Kamis, 14 April 2011

Hukuman Mati Untuk Koruptor


KORUPSI DAN PIDANA MATI
Oleh : Hendri Edison, S.H.,M.H.

         Gerakan reformasi lahir pada intinya didorong oleh keinginan untuk melawan kejahatan korupsi yang dirasakan sangat merajalela pada masa pemerintahan orde baru. Lalu setelah satu windu berlalu ternyata apa yang menjadi goal reformasi tersebut seakan tidak ada hasil. Kondisi ini melahirkan rasa pesimis, geram dan bingung untuk mengatasi kejahatan korupsi tersebut.
         Sejak era reformasi, cukup banyak pejabat negara ini yang telah ditangkap dan dijebloskan kepenjara karena terlibat dalam kejahatan korupsi. Tidak seperti pada masa orde baru dimana penangkapan terhadap pejabat sangat absurd. Sekarang  tidak ada yang kebal terhadap hukum, siapa saja yang terlibat korupsi akan ditangkap, kendati disana-sini masih ada tebang pilih. Pelaku kejahatan Korupsi yang telah dijebloskan kedalam terali besi,  tidak saja  kalangan   eksekutif tapi juga kalangan dari legislatif dan bahkan yudikatif juga ada.  
         Tingkat korupsi yang parah di Indonesia, telah menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia sebagaimana hasil survey yang dilakukan oleh International Tranparancy.   Masalah krusial dari kejahatan korupsi adalah akibat yang ditimbulkan  yaitu berdampak pada  perekonomian dan keuangan negara. Merajalelanya korupsi  berdampak pada rusaknya sistem perekonomian Indonesia dan banyak uang negara yang raib tanpa diketahui rimbanya. Sumitro sekira tahun 1999 pernah mengungkapkan bahwa kebocoran anggaran pembangunan setiap tahun di Indonesia tidak kurang dari 30 persen. Terbukti dengan temuan badan pemeriksa keuangan (BPK) yang telah melaporkan pada semester I tahun 2004 mengenai adanya penyimpangan keuangan negara yang mencapai sebesar Rp.166,53 triliun. Angka ini menunjukan bahwa hampir 50 percen dari APBN 2003 melayang kekocek para koruptor ( Krisna harahap:1996:21).
         Belakangan ini kejahatan korupsi di Indonesia semakin dihebohkan dengan kehadiran markus (makelar kasus) dalam penanganan perkara-perkara oleh aparat penegak hukum. Kondisi ini telah melahirkan persepsi dikalangan masyarakat, bahwa lemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia tidak lain disebabkan aparat penegak hukum yang harusnya memberantas korupsi justru terlibat dalam kasus korupsi. Sehingga anekdot yang mengatakan  bagaimana mungkin  membersihkan lantai yang kotor dengan menggunakan sapu yang kotor menjadi terbukti.
         Begitupula dengan kasus yang melibatkan petugas pajak. Petugas pajak yang diberi kewenangan dan kuasa untuk memungut uang dari rakyat (pajak) justru telah menyalahgunakan kewenangan tersebut dengan jalan menggelapkan pajak, memanipulasi perhitungan pajak dan menjadi makelar kasus  dalam penanganan perkara-perkara pajak. Penangkapan Gayus seorang pegawai direktorat pajak yang disinyalir  memiliki uang dalam rekeningnya sebesar Rp.25 milyar telah menguak betapa mengerikan kejahatan korupsi yang dilakukan oleh petugas pajak.
         Melihat maraknya kejahatan korupsi di Indonesia sepertinya tidak ada lagi tempat atau instansi yang tidak ada korupsinya. Artinya semua sektor telah ternoda dengan kejahatan korupsi. Dalam pemberantasan korupsi ini meminjam istilah Mahfud MD sudah habis teori digudang, ternyata korupsi tetap saja tidak berhasil diatasi.
         Kondisi demikian telah melahirkan wacana untuk menggagas menerapkan pidana mati terhadap pelaku kejahatan korupsi. Tujuannya jelas untuk memberi  efek jera. Bila pelaku korupsi dipidana mati, pelaku-pelaku yang lain akan jera dan tidak berani lagi melakukannya. Ide ini lahir dengan berkiblat kepada kebijakan Cina dalam   pemberantasan korupsi yang menerapkan pidana mati. Banyak memang pejabat di Cina yang telah dijatuhi pidana mati dikarenakan melakukan tindak pidana korupsi.
         Persoalannya adalah apakah penerapan pidana mati terhadap pelaku korupsi dianggap paling  tepat   atau ada jaminan bahwa hanya pidana mati sajalah satu-satunya alternatif untuk mengatasi korupsi di Indonesia? Persoalan ini jelas menuntut suatu kehati-hatian dalam penerapan pidana mati terutama dalam kejahatan korupsi.
         Persoalan korupsi tidak dapat dipandang sebagai persoalan sederhana. Penyebab terjadinya korupsi  dipengaruhi oleh pelbagai faktor. Oleh karena itu Muchtar Lubis menyebutkan korupsi sebagai kejahatan berwajah banyak. Penanggulangan korupsi tentu tidak bisa dengan melihat pada satu aspek saja, karena itu diperlukan suatu upaya yang integral dan konfrehensif untuk memperoleh hasil yang signifikan dalam penanggulangan korupsi.
         Kegagalan negeri ini menanggulangi kejahatan korupsi, sebenarnya adalah kesalahan dalam strategi, yaitu lebih bertumpu pada kebijakan pidana (penal policy). Ini dapat terlihat dari seringnya dilakukan pembaharuan dalam perundang-undangan korupsi (legal reform). Strategi demikian lebih bersifat fragmenter, parsial, simptomatik dan represif, karena seolah-olah hanya melihat satu faktor/kondisi saja sebagai penyebab atau titik lemah dari upaya pemberantasan korupsi selama ini, yaitu faktor perundang-undangan. Menurut Barda Nawawi semestinya penanggulangan korupsi harus diarahkan kepada upaya meniadakan sebab-sebab kejahatan secara keseluruhan (mengeliminasi)  atau menanggulangi dan memperbaiki  keseluruhan kausa dan kondisi yang menjadi faktor kriminogen untuk terjadinya kejahatan korupsi.(Barda Nawawi, 2007:130).
         Gagasan untuk memberlakukan pidana mati terhadap pelaku korupsi merupakan bukti betapa   frustasinya kita dalam menghadapi kejahatan kourpsi. Ini juga bukti bahwa kita masih juga tetap pada paradigma bahwa kegagalan pemberantasan  korupsi dikarenakan kegagalan dalam pembaharuan hukum, artinya hukum dirasa begitu lemah, atau memiliki celah yang begitu besar untuk dipermainkan. Padahal dengan menerapkan pidana mati juga belum ada jaminan bahwa kejahatan  korupsi bisa dieliminasi sedemikian rupa di Republik ini.
         Secara ilmiah, memang belum ada bukti bahwa pidana yang berat seperti pidana mati memiliki konstelasi yang erat dengan penurunan tingkat kejahatan. Barang kali cerita dari Inggris mengenai sanksi pidana layak untuk kita perhatikan. Pada masa Ratu Victoria, Inggris pernah mengalami masa paceklik yang panjang. Kondisi ini melahirkan tingkat kejahatan pencurian meningkat. Pemerintah kerajaan mencoba memberantasnya dengan berbagai cara akan tetapi tetap tidak berhasil. Pada akhirnya kerajaan menerapkan sanksi berat kepada pelaku pencurian. Barang siapa kedapatan mencuri dihukum dengan potong tangan didepan umum. Ketika dilaksanakan hukuman potong tangan, banyak rakyat datang kealun-alun tempat pelaksanaan pidana potong tangan itu. Ketika eksekusi terhadap pencuri itu selesai dan darah yang muncrat belum berhenti, tiba-tiba beberapa pengunjung gaduh, berteriak-teriak bahwa dompet mereka dicopet.
         Kisah ini memberikan gambaran pada kita, bahwa sanksi yang berat ternyata tidak ada hubungan sama sekali dengan penurunan tingkat kejahatan. Boleh jadi kejahatan pencurian yang merabak di kerajaan Inggris pada saat itu dipengaruhi oleh meluasnya faktor kemiskinan, sehingga rakyat tidak dapat hidup bertahan tanpa melakukan pencurian untuk mencukupi kebutuhannya.
         Keinginan untuk menerapkan pidana mati terhadap pelaku kejahatan korupsi rasanya terlalu berlebihan. Negara-negara yang tingkat kejahatan korupsinya rendah  adalah justru negara yang telah menghapus pidana matinya. Kendati Cina telah menerapkan pidana mati untuk pelaku kejahatan korupsi ternyata indeks persepsi korupsinya tidak terlalu signifikan, masih bertengger pada indeks 3,6, sementara Belanda yang tidak memberlakukan pidana mati berada pada indeks 8 negara terbesih. Artinya terbukti bahwa tidak ada keterkaitan pidana mati dalam  mengeleminasi kejahatan korupsi.
         Lalu apa yang semestinya dilakukan dalam penanggulangan korupsi di Republik ini. Pertama kita harus merubah paradigama lama yang lebih menekankan pada pembaharuan pada hukum. Penegakan hukum pidana semata dalam penanggulangan korupsi akan menuai kegagalan. Langkah selanjutnya adalah mencari faktor-faktor penyebab korupsi dan faktor penyebab itulah yang selanjutnya akan diatasi.
         Barangkali teori yang dikemukan Gunar Myrdal perlu diperhatikan, ia mengatakan bahwa terbatasnya korupsi dinegara-negara Inggris, Belanda dan Skandinavia sekarang berbeda dengan dua ratus tahun yang lampau adalah diterapkannya hal-hal sebagai berikut : pertama menaikan gaji pegawai rendah dan menengah, kedua menaikan moral pegawai tinggi dan ketiga legalisasi pungutan liar menjadi pendapat resmi atau legal. (Andi Hamzah,2007:259).
         Negeri ini harus banyak belajar pada negara lain tentang keberhasilan mereka dalam penanggulangan korupsi. Hongkong tercatat sebagai negara yang fantastis keberhasilannya memberantas korupsi. Dalam waktu singkat Hongkong telah berhasil bertengger sebagai negara terbersih dari korupsi meski dulunya sebagai negara terkorup.
         Robert Klitgaard pakar korupsi dari Amerika Serikat telah  memperkenalkan rumus baru untuk memberantas korupsi, yaitu C = M + D – A.  Korupsi (C= corruption) menurut Robert Klitgaard merupakan hasil dari Monopoly Power (M) ditambah wewenang pejabat yakni Discretion by officials (D) yang kemudian dikurangi akuntabilitas (A= accountability).
            Jadi menurut Robert Klitgaard, manakala kekuasaan digunakan oleh mereka yang berkuasa tanpa akuntabilitas maka terjadilah Korupsi. Rumus ini telah digunakan oleh pemerintah Hongkong dengan sukses, dengan cara terlebih dahulu membersihkan aparat penegak hukum.  Hasilnya Hongkong sebagai sarang korupsi, pada tahun 2005  menurut penelitian Transparancy International melonjak menduduki peringkat 15 dengan nilai 8,4 meliebihi kedudukan Amerika Serikat atau jepang yang menduduki nilai 7,6 dan 7,3. (Krisna Harahap,2006:39).

1 komentar: