Senin, 09 Mei 2011

Perseteruan KY dan MA


MENGHORMATI PUTUSAN HAKIM
Oleh : Hendri Edison, S.H.,M.H.


             Perseteruan antara Komisi Yudisial (KY) dengan Mahkamah Agung kembali mencuat. Hal ini terkait dengan upaya KY untuk membuka kembali kasus Pembunuhan direktur PT   Ranjawali Putra Banjaran, Nasrudin Zulkarnain yang melibatkan mantan ketua KPK, Antasari Azhar. Persoalannya adalah adanya laporan dari tim Pengacara Antasari Azhar bahwa kasus  tersebut sarat dengan rekayasa dan terkesan dipaksakan untuk menghukum Antasari.
Keadaan ini telah melahirkan polemik antara MA dengan KY. Misalnya ketua MA Arifin Tumpa mengatakan bahwa KY tidak bisa mengkoreksi putusan Hakim, karena putusan hakim hanya bisa dikoreksi oleh pengadilan juga.  Bahkan KY telah mempublikasikan ke mass media bahwa  ada dugaan kuat kasus Antasari Azhar adalah kasus yang sarat dengan  rekayasa.  KY  telah mengambil suatu indiakasi dengan melihat   pertimbangan-pertimbangan yang dibuat hakim dalam putusannya  secara substansial dirasa banyak kejanggalan  dan sangat bertentangan dengan profesionalitas hakim.
Perseteruan yang terjadi antara KY dengan MA tentulah sangat memprihatinkan. Kita memang tidak setuju dengan adanya rekayasa dalam penanganan suatu kasus terlebih kasus pidana. Sebab dalam hukum pidana sangat dikenal adagium yang mengatakan lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang benar. Adagium  ini  memiliki makna yang dalam  dimana dianggap suatu malapetaka besar apabila orang benar dalam arti   tidak melakukan kesalahan seperti yang dituduhkan telah dihukum,  ini  bentuk dari penzoliman.
 Masalahnya adalah apakah tindakan KY yang melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi-saksi yang telah diperiksa seperti saksi ahli IT dan balistik dapat dibenarkan? Dan apakah KY dapat melakukan pemeriksaan terhadap hakim sehubungan dengan putusan yang dijatuhkannya? Dalam artikel ini penulis coba membahasnya dengan menggunakan kacamata hukum yang berlaku di Indonesia.
Pembentukan Komisi Yudisial pada pokoknya dilatarbelakangi oleh gerakan reformasi yang menghendaki dilakukannya pengawasan secara transparan terhadap hakim dan juga menjaga keluhuran dan mertabat hakim. Bahwa untuk mengaplikasikannya,  MPR  dalam referendum UUD 1945 telah memasukan pasal 24B tentang peran dan fungsi KY. Kelanjutannya dibentuklah  undang-undang organiknya yaitu dengan lahirnya Undang-undang nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Tentang kewenangan dan tugas  KY,  undang-undang nomor 22 tahun 2004 mengaturnya dalam  Pasal  13 yang isi lengkapnya adalah a) Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung kepada DPR dan  b) Menegakkan kehormatan dan keluruhan martabat serta menjaga prilaku hakim.
Pokok bahasan dalam tulisan ini  lebih fokus pada masalah  tugas dan kewenangan KY pada poin b  yaitu Menegakkan kehormatan dan keluruhan martabat serta menjaga prilaku hakim. Tugas dan kewenangan KY dari ketentuan yang disebutkan diatas dapat ditafsirkan  bahwa tugas utama  KY selain mengangkat dan mengusulkan hakim agung,  adalah   menegakan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga prilaku hakim. Apakah yang dimaksud dengan “menegakan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga prilaku hakim” tersebut?
Kata “menegakkan” sama artinya pada kata penegakan hukum (law enforcement). Jadi disini kata menegakan bermakna, bahwa KY memiliki peran untuk menjaga terhadap adanya tindakan-tindakan yang dapat menjatuhkan kehormatan dan keluhuran martabat   hakim. Dalam konteks ini kata “kehormatan’ dan ‘keluhuran martabat’ sangat terkait dengan ‘prilaku”. Lalu apakah yang dimaksud dengan prilaku itu sendiri?
Kamus besar bahasa Indonesia,memberikan  pengertian prilaku sebagai tanggapan atau reaksi individu yang terwujud tidak saja dari gerakan badan tapi juga perkataan (ucapan). Jadi prilaku merupakan tindakan dan perkataan seseorang yang sifatnya dapat diamati, digambarkan dan dicatat oleh orang lain maupun  oleh orang yang melakukan. Disini prilaku yang dimaksud terkait erat dengan etika atau moralitas.
Terkait dengan tugas KY sebagaimana yang diamanahkan oleh Undang-undang tersebut adalah  menegakan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga prilaku hakim mengandung arti bahwa KY memiliki tugas mulia yaitu menjaga agar para hakim dalam kehidupannya senantiasa berprilaku yang benar sebagai wujud dari eksistensinya sebagai seorang hakim, sehingga kehormatan dan keluhuran martabat hakim sungguh-sungguh terjaga. Oleh karena itu dalam pengawasan yang dilakukan oleh KY terhadap prilaku hakim yang dapat menjatuhkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim, KY dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung agar hakim yang bersangkutan diberi sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pengawasan yang dilakukan oleh KY adalah sebatas pada prilaku hakim, misalnya ada hakim yang dalam pergaulan dimasyarakat selalu menimbulkan keonaran atau juga ada indikasi hakim terlibat suap dalam  menjatuhkan putusan dan termasuk juga  prilaku hakim yang kerap sekali mengunjungi discotik dan mabuk-mabukan, hal ini patut juga dianggap akan menjatuhkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Terhadap laporan masyarakat demikianlah yang mestinya ditindaklanjuti oleh KY.
Perseteruan antara KY dengan MA tidak lepas dari pemahaman yang berbeda antara KY dengan MA dalam hal kewenangan KY. Bahwa pemeriksaan KY yang terkait dengan mantan ketua KPK, antasari Azhar sebenarnya telah masuk pada ranah teknis mengadili. Disinilah letak persoalannya, bahwa ada perbedaan yang nyata antara   pengertian prilaku dalam konteks etika dengan prilaku dalam  konteks teknik mengadili.
Batasan pemeriksaan yang dilakukan oleh KY terhadap hakim, hanyalah sebatas prilaku, tidak menyangkut  teknis mengadili, dimana teknis mengadili   dan memutus perkara pedomannya adalah KUHAP.  Pasal 22 ayat (3) UU KY secara eksplisit telah menyebutkan bagaimana seharusnya KY dalam melakukan pemeriksaan. Pasal 22 ayat (3) menyebutkan, KY dalam menjalankan tugasnya tidak dibenarkan melakukan perbuatan yang mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Mengacu pada Pasal 22 ayat (3) tersebut jelas bahwa KY tidak dibenarkan melakukan pemeriksaan terhadap prilaku hakim terkait dengan teknis memeriksa dan memutus perkara. Itu semua mutlak kewenangan hakim dan hal ini terkait dengan indepedensi hakim dalam mengadili suatu perkara.
Keberatan yang disampaikan oleh ketua  MA, Arifin A Tumpa terkait dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh KY sehubungan dengan kasus mantan Ketua KPK adalah hal yang wajar, karena tindakan KY  telah  menyimpang jauh yaitu telah masuk pada substansi putusan perkara tersebut. Bahkan KY telah pula melakukan pemeriksaan terhadap saksi ahli yang sebelumnya telah dimitai keterangan saat persidangan berlangsung. KY mencoba mencari kebenaran apakah pertimbangan hakim bertolak belakang atau tidak dengan putusannya. Disamping KY telah jauh melampaui kewenangannya, juga KY telah bertindak seperti seorang interrogator. Ini tidak dapat dibenarkan.
Apa yang telah diputus oleh Hakim, apalagi telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (incrahct), tidaklah dapat dianulir oleh pihak manapun. Seadainyapun dari laporan pengacara Antasari yang mengatakan bahwa hakim telah mengadili secara tidak benar dalam  perkara tersebut, seharusnya KY bersikap arif dan bijaksana yaitu dengan menganjurkan   pengacara Antasari untuk mengajukan Peninjauan Kembali atas kasus tersebut, bukan sebaliknya malah melakukan pemeriksaan terhadap putusan tersebut.   Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP, memberikan kemungkinan  untuk mengajukan PK apabila putusan  dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Perlu pula untuk disadari betul, bahwa Negara ini adalah Negara hukum dan hukum telah  menjadi seperangkat aturan yang sifatnya memberikan batasan-batasan pada setiap individu maupun institusi dalam bertindak.Konsekwensinya adalah bahwa hukum telah menjadi acuan dan pedoman. Oleh karena itu baik Lembaga pengadilan maupun KY memiliki dasar hukumnya masing-masing, dan tidaklah dibenarkan bila salah satu pihak telah melampaui batas kewenangan yang ada padanya.
Janganlah sampai terulang kembali, bagaimana dunia sepak bola kita pernah ditertawakan dunia, dikarenakan seorang kepala kepolisian yang sedang menonton pertandingan sepak bola dengan kekuasaannya selaku pengaman telah menghentikan pertandingan hanya dengan alasan wasit telah bertindak tidak adil. Padahal dilapangan sepak bola yang berkuasa penuh itu adalah hakim (wasit) tidak siapapun.
 Begitupula dengan dunia peradilan, yang memiliki kuasa untuk memeriksa dan memutus perkara itu adalah hakim dan hakim dalam mengadili itu bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kita wajib menghormati putusan itu, sekalipun dibenak kita ada rasa ketikda puasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar