepolisian untuk    penanganan kejahatan korupsi. Disamping lembaga konvensional yang sudah ada, maka dengan lahirnya undang-undang nomor 30 tahun 2002 telah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan sama dengan kejaksaan dan kepolisian dalam penanganan tindak pidana korupsi, bahkan jika dirinci mengenai kewenangannya, maka kewenangan yang dimiliki KPK jauh lebih besar dibanding dengan kewenangan yang ada ditangan Kejaksaan dan Kepolisian.
            Pemberantasan Kejahatan korupsi telah menjadi agenda utama sejak bergulirnya era reformsi   dipertengahan tahun 1998. Era reformasi yang ditandai dengan tumbangnya rezim pemerintahan Soeharto, maka tuntutan paling besar yang menggema diseantoro nusantara ini adalah agar kejahatan Korupsi diberantas. Sebab masyarakat telah muak dengan segala bentuk dan keberadaan korupsi yang begitu merajalela di negeri ini.
            Korupsi memberi akibat yang besar terhadap mayortias penduduk Indonesia, terutama masyarakt miskin. Korupsi tersebut juga menciptakan risiko ekonomi-makro yang tinggi, membahayakan kestabilan keuangan, serta mengkompromikan keamanan dan hukum serta ketertiban umum. Dan diatas segalanya korupsi merendahkan  legitimasi dan kredibilitas negara di mata rakyat. Karena itu, korupsi menghadirkan ancaman yang besar terhadap transisi politik dan ekonomi negeri ini.
            Dari hasil penelitian beberapa lembaga independan  seperti Transparency Internacional Indonesia (TII) telah melakukan survey yang menunjukan Indonesia merupakannegara paling korup nomor enam di dunia dari 133 negara. Dikawasan Asia, Bangladesh dan Myanmar lebih Corp. dibandingkan Indonesia. Nilai indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia ternyata lebih rendah daripada negara negara tetangga, seperti Papua Nugini, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Singapura. Sementara itu ditingkat dunia, negara-negara ver-IPK lebih buruk dari Indonesia merupakan negara yang sedang mengalami konflik seperti Angola, Azerbaijan, Tajikistan dan Haiti.[1]  
             Lalu apakah kejahatan korupsi hanya ada di Indonesia, apakah di negara lain tidak ada korupsi? Persoalannya tidak disitu, benar dinegara lain juga ada korupsi, tapi yang menjadi catatan bagi kita adalah bahwa dinegara lain betapa upaya penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi itu telah begitu nyata sehingga orang-orang dapat melihat bahwa para pelaku kejahatan korupsi akan dijatuhi hukuman berat. Lalu bila kita bercermin pada negara kita terhadap pemberantasan korupsi, kita akan menyadari betapa penegakan hukum terhadap pelaku korupsi yang telah terbukti acap kali dijatuhi hukuman yang ringan.
            Masalah krusial dalam pemberantasan korupsi adalah berkaitan dengan masalah pembuktian. Ada dua alasan mengapa pemberantasan tindak pidana korupsi sangat sulit, yaitu pertama kwalitas pembuktian Sangat sulit dan kedua karena pelaku korupsi biasanya dilakukan oleh para profesional yang memiliki minimal edukasi yang askeptable bagi kemungkinannya dilakukan kejahatan tersebut. Selain itu, integritas, kapabelitas, dan aktivitas pelaku pada umumnya Sangat rentan dengan lingkungan terjadinya tindak pidana korupsi ini. Artinya, pelaku Sangat memahami lingkungan kerja dan format untuk menghindari terjadinya pelacakan terhadap kejahatan (tindak pidana) korupsi ini.
            Mengingat tindak pidana korupsi ini sebagai suatu “seriuosness crime” yang sulit pembuktiannya maka sebagian ada ide yang berpendapat bahwa penangannya harus dilakukan sedemikian rupa dan bersifat luar biasa pula. Karena itu, tindak pidana korupsi selain dianggap sebagai “seriusness crime” juga memerlukan penanganan yang sangat luar biasa (extra ordinary enforcement or measures). Oleh karena itu dalam undang-undang nomor 3 tahun 1971 mulai diperkenalkan pembalikan beban pembuktian (Omkering van bewijslast) hal ini merupakan pergeseran konprehensif terhadap sistem pembuktian yang ada. Apabila sistem pembuktian dalam Hukum Pidana Formal, menampatkan Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang memiliki tanggungjawab dan  kewajiban untuk membuktian suatu  perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana, maka dalam tindak pidana korupsi beban pembuktian ini diletakan pada terdakwa. Artinya terdapat suatu “reversal of burden Proof” atau “omkering van bewijslast”, yaitu pembalikan beban pembuktian.[2]
                    Sehubungan dengan diperkenalkannya pembalikan beban pembuktian dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, maka akan melahirkan beberapa permasalahan yang dalam tulisan ini akan dicoba dilakukan pengkajian. Adapun yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
  1. Bagaimanakah Sistem pembuktian dalam Hukum Pidana?.
2.    Bagaimanakah  penerapan konsep pembalikan beban pembuktian dalam penanganan tindak pidana korupsi?              
II.        SISTEM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM PIDANA

Dalam hukum pidana, maka masalah pembuktian masuk kedalam sistem kelompok hukum pidana formal (hukum acara). Namur demikian  ada juga yang berpendapat bahwa sistem pembuktian merupakan hukum pidana materil. Pendapat akhir ini lebih dipengaruhi berdasarkan pendekatan yang ada dalam hukum Perdata. Dalam Hukum Perdata, masalah pembuktian memang menimbulkan persepsi yang bias, mengingat aturan mengenai pembuktian ini masuk dalam kelompok hukum perdata materil maupun hukum perdata formil.[3]
Sejak KUHAP diberlakukan dengan Undang-undang nomor 8 tahun 1981, masalah pembuktian secara tegas diatur dalam kelompok sistem hukum pidana formal (acara). Menurut Martiman Prodjohamidjojo, SH.,MM mengatakan bahwa makna sistem (hukum pembuktian) dapat diartinya sebagai suatu keseluruhan dari unsur-unsur  hukum pembuktian yang berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lain serta saling pengaruh mempengaruhi dalam suatu keseluruhan atau kebulatan.[4]
Dapat disimpulkan bahwa hukum pembuktian itu merupakan suatu proses untuk mencari kebenaran suatu tindak pidana yang dilakukan terdakwa melalui alat-alat bukti yang diakui oleh hukum pidana formil tersebut sehingga dapat diketahui apakah terdakwa benar-benar telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan atau tidak terbukti sama sekali.
A.   Sitem Pembuktian
                     Apa yang dimaksud dengan sistem pembuktian, maka dapat diberikan batasan yaitu suatu kebulatan atau keseluruhan dari berbagai ketentuan perihal kegiatan pembuktian yang saling kait mengait dan berhubungan satu dengan yang lain yang tidak terpisahkan dan menjasi duatu kesatuan yang untuh. Adapun isinya sistem pembuktian terutama tentang alat-alat bukti apa yang boleh digunakan untuk pembuktian, cara bagaimana alat bukti itu boleh tersebut serta standar/kriteria yang menjadi usuran dalam mengambil kesimpulan tentang terbuktinya sesuatu (objek) yang dibuktikan.[5]
            Dalam sistem pembuktian terdapat pengertian yaitu suatu rangkaian upaya yang berisi mengenai ketentuan tentang bagaimana cara dalam membuktikan dan standar apa yang digunakan dalam menarik kesimpulan tentang terbuktinya suatu objek yang dibuktikan. Bahwa sistem pembuktian demikian biasanya dikenal dengan istilah ajaran atau teori pembuktian. Dalam sistem hukum pembuktian dikenal beberapa ajaran atau teori tentang pembuktian yaitu :
1.    Sistem keyakinan belaka
            Sistem Pembuktian keyakinan belaka ini sering juga disebut keyakinan hakim melulu (conviction intime). Bahwa teori ini berpangkal tolak dari konsep bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwapun kadang-kadang tidak selalu membuktikan kebenaran atau pengakuan terdakwa tidak mejamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu diperlukan keyakinan hakim sendiri untuk menentukan bersalah tidaknya terdakwa. Dengan sistem ini pemidanaan dimunginkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Sistem ini dianut oleh peradilan jury di Prancis.[6]
            Sistem pembuktian di Indonesia pernah dianut yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini menurut Wirjono Prodjodikoro memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan médium atau dukun.[7] Bahkan menurut Andi Hamzah pengadilan adat dan swapraja memakai sistem keyakinan hakim melulu selaras dengan kenyataan bahwa pengadilan-pengadilan  tersebut dipimpin oleh hakim-hakim yang bukan ahli (berpendidikan) hukum.[8]
2.    Sistem Keyakinan dengan alasan logis
            Sistem ini tetap berpegang pada keyakinan hakim, namur keyakinan hakim tersebut harus didasarkan pada alasan-alasan yang logis. Jadi dalam sistem keyakinan hakim melulu faktor keyakinan hakim memiliki faktor menentukan, sedangkan dalam sistem keyakinan hakim dengan alasan logis keyakinan hakim dibatasi. Hakim dalam putusannya wajib menguraikan alasan-alasannya untuk menyatakan kesalahan pada diri terdakwa dan alasan-alasan yang diuraikan tersebut haruslah logis.
             Keyakinan hakim memang masih mendominasi putusan hakim, tapi dibatasi dengan dengan dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim dijatuhkan dengan situ motivasi. Sistem ini atau teori pembuktiann ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vruje bewijstheorie).[9]
3.    Sistem melulu berdasarkan undang-undang
            Sistem ini sering juga disebut pembuktian menurut undang-undang secara positif atau positief wettelijk bewijstheorie. Sistem ini Sangat bertolak belakang dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim. Dalam sistem ini yang menjadi acuan bagi hakim untuk menentukan bersalah atau tidak bersalahnya terdakwa adalah didasarkan alat-alat bukti yang dibatasi oleh undang-undang.
            Dibandingkan dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu (conviction in time), sistem ini Sangat bertolak belakang, dimana keyakinan hakim sama sekali disingkirkan. Hakim dalam mengadili suatu perkara hanya berpijak pada alat bukti yang sudah ditentukan oleh undang-undang. Dalam sistem ini hakim bertindak seolah-olah “robot pelaksana” undang-undang yang memang tidak memiliki hati nurani. Menurut Yahya Harahap, ketentuan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif ini memiliki nilai kebaikan, karena lebih dekat dengan prinsip “penghukuman berdasarkan hukum”. Artinya penjatuhan hukuman terhadap seorang, semata-mata tidak diletakan dibawah kewenangan hakim, tapi diatas kewenangan undang-undang yang berlandasakan asas : seseorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jira apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasarkan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.[10]
            Dalam sistem berdasarkan undang-undang secara positif ini sebenarnya memiliki sisi kelemahan, yaitu hanya menghandalkan kekuatan pembuktian yang didasarkan undang-undang. Sehingga bisa saja terdakwa bebas karena tidak minimnya alat bukti, atau sebaliknya terdakwa yang tidak bersalah karena banyaknya saksi-saksi palsu,  karena itu pengalaman hakim dalam sistem ini benar-benar tidak memiliki arti apa-apa.
            Sistem ini banyak dianut di Eropah, saat berlakunya aas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana.[11] Sementara itu Wirjono Prodjodikoro menolak sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif ini diterapkan di Indonesia, alasannya hakim tidak dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagipula keyakinan seorang hakim yang Jujuy dan berpengalam mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.[12]
4.    Sistem Menurut UU secara terbatas.
            Sistem ini biasa disebut atau dikenal dengan istilah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijk Stelsel). Teori atau sistem ini hampir sama dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang logis. Persamaannya  adalah bahwa pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang logis dan pembuktian menurut undang-undang secara negatif, sama-sama menempatkan keyakinan hakim sebagai sarana untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa.
            Perbedaannya adalah bahwa pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang logis tetap berpangkal tolak pada keyakinan hakim, namun keyakinan itu harus didasarkan pada suatu kesimpulan yang logis, yang tidak didasarkan undang-undang. Sedangkan pembuktian menurut undang-undang secara negatif, tetap berpangkal tolak pada keyakinan hakim, hanya saja keyakinan hakim tersebut didasarkan atau diperoleh dari alat-alat bukti yang disebutkan secara limitatif oleh undang-undang.
            Sistem ini merupakan gabungan dari dua sistem yang bertolak belakang yaitu sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu (conviction in time) dengan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang melulu (Positief wettelijke bewijs theorie). Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Rumusannya berbunyi : salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oeh keyakinan hakim yan gdidasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
            Menurut Yahya harahap sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif ini memang memimiliki sisi kelemahan juga, yaitu keyakinan hakim tetap memiliki dominasi untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Umpamanya, walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti menurut cara dan dengan alat bukti yang sah, pembuktian itu dapat  “dianulir” atau “ditiadakan” oleh keyakinan hakim. Apalagi jira pada diri hakim terdaat motivasi yang tidak terpuji  demi keuntungan pribadi, dengan suatu imbalan materi, dapat dengan mudah membebaskan terdakwa dari pertanggungjawaban hukum, atas alasan hakim “tidak yakin” akan kesalahan terdakwa. Sekalipun secara teoritis antara kedua componen itu tidak saling dominan, tapi dalam praktek, secara terselebung unsur keyakinan hakim yang paling menentukan dan dapat melemparkan secara halus unsur pembutian yang cukup. Terutama bagi seorang hakim yang kurang hati-hati, atau hakim yang kurang tanggungj benteng iman dan moralnya, gampang sekali memanfaatkan sistem pembuktian ini dengan suatu imbalan yang diberikan oleh terdakwa.[13] 
B.   Sistem Pembuktian Menurut KUHAP.
            Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 yang dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maka tentang hukum pembuktian adalah masuk dalam kelompok hukum pidana formil (acara). Dalam KUHAP diatur sistem pembuktian dan dari KUHAP ini pula kita dapat mengetahui sistem pembuktian bagaimana yang dianut oleh KUHAP.
            Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa dalam ilmu hukum pidana ada 4 teori atau sistem pembuktian yang dikenal, yaitu sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu, sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang logis, sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif dan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Dari keempat teori atau sistem tersebut bila dirujuk kedalam ketentuan KUHAP, maka diketahui bahwa KUHAP menganut sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Untuk mengetahui hal ini dapat dilihat dalam pasal 183 KUHAP yang isinya :
 “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang keculai apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdawalah yang bersalah melakukannya.”       
Bahwa ketentuan dalam pasal 183 KUHAP tersebut merupakan adobsi dari pasal 294 ayat (1) HIR (hukum acara pidana indonesia sebelum berlakunya KUHAP). Rumusan Pasal 294 ayat (1) HIR tersebut adalah :
“Tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang boleh dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu.”[14]
            Dari rumusan pasal 294 (1) HIR dengan pasal 183 KUHAP, perbedaan utamanya adalah terletak pada minimal alat bukti yang diperoleh untuk mendapat keyakinan hakim. Dalam pasal 294 ayat (1) HIR tidak disebutkan minimal alat bukti yang harus dipenuhi, sedangkan dalam pasal 183 KUHAP secara tegas disebutkan bahwa keyakinan hakim hanya lahir dari minimal dua alat bukti yang sah. Sehingga sistem pembuktian dalam KUHAP lebih mendekati sistem pembuktian negatif dibanding dengan HIR.
            Bahwa yang dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah alat bukti yang dibatasi oleh undang-undang (KUHAP). Dalam pasal 184 KUHAP disebutkan urutan alat-alat bukti yang diakui (sah) yaitu :
    1. Keterangan saksi
    2. Keterangan ahli
    3. Surat
    4. Petunjuk
    5. Keterangan terdakwa.
            Jadi untuk menjatuhkan atau menyatakan terdakwa bersalah atau hakim harus mempertimbangkan atau memiliki keyakinan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah yang disebutkan undang-undang tersebut. Berdasarkan alat bukti minimum tersebutlah hakim akan menarik kesimpulan (keyakinannya) untuk menentukan apakah terdakwa bersalah melakukan tindak pidan ataukah tidak.   
            Dalam sistem yang dianut KUHAP ini yaitu sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag), yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang-undang.[15]
            Disamping dua alat bukti yang sah (alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang) maka keyakinan hakim juga harus ada untuk dapat menentukan bersalahnya terdakwa. Menurut Adam Chazawi, ada tiga macam tingkat keyakinan yang harus didapatkan hakim atas sekurang-kurangnya dua alat bukti tersebut, yaitu pertama Hakim yakin tindak pidana benar-benar telah terwujud, kedua hakim yakin terdakwa benar-benar telah melakukannya dan ketiga hakim yakin terdakwa bersalah.[16]

III.      PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM PERKARA KORUPSI

Pada prinsipnya dalam pembuktian suatu perkara yang diajukan kepersidangan, maka sudah menjadi kewajiban Negara Cq. Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan kesalahan si terdakwa. Hal ini didasarkan pada prinsip  “Siapa yang mendakwakan in casu Negara, maka negaralah yang dibebani untuk membuktikan apa yang didakwakan itu benar”. Prinsip ini timbul akibat dari berlakunya asas presemption of innocence yang yang dijunjung tinggi dalam hokum Acara pidana.
            Berdasarkan hal ini, maka diperkenalkannya sistem pembalikan beban pembuktian (omkering van het bewijslast) dalam Undang-undang tindak pidana korupsi merupakan penyimpangan dari asas hokum pidana tersebut diatas. Asas pembalikan beban pembuktian terbalik ini telah mulai dikenalkan sejak berlakunya undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi nomor 3 tahun 1971. Menurut Prof. Oemar Seno Adji, bahwa penerapan konsep pembalikan beban pembuktian tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima oleh pandangan para sarjana hukum. Hal ini berkaitan dengan hak seorang terdakwa /tersangka pada non self in crimination.[17]  
            Asas pembalikan beban pembuktian ini hanya dikenal dalam sistem Anglo Saxon dan terbatas pada “certain Cases”, khususnya terhadap delik  gratification” (pemberian) yang berkaitan dengan “bribery” (suap). Pada sistem Anglo Saxon tersebut, tidak semua rumusan delik korupsi diterapkan asas pembalikan beban pembuktian, karena pembalikan beban pembuktian yang bersifat total dan absolute jelas melanggar prinsip perlindungan dan pehargaan hak-hak Asasi Manusia, khususnya terhadap hak-hak terdakwa.[18]
A.   Sejarah lahirnya Ide asas Pembalikan beban pembuktian.
            Apabila dilihat dari sejarah lahirnya atau diperkenalkannya pembalikan beban pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi, sistem pembalikan beban pembuktian terrsebut telah dimulai pada saat penyusunan undang-undang nomor 3 tahun 1971. Pada saat penyusunan tersebut dan ide memasukan konsep pembalikan beban pembuktian terbalik tidak sepenuhnya mendapat  persetujuan dari anggota parlemen. Hal ini menimbulkan perdebatan panjang tentang perlu tidaknya konsep pembalikan beban pembuktian tersebut dimasukan dalam penanganan tindak pidana korupsi.
            Alasan untuk menolak penggunaan asas pembalikan pembebanan pembuktian ini adalah karena asas ini dianggap bertentangan dengan hak-hak terdakwa yang secara universal diakui seperti asas praduga tidak  bersalah (presumption of innocence), begtupula dengan asas nonself in crimination  atau kewajiban untuk mempersalahkan dirinya sendiri serta asas The right to remain Silent, atau hak untuk diam, dimana hak-hak tersebut tidak boleh dikurangi sedikitpun ( Non-Derogable Right).
            Atas pertimbangan bahwa penerapan asas pembalikan beban pembuktian dapat bertentangan dengan hak-hak asasi manusia (khususnya tersangka/terdakwa), maka penerapan konsep pembalikan beban pembuktian tersebut sifatnya dibatasi, yaitu tidak mutlak ada ditangan terdakwa saja. Jadi kendati terdakwa diberikann hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, terhadap Jaksa Penuntut Umum tetap memiliki kewajiban untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah.
            Sehingga dapat dikatakan bahwa pembalikan beban pembuktian yang diberlakukan sejak undang-undang nomor 3 tahun 1971 sampai dengan undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tetap menerapkan asas pembalikan beban pembuktian yang terbatas dan berimbang. Terbatas artinya pembalikan beban pembuktian tidak diterapkan secara total dan absolute terhadap semua delik yang apada pada undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001. Sedangkan berimbang artinya beban pembuktian terhadap dugaaan tindak pidana korupsi tetap dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Konsep terbatas dan berimbang inilah yang oleh sebagian kalangan dianggap tidak efektif, karena hanya gerakan simbolis yang tidak memiliki daya represi terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.
            Ide untuk memberlakukan asas pembalikan beban pembuktian dalam penanganan tindak pidak pidana korupsi adalah karena adanya anggapan bahwa tindak pidana korupsi merupkan kejahatan yang digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), sehingga untuk penanganan tindak pidana korupsi juga diperlukan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary  enforcement).
            Tindak Pidana Korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan juga kejahtan yang serius (seriosness crime), karena bentuk kejahatannya melibatkan para pelaku kejahatan ekonomi kelas atas (high level economic) dan birokrasi kalangan atas (high level beurocratic). Sehingga kejahatan yang melibatkan kekuasaan ini sangat sulit untuk pembuktiannya, karena pelaku-pelakunya adalah orang-orang yang terlibat dan memiliki jarangan dengan kekuasaannya. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan akan terjadi benturan kepentingan antara para penegak hokum dengan pihak penguasa. Sehingga Prfo.Indriyanto Seno Adji mengatakan bahwa kejahatan korupsi ini seolah-olah menjadi “beyond the law” dan sebagai bentuk perbuatan yang “untauchble by the law”.[19]             
            Atas dasar hal tersebut diataslah, maka lahirnya ide untuk menerapkan konsep pembalikan beban pembuktian tersebut. Konsep itu ternyata dalam pembahasan di parlemen akhirnya disetujui dengan mengambil jalan tengah, yaitu pembalikan beban pembuktian yang terbatas dan seimbang. Sebab bila digunakan pembalikan beban pembukitian yang absolut dikahawatirkan akan terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia.
B.   Penerapan konsep asas Pembalikan Beban Pembuktian dalam praktek.
             Bahwa dalam sistem pembuktian, maka untuk membuktikan in casu kesalahan terdakwa, maka harus digunakan   standar-standar. Seperti yang telah diuraikan diatas, maka dalam KUHAP sistem atau ajaran pembuktian yang dikenal atau digunakan oleh hukum acara pidana di Indonesia adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (bewijslast negatif wederehctelijk). Dalam KUHAP standar yang digunakan untuk melahirkan keyakinan hakim adalah alat bukti yang sah minimal dua alat bukti yaitu : keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
            Dalam KUHAP dikenal bahwa beban pembuktian (burden of proof) terletak ditangan Jaksa Penuntut Umum selaku wakil negara dalam melakukan penuntutan terhadap terdakwa, sehingga tidak dikenal dalam KUHAP bahwa terdakwa memiliki kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya bersalah atau tidak. Jadi dengan lahirnya undang-undang tindak pidana korupsi yang dimulai sejak undang-undang nomor 3 tahun 19971 sampai dengan undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 telah terjadi pergeseran dalam hal beban pembuktian, yaitu dari Jaksa Penuntut Umum yang berkewajiban membuktikan telah bergeser kepada terdakwa, dimana terdakwa juga harus mampu membuktikan bahwa dia tidak bersalah.
            Proses pembuktian dalam tindak pidana korupsi  (acara pidana khusus) adalah tidak ada perbedaan dengan pembuktian dalam acara pidana biasa. Untuk membuktikan seseorang bersalah tetap mengacu kepada ketentuan dalam pasal 183 KUHAP. Ketentuan tersebut tidak dapat disimpangi, karena ketentuan tersebut telah menjadi fondasi atau asas pokok pembuktian acara pidana. Jadi disini penerapan beban pembuktian kepada terdakwa adalah merupakan pergeseran kewajiban pembuktian dari tangan jaksa penuntut umum kepada terdakwa. Istilah yang muncul dimasyarakat awam telah menyebutkan sistem pembuktian terbalik, sebenarnya hal tersebut tidaklah tepat.
            Prof. Indriayanto Seno Adji, mengungkapkan bahwa penggunaan istilah pembuktian terbalik tidak tepat bila ditelusuri secara gramatikal. Dari sisi bahasa dikenal sebagai “omkering van het bewijslast” atau “Revesal Burden Of Proof” yang bila secara bebas diterjemahkan menjadi “pembalikan beban pembuktian”. Prof. Andi Hamzah mengungkapkan bahwa tanpa meletakan kata “beban”, maka makna yang terjadi akan berlainan. Pembuktian terbalik tanpa kata “beban” dapat ditafsirkan tidak adanya beban pembuktian dari terdakwa, sehingga bisa saja ditafsirkan secara harfiah yang hanya melihat pergeseran tata urutan alat bukti saja. Namun demikian, telepas adanya polemik tersebut, publik cukup mengenal istilah “pembuktian terbalik” sebagai bahagian dari proses terobosan hukum dalam rangka mempermudah perolehan alat bukti dalam perakar tindak pidana korupsi.[20]
            Ketentuan khusus mengenai pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam undang-undang nomor 20 tahun 2001 terdapat dalam :
Ø  Pasal 12 B ayat (1) huruf a dan b
Ø  Pasal 37
Ø  Pasal 37 A
Ø  Pasal 38 B
Pasal-pasal tersebut diatas merupakan hukum acara khusus yang ada dalam undang-undang tindak pidana korupsi, sehingga inilah yang disebut penyimpangan dari ketentuan dari KUHAP. Bahwa dengan pasal-pasal tersebut dapat dibagi bahwa ketentuan hukum pembuktian dalam tindak pidana korupsi ada 3 sistem yaitu pertama sistem terbalik, kedua sistem biasa, ketiga sistem semi terbalik (berimbang terbalik).
            Untuk mengetahui bentuk atau sistem beban pembuktian terbalik dalam hukum acara pidana korupsi, dapat dilihat dalam ketentuan pasal 37 jo 12B ayat (1) jo.38 A dan 38B. Rinciannya adalah :
  • Pasal 37 merupakan dasar hukum sistem pembebanan pembuktian terbalik.
  • Pasal 12B ayat (1) huruf a dan Pasal 38B merupakan ketentuan mengenai tindak pidana korupsi (objeknya) yang beban pembuktiannya dengan menggunakan sistem terbalik.
            Ada dua objek yang harus dibuktikan oleh terdakwa daam penerapan pembalikan beban pembuktian  yaitu :
Ø  Pertama : Pada tindak pidana Korupsi suap menerima gratifikasi  yang nilainya Rp.10 juta atau lebih  (Pasal 12B ayat 1 Jo.pasal 37 ayat (2) jo. Pasal 38A). Pada ketentuan ini terdakwa memiliki kewajiban untuk membuktikan bahwa gratifikasi (pemberian) yang diterimanya itu adalah bukan tindak pidana korupsi. Disini yang dibuktikan oleh terdakwa adalah langsung pada unsur-unsurnya sehingga jika terdakwa berhasil membuktikan bahwa unsur-unsur  gratifikasi yang dituduhkan  pada terdakwa tidak terbukti maka terdakwa harus dibebaskan dari tuntutan hukum (vrisjpraak). Ketentuan ini merupakan beban pembuktian terbalik yang murni.
Ø  Kedua : Khusus pada harta benda terdakwa yang belum didakwakan (pasal 38B Jo. Pasal 37). Disini yang harus dibuktikan oleh terdakwa adalah harta benda yang dimiliki oleh terdakwa. Kendati tidak dimasukkan dalam dakwaan, apabila harta terdakwa tersebut disita, maka terdakwa harus mampu membuktikan bahwa harta yang dimilikinya baik oleh terdakwa sendiri, istri atau anak-anaknya adalah bukan dari hasil kejahatan korupsi, bila berhasil dibuktikan terdakwa bahwa hartanya bukan berasal dari kejahatan, maka terdakwa dapat dibebaskan dari pidana perampasan barang-barang milik terdakwa. Jadi disini yang dibuktikan oleh terdakwa adalah tidak langsung pada perkara pokok. Keberhasilan terdakwa membuktikan hartanya bukan dari hasil kejahatan tidak menjadikan terdakwa dibebakan dari hukuman.
            Sehubungan dalam sistem pembalikan  beban pembuktian sebagaimana diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi diterapkan secara terbats dan khusus terhadap dua perbuatan, maka dibawah ini akan diuraikan  yaitu :
1.    Sistem Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Penyuapan.
            Dalam undang-undang tindak pidana korupsi, gratifikasi kepada pegawai negeri dianggap suap yang untuk pembuktiannya diatur khusus yaitu diatur dalam pasal 12B   ayat (1) yang isi lengkapnya adalah :
“Setiap gratifikasi kepada Pegawai Negeri atau penyelengara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Yang nilainya Rp.10.000.000,- atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,-  pembuktian bahwa gratifikasi tesebut suap dilakukan oleh penuntut umum.”
            Ketentuan dalam pasal 12B ayat (1) ini untuk pembalikan  beban pembuktian mensyaratkan  pemberian tersebut diatas Rp.10.000.000, sedangkan dibawah Rp.10.000.000 pembuktian tetap seperti biasa yaitu mejadi tugas Jaksa Penuntut Umum. Ketentuan dalam pasal 12B ayat (1) huruf a ini berkaitan erat dengan pasal 37 ayat (2), sebab ketentuan inilah yang menjadi dasar dibenarkannya pembalikan beban pembuktian, sehingga untuk menentukan pelanggaran terhadap pasal 12B ayat (1) huruf a harus dijuntokan dengan ketentuan pasal 37 ayat (2).
            Ketentuan dalam pasal 12B ayat (1) huruf a tersebut memiliki rumusan delik yang sedikit aneh, sebab bila dibaca sepintas bahwa yang dilarang adalah seolah-olah orang yang memberikan gratifikasi, padahal yang dilarang itu adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi. Lalu bagaimana dengan yang memberikan gratifikasi, apakah dapat dihukum atau tidak. Maka untuk melihat hal ini harus dirujuk pada ketentuan penyuapan aktif sebagaimana yang diatur dalam pasal 5 ayat (1) huruf a atau b; atau Pasal 6 ayat (1) huruf a atau pasal 13 Undang-undang nomor 31 tahun 1999.
            Dalam ketentuan paal 12B ayat (1) tersebut gratifikasi bukanlah tindak pidana suap, tapi “dianggap “ sebagai tindak pidana suap. Gratifikasi memang bukan bentuk tindak pidana korupsi, melainkan pengertian harfiah : ialah pemberian dalam arti luas (penjelasan pasal 12B). Barda Nawawi mengatakan bahwa dilihat dari formulasinya, “Gratifikasi” bukan merupakan jenis maupun kwalifikasi delik. Yang dijadikan delik bukan gratifikasinya, melainkan perbuatan menerima gratifikasi.[21]
            Sebagaimana telah disebutkan bahwa yang menjadi dasar hukum diterapkan asas pembalikan beban pembuktian adalah ketetentuan dalam pasal 37 ayat (2) yang isinya adalah :
“Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.”
            Ketentuan mengenai pembalikan beban pembuktian sebagaimana yang diformulasikan dalam pasal 37 ayat (2) tersebut belum mampu mejawab pemahaman tentang pembalikan beban pembuktian. Dari rumusan tersebut diatas, akan memunculkan beberapa permasalahan yaitu :
  • Bagaimana prosedur atau cara terdakwa dalam membuktikan?
  • Apa syarat-syarat (estándar) yang  harus ada untuk dapat dinyatakan terdakwa berhasil membuktikan dan tidak berhasil membuktikan?
            Perihal prosedur terdakwa untuk membuktikan, memang tidak dijelaskan sejak kapan, apakah mulai dari tingkat penyidikan atau tingkat persidangan di pengadilan. Tapi untuk menjelaskan hal ini, kita perlu melihat pada ketentuan dalam undang-undang tindak pidana korupsi yaitu pasal 26 yang menyebutkan bahwa penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.
            Bahwa oleh karena untuk proses pembalikan beban pembuktian tidak diatur khusus oleh undang-undang tindak pidana korupsi, maka ketentuan untuk pembalikan beban pembuktian tetap berpedoman pada KUHAP. Bahwa untuk pembuktian hal tersebut tentu harus mengacu kepada asas pembuktian yang dianut oleh KUHAP yaitu pasal 183 KUHAP. Sedangkan alat-alat bukti yang digunakan yaitu mengacu pada ketentuan pasal 184 KUHAP.
            Perlu untuk menjadi kajian adalah bagaimana bentuk pembuktian dalam hal terdakwa menerima gratifikasi   Rp.10.000.000,- atau lebih. Oleh kaena dalam pasal 12B disebutkan  penerima gratifikasi wajib membuktikan, lalu  apakah Jaksa penuntut umum tidak perlu lagi membuktikan dakwaannya, atau cukup menyebutkan fakta-fakta dalam surat dakwaannya. Karena jelas fakta-fakta yang diperoleh oleh Jaksa penuntut Umum adalah berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari Berita Acara Penyidikan, padahal Berita Acara Penyidikan bukanlah fakta final. Oleh karena itu upaya jaksa penuntut umum menetapkan adanya penerimaan gratifikasi berdasarkan fakta-fakta dari Berita Acara Penyidikan belum dapat diterima sebagai pembuktian.
            Hal yang semestinya dilakukan oleh jaksa Penuntut umum dalam pelaksanaan sistem pembalikan beban pembuktian adalah Jaksa Penuntut Umum mengumpulkan fakta-fakta yang diperoleh dan dicatat dalam Berita Acara Penyidikan sekurang-kurangnya dua alat bukti sebagaimana disebutkan dalam pasal 183 KUHAP. Dari fakta-fakta tersebutlah disusun surat dakwaan  dan diajukan kepada terdakwa didepan persidangan. Lalu dalam persidangan menjadi kewajiban terdakwa untuk membuktikan bahwa gratifikasi yang diterima oleh terdakwa bukan penyuapan.
            Jadi penuntut umum wajib menentukan lebih dahulu adanya penerimaan gratifikasi dan nilainya   Rp.10.000.000,- atau lebih yang diuraikan dalam surat dakwaan. Disini Jaksa Penuntut Umum dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti mampu membuktikan fakta-fakta bahwa terdakwa ada menerima gratifikasi yang nilainya Rp.10.000.000,- lebih. Dan kewajiban terdakwa adalah membuktikan bahwa gratifikasi yang diterimanya bukanlah suap. Sebab dalam pasal 12B ayat (1) tersebut yang wajib dibuktikan oleh penerima gratifikasi (terdakwa) adalah bahwa penerimaan gratifikasi tersebut bukan melawan hukum (suap).            
2.    Sistem pembalikan beban pembuktian terhadap perampasan harta benda milik terdakwa.
2.1. Perampasan harta benda yang belum didakwakan.
            Sebagai dasar hukum untuk membuktikan objek harta benda yang belum didakwakan yang harus dibuktikan dengan menggunakan sistem pembalikan beban pembuktian adalah pasal 38B. Rumusan lengkap pasal 38B Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 adalah sebagai berikut :
1)    Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi dan Pasal 5 sampai dengan pasal 12 Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
2)    Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidanan korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.
3)    Tuntutan perampasan harta enda sebagaiama dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok.
4)    Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (10 bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memorie banding dan memorie kasasi.
5)    Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
6)    Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukumdari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak.
            Dalam ketentuan ini mengatur tentang dasar hukum sistem pembalikan beban pembuktian sebatas tentang harta benda terdakwa yang belum didakwakan, tetapi diduga berasal dari tindak pidana korupsi, dan harta benda yang akan dirampas dan akan dilakukan pembuktian secara terbalik tersebut adalah khusus terhadap dakwaan perkara pokok yang berasal dari tindak pidana korupsi pasal 2,3,4,14,15,16, UU no.31 tahun 1999 dan Pasal 5 sampai dengan 12 UU no.20 tahun 2001.
            Perbedaan ketentuan pasal 38B ini dengan ketentuan dalam pasal 12B adalah pada sistem pembalikan beban pembuktiannya. Bahwa pada pasal 12B tentang gratifikasi, terdakwa wajib membuktikan pokok perkaranya yang menyebutkan bahwa gratifikasi yang diterimanya adalah bukan korupsi suap. Sedangkan dalam pasal 38B disebut dengan semi pembalikan beban pembuktian, yaitu dimana Jaksa Penuntut Umum wajib membuktikan unsur-unsur kesalahan terdawa pada perkara pokok. Sedangkan pembalikan beban pembuktian dalam hal Jaksa Penuntut umum dalam requisitoirnya mengajakan perampasan barang-barang terdakwa yang dinyatakan sebagai hasil dari kejahatan tindak pidana korupsi, maka terdakwa wajib untuk membuktikan bahwa barang-barang yang dinyatakan untuk dirampas oleh jaksa penuntut umum tersebut adalah barang-barang yang bukan berasal dari tindak pidana korupsi, dan jika berhasil terdakwa membuktikan bahwa barang-barang yang akan dikenakan perampasan tersebut  bukan berasal dari tindak pidana korupsi, maka terdakwa dapat dilepaskan dari perampasan barang-barang tersebut.
            Bahwa keberahasilan terdakwa membutikan bahwa barang-barang yang akan dirampas oleh negara sebagaimana dalam tuntutan jaksa penuntut umum tersebut bukan berasal dari tindak pidana korupsi, tidaklah otomatis atau secara serta merta terdakwa dapat dibebaskan dari pidana pokok. Jadi dalam ketentuan pasal 38B ini hanya mengatur pembalikan beban pembuktian khusus pada perampasan barang-barang terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
            Apabila Jaksa dalam requisitoirnya menyebutkan perampasan terhadap harta benda, maka untuk pembalikan beban pembuktian dalam perampasan terhadap harta benda ini sesuai dengan pasal 38B ayat (5) hakim dapat membuka kembali guna memberikan kesempatan bagi terdakwa untuk mengajukan pembuktian terhadap perampasan terhadap harta benda terdakwa tidak dapat dibenarkan, karena barang-barang milik terdakwa tersebut bukan berasal dari tindak pidana korupsi.
            Jadi, walaupun terdakwa berhasil membuktikan tentang harta bendanya yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan, tidak dapat dijadikan dasar menarik amar putusan pembebasan, melainkan sekedar menyatakan bahwa harta benda yang dituntut oleh Jaksa untuk dirampas ternyata bukan hasil korupsi, dan oleh karena itu menolak tuntutan jaksa penuntut umum tersebut.
2.2. Perampasan harta benda yang   didakwakan.
            Dasar hukum sistem pembalikan beban pembuktian terhadap objek harta benda yang didakwakan diformulasikan dalam pasal 37A yang rumusan lengkapnya adalah :
1). Terdakwa wajib memberikan eterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perakara yang didakwakan.
2). Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
3). Ketentuan sebagaimana dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalma Pasal 2,Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 UU ini, sehingga penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikannya.
            Ketentuan ini bila dikaitkan dengan beban pembuktian yaitu kepada siapa dan bagaimana cara membuktikannya menurut ketentuan pasal ini dan dihubungkan dengan tindak pidana korupsi dalam perkara pokok, dapat disebut dengan sistem pembuktian semi terbalik atau berimbang.
Dalam sistem ini dimana dalam surat dakwaannya jaksa penuntut umum   telah mendakwa terdakwa   melakukan tindak pidana korupsi (selain suap gratifikasi) yang sekaligus juga didakwakan mengenai harta benda terdakwa yang dianggap diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi, maka untuk pembuktiannya diletakan masing-masing pada jaksa penuntut umum dan terdakwa secara berlawanan dan berimbang.
            Dalam sistem semi terbalik atau berimbang ini, maka objek yang dibuktikan oleh terdakwa adalah mengenai harta benda terdakwa yang didakwakan ole Jaksa Penuntut Umum sebagai hasil dari tindak pidana korupsi, dimana terdakwa akan berusaha membuktikan bahwa benda yang didakwakan oleh jaksa Penuntut Umum tersebut tidak dari hasil tindak pidana korupsi tetapi sesuatu yang legal.
            Sedangkan objek yang akan dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam hal ini adalah perkara pokok yang in casu semua unsur-unsurnya. Jaksa Penuntut Umum berkewajiban membuktikan tentang telah terjadinya tindak pidana korupsi yang didakwakan, dan dilakukan oleh terdakwa serta terdakwa bersalah melakukannya.
            Dalam pembuktian semi terbalik ini bisa saja terdakwa berhasil membuktikan bahwa harta benda yang didakwakan oleh Jaksa Penutut umum sebagai hasil dari tindak pidana korupsi adalah tidak benar, dimana terdakwa berhasil membuktikan bahwa harta benda yang didakwakan tersebut  adalah hasil perimbangan dari penghasilannya. Akan tetapi kendati terdakwa berhasil membuktikan harta benda yang dimilikinya adalah sah, tapi terdakwa tetap terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang telah didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.

IV.            KESIMPULAN
                    Adapun yang menjadi kesimpulan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.          Tujuan dari pembuktian dalam system hokum pidana adalah suatu sarana untuk mencari kebenaran materil suatu perkara yang dihadapkan kedepan persidangan. Guna menemukan kebenaran dari suatu dakwaan, maka diperlukan pembuktikan. Sistem pembuktian itu sendiri adalah menjadi sarana yang menetapkan standar-standar apa yang harus digunakan dalam membuktikan kebenaran dari sesuatu yang didakwakan.
Dalam hokum pidana hokum pembuktian masuk kedalam kelompok hokum pidana formili (hokum acara pidana). Bahwa dalam ilmu hokum pidana ada beberapa ajaran atau teori tentang system pembuktian yaitu pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu, pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dengan alasan yang logis, pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif, dan terakhir system pembuktian berdasarkan undang-undang secara negative.
Dari pelbagai system pembuktian tersebut, maka dalam hokum acara pidana di Indonesia (undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP), maka system pembuktian yang kita anut adalah system pembuktian berdasarkan undang-undang secara negative. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 183 KUHAP yang menyebutkan bahwa mengetahui hal ini dapat dilihat dalam pasal 183 KUHAP yang isinya :
 “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang keculai apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdawalah yang bersalah melakukannya.”
2.          Dalam penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia,  undang-undang yang diterapkan adalah undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001. Bahwa dalam undang-undang tentang tindak pidana korupsi tersebut telah diatur beberapa ketentuan khusus, diantaranya adalah pembalikan beban pembuktian.
Bahwa disebut pembalikan beban pembuktian (omkering van bewijslast) adalah karena dalam system pembuktian biasa, maka yang berkewajiban membuktikan adalah siapa yang menuntut, dalam hal ini adalah jaksa Penuntut umum. Terdakwa mempunyai hak untuk diam (The right to Remain silent), hak untuk dianggap tidak bersalah (presemption of inncence) dan hak untuk tidak menyalahkan diri sendiri (non-self incrimination), dengan hak-hak ini tentu tidak ada kewajiban bagi terdakwa untuk membuktikan ketidak bersalahan dirinya.
Akan tetapi dalam undang-undang tindak pidana korupsi telah memperkenalkan system pembalikan beban pembuktian, dimana tidak juga diberi kewajiban untuk membuktikan terhadap sesuatu hal yang didakwakan kepadanya. Tapi system pembalikan beban pembuktian yang diterapkan dalam undang-undang pemberantasan korupsi ternyata hanya terbatas, yaitu pada suap (gratifikasi) dan terhadap perampasan  harta benda  milik terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi.

                    Pp












  






[1] Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal.2
[2] Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Prof. Oemar Seno Adji, SH dan rekan, Jakarta, 2006, hal.105.
[3] Ibid, hal. 83.
[4] Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU nomor 31 tahun 1999) Cetakan I Bandung CV Mandar Madju, 2001 hal.98.
[5] Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Koupsi, Alumni Bandung, 2006, hl. 24.
[6] Simon, D, Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvordering, Haarlem: De Erven F.Bohn, hal.149.
[7] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Atcara Pidana di Indonesia, Djakarta, Penerbit Sumur Bandung, Hal.72
[8] Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Indonesia, Ghalia Indonesia, 1985, Jakarta, hal.231
[9] Ibid hal.231
[10] Yahya Harahap, Pemabahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2000 hal.257.
[11] D.Simons, Op.cit hal.149.
[12] Wirdjono Prodjodikoro, Op.cit hal. 75.
[13] Yahya Harahap, op.cit, hal.259.
[14]  R.Tresna, Komentar HIR, Peneribt Pradnya Paraminta Jakarta, 2000, hal.237.
[15] Wirdjono Prdjodikoro, Op.cit  hal.77
[16] Adam Chazawi, Op.cit, hal.32.
[17] Oemar Seno Adji, Hukum Pidana pengembangan, Jakarta, Penerbit Erlangga, 1985, Hal. 228.
[18] Indrianto Seno Adji, Op.cit hal.131
[19] Indriyanto Seno Adji, Op.cit hal. 135
[20] Andi Hamzah, Ide Yang Melatarbelakangi Pembalikan Beban Pembuktian, Makalah pada seminar nasional Debat Publik tentang pembalikan Beban Pembuktian, hari Rabu, tanggal 11 Juli 2001 di Universitas Trisakti.
[21] Barda Nawasi Arief, Kapita Selcta hokum Pidana, Penerbit PT Citra Aditya Bhakti, Bandung,2003, hal.109