Jumat, 17 Januari 2014

Pelajaran Hukum Pidana



PENGERTIAN PERMUFAKATAN JAHAT
DALAM TINDAK PIDANA

       Tindak Pidana Permufakatan Jahat dalam KUHP diatur dalam Pasal 110  ayat (1) sampai dengan ayat (4). Permufakatan jahat (samenspanning) diatur secara khusus yaitu hanya terhadap kejahatan-kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 104, 106, 107 dan 108 KUHP. Artinya tindak pidana Permufakatan Jahat tidak dapat diberlakukan untuk semua tindak pidana yang ada dalam KUHP, jadi bersifat eksepsional (pengeculian) sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 110  KUHP tersebut.
         Pengertian Permufakatan jahat dalam KUHP dapat dilihat dalam Pasal 88 KUHP yang merupakan penafsiran otentik mengenai permufakatan jahat tersebut. Pasal 88 tersebut menyebutkan pengertian permufakatan jahat sebagai              berikut :”Dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan”
         Merujuk kepada pengertian Permufakatan Jahat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 88 KUHP tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa suatu permufakatan jahat dianggap telah terjadi yakni segera setelah dua orang atau lebih mencapai suatu kesepakatan untuk melakukan kejahatan tersebut.[1] Disini permufakatan jahat merupakan tindak pidana sendiri, artinya orang telah dapat dinyatakan melakukan tindak pidana permufakatan jahat dengan adanya kesepakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 104,106, 107 dan 108 KUHP. Wirjono Prodjodikoro  mengatakan sebagai bijzondere deelneming atau sebagai keturut sertaan yang sifatnya khusus.[2] Apa yang dimaksud dengan keturut sertaan yang sifatnya khusus tersebut oleh Wirjono Prodjodikoro tidak dijelaskan lebih lanjut. Barang kali maksud pengertian yang disebutkan oleh Wirjono Prodjodikoro tersebut adalah bahwa permufakatan jahat tersebut memiliki kemiripan dengan keturut sertaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 KUHP, akan tetapi lebih bersifit khusus. Perbedaannya bahwa keturut sertaan dalam Pasal 55 KUHP para pelaku telah melakukan tindak pidana yang dilarang tersebut, sedangkan dalam permufakatan jahat tindak pidana belum dilakukan oleh pelaku. Jadi yang dihukum atau yang merupakan tindak pidana disini adalah niat yang ditandai adanya kata sepakat dari dua orang atau lebih untuk melakukan tindak pidana dalam ketentuan Pasal 104,106,107 dan 108 KUHP.
         Meskipun tindak pidana belum terlaksana tidak berarti permufakatan jahat sama dengan tindak pidana percobaan (poging) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 KUHP. Dalam tindak pidana percobaan harus memenuhi 3 unsur yaitu niat, permulaan pelaksaan dan perbuatan tersebut tidak jadi selesai diluar kehendak pelaku. Apabila melihat rumusan tindak pidana permufakatan jahat, maka niat dalam permufakatan jahat telah dapat dihukum. Karena perbuatan persiapan (voorbereiding) dalam permufakatan jahat sendiri belum ada.
         Melihat bentuk dari permufakatan jahat tersebut timbul pertanyaan, mengapa   permufakatan jahat terhadap ketentuan-ketentuan dalam Pasal 104,106,107 dan 108 KUHP harus dijatuhi hukuman? Hal ini dikarenakan pembuat undang-undang memandang kejahatan-kejahatan (tindak pidana) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 104,106,107 dan 108 KUHP tersebut telah dipandang sebagai kejahatan yang serius dan sangat berbahaya terutama terhadap keselamatan Negara. Oleh karena itu kejahatan yang disebut staatsgevaarlijke misdrijven (kejahatan terhadap keselamatan Negara), sudah harus dicegah atau diberantas pada waktu kejahatan itu masih pada tingkat persiapan atau masih berada pada voorbereidingsstadium.[3]
         Sesungguhnya dalam hukum pidana niat saja tidaklah dapat dihukum, akan tetapi karena kejahatan seperti yang disebutkan dalam Pasal 104,106,107 dan 108 dianggap sebagai kejahatan yang serius, maka dibuatlah tindak pidana permufakatan jahat terhadap pasal-pasal tersebut sebagai tindak pidana. Ketentuan ini yaitu permufakatan jahat dapatlah dikategorikan sebagai Tatbestandausdehnungsgrund yang artinya dasar yang memperluas rumusan delik atau memperbanyak jumlah delik.[4] Karena delik pokoknya adalah ketentuan dalam pasal 104,106, 107 dan 108 KUHP, sedangkan permufakatan adalah delik tambahan atau perluasan dari delik pokok tersebut. Sama halnya dengan tindak pidana percobaan (poging) juga merupakan Tatbestandausdehnungsgrund  dari delik pokoknya. Misalnya percobaan dalam tindak pidana pencurian, disini pidana pokoknya adalah pencurian Pasal 362 KUHP sedangkan percobaan terhadap pencurian tersebut telah pula dianggap sebagai delik, inilah yang dimaksud dengan perluasan delik tersebut.
         Dalam perkembangan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, ternyata tindak pidana permufakatan jahat ini juga dimasukan dalam ketentuan undang-undang pemberantasan Narkotika yaitu UU nomor 22 tahun 1997. Ketentuan ini dapat kita lihat dalam Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (2), Pasal  80 ayat (2), Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 ayat (2). Mengenai pengertian Permufakatan Jahat ternyata undang-undang nomor 22 tahun 1997 memberikan pengertian sendiri. Hal ini dapat dibaca dalam Pasal 1 angka 17 yang isinya sebagai berikut : Permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih dengan maksud bersepekat untuk melakukan tindak pidana Narkotika.
         Pengertian Permufakatan jahat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 17 tersebut juga memiliki pengertian yang sama dengan Pasal 88 KUHP. Hanya saja dalam Pasal 1 angka 17 sedikit tambahan yaitu adanya frasa “perbuatan” dan frasa “dengan maksud”. Penambahan frasa “dengan maksud”, dirasa terlalu berlebihan, karena adanya kesepakatan tentu dilakukan dengan maksud (kesengajaan) karena tidak mungkin ada kesepakatan tanpa ada kesengajaan.
         Ternyata dalam ketentuan undang-undang Narkotika Pasal yang dapat dikenakan permufakatan jahat juga dibatasi, yaitu pasal-pasal seperti yang telah disebutkan diatas. Dimasukannya ketentuan permufakatan jahat sebagai tindak pidana barang kali dikarenakan tindak pidana Narkotika sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 78,79,80,81 dan 82 dipandang sebagai kejahatan yang serius dan sangat membahayakan, terutama bagi kehidupan warga Negara Indonesia.
         Masalah yang muncul dalam praktek terutama dalam hal pembuktian adanya tindak pidana permufakatan jahat tersebut. Karena kesulitan yang akan didapat adalah menemukan bukti-bukti adanya kejahatan tersebut. Misalnya bukti-bukti apa yang bisa dijadikan bahwa telah ada kata sepakat untuk melakukan tindak pidana narkotika. Bila dibandingkan dengan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 104,106,107 dan 108 KUHP  boleh jadi pasal-pasal dalam KUHP tersebut jauh memungkinkan untuk ditemukannya bukti-bukti, seperti dokumen-dokumen maupun rapat-rapat. Kendati demikian dalam praktek hampir dapat dipastikan belum ada   tindak pidana permufakatan jahat yang pernah disidangkan.


[1] P.A.F.Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, Sinar Baru, Bandung, 1986, hal.90.
[2] Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, 202.
[3] Van Bemmelen-Van Hattum Hand en Leerboek II, Hal.71.
[4] A.Z.Abidin Farid dan Andi Hamzah, Bentuk-bentuk Khusus Perwujuduan Delik dan Hukum Penintensier, Raja Grafindi, Jakarta,2006, 25.

Pidana Mati Untuk Koruptor


KORUPSI DAN PIDANA MATI
Oleh : Hendri Edison, S.H.,M.H.

         Gerakan reformasi lahir pada intinya didorong oleh keinginan untuk melawan kejahatan korupsi yang dirasakan sangat merajalela pada masa pemerintahan orde baru. Lalu setelah satu windu berlalu ternyata apa yang menjadi goal reformasi tersebut seakan tidak ada hasil. Kondisi ini melahirkan rasa pesimis, geram dan bingung untuk mengatasi kejahatan korupsi tersebut.
         Sejak era reformasi, cukup banyak pejabat negara ini yang telah ditangkap dan dijebloskan kepenjara karena terlibat dalam kejahatan korupsi. Tidak seperti pada masa orde baru dimana penangkapan terhadap pejabat sangat absurd. Sekarang  tidak ada yang kebal terhadap hukum, siapa saja yang terlibat korupsi akan ditangkap, kendati disana-sini masih ada tebang pilih. Pelaku kejahatan Korupsi yang telah dijebloskan kedalam terali besi,  tidak saja  kalangan   eksekutif tapi juga kalangan dari legislatif dan bahkan yudikatif juga ada.  
         Tingkat korupsi yang parah di Indonesia, telah menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia sebagaimana hasil survey yang dilakukan oleh International Tranparancy.   Masalah krusial dari kejahatan korupsi adalah akibat yang ditimbulkan  yaitu berdampak pada  perekonomian dan keuangan negara. Merajalelanya korupsi  berdampak pada rusaknya sistem perekonomian Indonesia dan banyak uang negara yang raib tanpa diketahui rimbanya. Sumitro sekira tahun 1999 pernah mengungkapkan bahwa kebocoran anggaran pembangunan setiap tahun di Indonesia tidak kurang dari 30 persen. Terbukti dengan temuan badan pemeriksa keuangan (BPK) yang telah melaporkan pada semester I tahun 2004 mengenai adanya penyimpangan keuangan negara yang mencapai sebesar Rp.166,53 triliun. Angka ini menunjukan bahwa hampir 50 percen dari APBN 2003 melayang kekocek para koruptor ( Krisna harahap:1996:21).
         Belakangan ini kejahatan korupsi di Indonesia semakin dihebohkan dengan kehadiran markus (makelar kasus) dalam penanganan perkara-perkara oleh aparat penegak hukum. Kondisi ini telah melahirkan persepsi dikalangan masyarakat, bahwa lemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia tidak lain disebabkan aparat penegak hukum yang harusnya memberantas korupsi justru terlibat dalam kasus korupsi. Sehingga anekdot yang mengatakan  bagaimana mungkin  membersihkan lantai yang kotor dengan menggunakan sapu yang kotor menjadi terbukti.
         Begitupula dengan kasus yang melibatkan petugas pajak. Petugas pajak yang diberi kewenangan dan kuasa untuk memungut uang dari rakyat (pajak) justru telah menyalahgunakan kewenangan tersebut dengan jalan menggelapkan pajak, memanipulasi perhitungan pajak dan menjadi makelar kasus  dalam penanganan perkara-perkara pajak. Penangkapan Gayus seorang pegawai direktorat pajak yang disinyalir  memiliki uang dalam rekeningnya sebesar Rp.25 milyar telah menguak betapa mengerikan kejahatan korupsi yang dilakukan oleh petugas pajak.
         Melihat maraknya kejahatan korupsi di Indonesia sepertinya tidak ada lagi tempat atau instansi yang tidak ada korupsinya. Artinya semua sektor telah ternoda dengan kejahatan korupsi. Dalam pemberantasan korupsi ini meminjam istilah Mahfud MD sudah habis teori digudang, ternyata korupsi tetap saja tidak berhasil diatasi.
         Kondisi demikian telah melahirkan wacana untuk menggagas menerapkan pidana mati terhadap pelaku kejahatan korupsi. Tujuannya jelas untuk memberi  efek jera. Bila pelaku korupsi dipidana mati, pelaku-pelaku yang lain akan jera dan tidak berani lagi melakukannya. Ide ini lahir dengan berkiblat kepada kebijakan Cina dalam   pemberantasan korupsi yang menerapkan pidana mati. Banyak memang pejabat di Cina yang telah dijatuhi pidana mati dikarenakan melakukan tindak pidana korupsi.
         Persoalannya adalah apakah penerapan pidana mati terhadap pelaku korupsi dianggap paling  tepat   atau ada jaminan bahwa hanya pidana mati sajalah satu-satunya alternatif untuk mengatasi korupsi di Indonesia? Persoalan ini jelas menuntut suatu kehati-hatian dalam penerapan pidana mati terutama dalam kejahatan korupsi.
         Persoalan korupsi tidak dapat dipandang sebagai persoalan sederhana. Penyebab terjadinya korupsi  dipengaruhi oleh pelbagai faktor. Oleh karena itu Muchtar Lubis menyebutkan korupsi sebagai kejahatan berwajah banyak. Penanggulangan korupsi tentu tidak bisa dengan melihat pada satu aspek saja, karena itu diperlukan suatu upaya yang integral dan konfrehensif untuk memperoleh hasil yang signifikan dalam penanggulangan korupsi.
         Kegagalan negeri ini menanggulangi kejahatan korupsi, sebenarnya adalah kesalahan dalam strategi, yaitu lebih bertumpu pada kebijakan pidana (penal policy). Ini dapat terlihat dari seringnya dilakukan pembaharuan dalam perundang-undangan korupsi (legal reform). Strategi demikian lebih bersifat fragmenter, parsial, simptomatik dan represif, karena seolah-olah hanya melihat satu faktor/kondisi saja sebagai penyebab atau titik lemah dari upaya pemberantasan korupsi selama ini, yaitu faktor perundang-undangan. Menurut Barda Nawawi semestinya penanggulangan korupsi harus diarahkan kepada upaya meniadakan sebab-sebab kejahatan secara keseluruhan (mengeliminasi)  atau menanggulangi dan memperbaiki  keseluruhan kausa dan kondisi yang menjadi faktor kriminogen untuk terjadinya kejahatan korupsi.(Barda Nawawi, 2007:130).
         Gagasan untuk memberlakukan pidana mati terhadap pelaku korupsi merupakan bukti betapa   frustasinya kita dalam menghadapi kejahatan kourpsi. Ini juga bukti bahwa kita masih juga tetap pada paradigma bahwa kegagalan pemberantasan  korupsi dikarenakan kegagalan dalam pembaharuan hukum, artinya hukum dirasa begitu lemah, atau memiliki celah yang begitu besar untuk dipermainkan. Padahal dengan menerapkan pidana mati juga belum ada jaminan bahwa kejahatan  korupsi bisa dieliminasi sedemikian rupa di Republik ini.
         Secara ilmiah, memang belum ada bukti bahwa pidana yang berat seperti pidana mati memiliki konstelasi yang erat dengan penurunan tingkat kejahatan. Barang kali cerita dari Inggris mengenai sanksi pidana layak untuk kita perhatikan. Pada masa Ratu Victoria, Inggris pernah mengalami masa paceklik yang panjang. Kondisi ini melahirkan tingkat kejahatan pencurian meningkat. Pemerintah kerajaan mencoba memberantasnya dengan berbagai cara akan tetapi tetap tidak berhasil. Pada akhirnya kerajaan menerapkan sanksi berat kepada pelaku pencurian. Barang siapa kedapatan mencuri dihukum dengan potong tangan didepan umum. Ketika dilaksanakan hukuman potong tangan, banyak rakyat datang kealun-alun tempat pelaksanaan pidana potong tangan itu. Ketika eksekusi terhadap pencuri itu selesai dan darah yang muncrat belum berhenti, tiba-tiba beberapa pengunjung gaduh, berteriak-teriak bahwa dompet mereka dicopet.
         Kisah ini memberikan gambaran pada kita, bahwa sanksi yang berat ternyata tidak ada hubungan sama sekali dengan penurunan tingkat kejahatan. Boleh jadi kejahatan pencurian yang merabak di kerajaan Inggris pada saat itu dipengaruhi oleh meluasnya faktor kemiskinan, sehingga rakyat tidak dapat hidup bertahan tanpa melakukan pencurian untuk mencukupi kebutuhannya.
         Keinginan untuk menerapkan pidana mati terhadap pelaku kejahatan korupsi rasanya terlalu berlebihan. Negara-negara yang tingkat kejahatan korupsinya rendah  adalah justru negara yang telah menghapus pidana matinya. Kendati Cina telah menerapkan pidana mati untuk pelaku kejahatan korupsi ternyata indeks persepsi korupsinya tidak terlalu signifikan, masih bertengger pada indeks 3,6, sementara Belanda yang tidak memberlakukan pidana mati berada pada indeks 8 negara terbesih. Artinya terbukti bahwa tidak ada keterkaitan pidana mati dalam  mengeleminasi kejahatan korupsi.
Teori yang dikemukan Gunar Myrdal perlu diperhatikan, ia mengatakan bahwa terbatasnya korupsi dinegara-negara Inggris, Belanda dan Skandinavia sekarang berbeda dengan dua ratus tahun yang lampau adalah diterapkannya hal-hal sebagai berikut : pertama menaikan gaji pegawai rendah dan menengah, kedua menaikan moral pegawai tinggi dan ketiga legalisasi pungutan liar menjadi pendapat resmi atau legal. (Andi Hamzah,2007:259).
         Negeri ini harus banyak belajar pada negara lain tentang keberhasilan mereka dalam penanggulangan korupsi. Hongkong tercatat sebagai negara yang fantastis keberhasilannya memberantas korupsi. Dalam waktu singkat Hongkong telah berhasil bertengger sebagai negara terbersih dari korupsi meski dulunya sebagai negara terkorup.
         Robert Klitgaard pakar korupsi dari Amerika Serikat telah  memperkenalkan rumus baru untuk memberantas korupsi, yaitu C = M + D – A.  Korupsi (C= corruption) menurut Robert Klitgaard merupakan hasil dari Monopoly Power (M) ditambah wewenang pejabat yakni Discretion by officials (D) yang kemudian dikurangi akuntabilitas (A= accountability).
            Jadi menurut Robert Klitgaard, manakala kekuasaan digunakan oleh mereka yang berkuasa tanpa akuntabilitas maka terjadilah Korupsi. Rumus ini telah digunakan oleh pemerintah Hongkong dengan sukses, dengan cara terlebih dahulu membersihkan aparat penegak hukum.  Hasilnya Hongkong sebagai sarang korupsi, pada tahun 2005  menurut penelitian Transparancy International melonjak menduduki peringkat 15 dengan nilai 8,4 melebihi kedudukan Amerika Serikat atau jepang yang menduduki nilai 7,6 dan 7,3. (Krisna Harahap,2006:39).
         Langkah yang harus diambil dalam penanggulangan korupsi di Republik ini adalah, pertama kita harus merubah paradigama lama yang lebih menekankan pada pembaharuan pada hukum. Penegakan hukum pidana semata dalam penanggulangan korupsi akan menuai kegagalan. Langkah selanjutnya adalah mencari faktor-faktor penyebab korupsi dan faktor penyebab itulah yang selanjutnya akan diatasi.
                       


 





Penegakan Hukum



 
REKAYASA KASUS DALAM PENEGAKAN HUKUM

Ada adagium yang sangat terkenal dalam hukum pidana yaitu, “lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang benar”. Adagium ini mensyaratkan bahwa ketika satu orang benar atau tidak bersalah dijatuhi hukuman, maka runtuhlah hukum itu. Menghukum orang yang tidak bersalah adalah suatu kejahatan paling dikutuk dan tidak dapat dibenarkan sama sekali.
Penegakan hukum dalam hukum pidana adalah mencari kebenaran  materil, bukan kebenaran formil. Karena itu pembuktian dalam hukum pidana jauh lebih hati-hati dibanding dengan pembuktian dalam hukum perdata/tatausaha negara. Itu sebabnya ada prinsip dalam hukum pidana, dalam hal hakim ragu-ragu terhadap alat bukti yang ada, maka hakim sebaiknya menjatuhkan putusan bebas. Kesimpulannya, bahwa menghukum orang bersalah dalam hukum pidana harus benar-benar telah didukung dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan hakim yang penuh.
 Unsur utama dalam hukum pidana adalah unsur kesalahan, karena itu ada asas dalam hukum pidana yang menyebutkan, tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld), atau meminjam istilah lain yang dikemukakan oleh Nurul Huda dengan istilah tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan. Membuktikan unsur kesalahan terhadap seseorang yang didakwa telah melakukan tindak pidana merupakan  hal yang esensial untuk  menentukan bersalah atau tidaknya seseorang.
Para penegak hukum harus memahami benar prinsip pokok hukum pidana ini yaitu tentang unsur kesalahan. Karena kesalahan secara luas terkait dengan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Seringkali dalam praktek untuk menyederhanakan penyelesaian perkara unsur esensial ini tidak atau jarang dibuktikan oleh penegak hukum dipengadilan. Akibatnya bisa berdampak pada lahirnya putusan yang menghukum seseorang bersalah padahal orang tersebut tidak bersalah. Disini telah terjadi pelecehan terhadap keadilan.
Belakangan ini ramai kita mendengar adanya rekayasa kasus yang dilakukan oleh penegak hukum. Putusan Mahkamah Agung yang telah menganulir putusan pidana 4 tahun penjara yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Tinggi Surabaya terhadap Rudy di sinyalir ada rakayasa kasus dalam  perkara tersebut.  Mahkamah Agung memutuskan bahwa Rudy tidak bersalah dan karennya dibebaskan dari dakwaan melanggar undang-undang penyalahgunaan Narkotika.
Pertanyaan yang timbul adalah dimana letak kesalahan ini, sebab pengadilan negeri Surabaya maupun pengadilan tinggi Surabaya selaku judex factie,   menghukum terdakwa bersalah,  Mahkamah Agung selaku judex juris justru memutus bebas, apakah judex factie telah tidak teliti dalam memeriksa perkara atau Mahkamah Agung yang keliru?
Menjawab pertanyaan ini akan dilihat bagaimana dalam praktek pengadilan melakukan pembuktian khususnya dalam perkara tindak pidana Narkotika. Undang-undang  nomor 35 tahun 2009 telah membuat formulasi delik secara sederhana, tujuannya tentu untuk memudahkan pembuktian dari pelanggaran undang-undang tersebut. Sebagai contoh misalnya kita ambil Pasal 111 ayat (1) yang isi lengkapnya adalah sebagai berikut :
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”
Unsur melawan hukum dalam Pasal ini menjadi krusial. Dalam praktek apabila formulasi delik menyebutkan unsur melwan hukum, maka unsur tersebut wajib dibuktikan dipersidangan, bila tidak terbukti, maka terdakwa harus dibebaskan. Ada juga formulasi delik yang tidak menyebutkan unsur melawan hukum, lalu apa unsur tersebut perlu dibuktikan. Jawabnya tidak harus, karena kalau unsur-unsur delik telah terpenuhi, maka dengan sendirinya perbuatan melawan hukumnya telah terbukti. Contohnya Pasal 338 KUHP, filosofinya  menghilangkan nyawa orang lain dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.
Melawan hukum adalah unsur objektif dalam delik, sedangkan kesalahan adalah unsur subjektif. Melawan hukum ada dua pandangan, pertama melawan hukum formil kedua melawan hukum materil. Dalam praktek seperti Pasal 111 (1) tersebut diatas, jaksa maupun hakim hanya membuktikan unsur melawan hukum dari perbuatan terdakwa, tanpa membuktikan kesalahan terdakwa atau lebih tepatnya ketercelaan perbuatan terdakwa. Ini terjadi karena hakim maupun jaksa hanya bertumpu pada pandangan melawan hukum formil. Melawan hukum cukup dibuktikan dengan perbuatan terdakwa menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan I tersebut tidak memiliki hak atau tidak ada izin. Lalu bagaimana terdakwa bisa menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan I tidak pernah dibuktikan, sebenarnya inilah unsur kesalahan (ketercelaan) tersebut. Pasal 111 ayat (1) tersebut diatas, jelas tidak ada disebutkan unsur kesengajaan. Tapi harus dipahami bahwa perbuatan tersebut harus dilakukan dengan kesengajaan.
Terbuktinya unsur melawan hukum biasanya hakim dengan serta merta menghukum terdakwa. Padahal seperti disebut diatas unsur kesalahan secara luas terkait dengan pertanggungjawaban pidana terdakwa. Bahwa meskipun unsur delik terbukti, akan tetapi apabila pada diri terdakwa tidak ada kesalahan, maka terdakwa tidak boleh dihukum, melainkan harus dihukum dengan hukuman lepasa dari tuntutan (onslag van recht  vervolging).
 Lalu apakah disini jaksa maupun hakim tidak perlu membuktikan unsur kesengajaannya? Seharusnya harus dibuktikan. Kesengajaan itu sendiri dalam jurisprudensi maupun praktek selalu diartikan sebagai mengetahui dan menghendaki (will en witten). Memang unsur kesalahan adalah unsur yang subjektif, yaitu keadaan batin seseorang terhadap tindak pidana tersebut. Membuktikan kesengajaan terdakwa dapat dilakukan dengan cara memeriksa pengetahuan dan kehendak terdakwa atas tindak pidana yang dituduhkan tersebut.
Apabila tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa tersebut benar diketahui dan akibatnya juga dikehendaki oleh terdakwa, barulah terdakwa dapat   dinyatakan bersalah oleh hakim. Praktek penegakan hukum selama ini selalu mengabaikan unsur kesalahan ini. Sebagai contoh,  sebutlah namanya A (seorang wanita), dari Medan pergi ke Jakarta dengan menggunakan kapal laut. Dalam perjalanan diatas kapal si A berkenalan dengan si B (seorang pria), selama perjalanan mereka saling ngobrol. Sampai di Tanjung Priok, ketika hendak turun, si B menitipkan sebuah kardus kecil kepada A untuk tolong dibawakan, dan B akan menjemputnya nanti setelah melewati pemeriksaan. A tanpa curiga membawa barang-barangnya bersama dengan titipan B tadi. Ketika melewati portal penjagaan, dilakukan pemeriksaan, lalu petugas curiga dan membuka kardus yang dibawa A, dan ternyata setelah diperiksa berisi Narkotika jenis ganja. Akhirnya A dibawa kekantor Polisi dan oleh polisi diproses dan dikirim ke Jaksa.
Melihat kronologis kasus ini, penyidik maupun jaksa seharusnya meniliti dengan cermat untuk mengetahui letak kesalahan si A, apakah si A dalam hal ini bersalah? Kalau berpikir secara sederhana jelas A bisa disalahkan, karena unsur melawan hukum telah terbukti begitu pula dengan unsur memiliki, menguasi atau menyimpan Narkotika golongan I, karena kardus berisi ganja tersebut ada dalam kekuasaan dari A. Harus juga dicari kebenaran materil, untuk melihat kesalahan A. Apakah A memang sungguh-sungguh mengetahui kardus itu berisi ganja, dan apakah A memang menghendaki hal tersebut. Kemudian juga bisa dilihat dari latar belakang A, apakah A memang punya latar belakang yang terkait dengan pengguna atau pengedaran Narkotika.
Jadi dalam hal ini tidak serta merta harus menghukum A, apalagi  diketahui bahwa kardus tersebut bukan milik dari A, maka A tidak dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana. Jadi dalam praktek sering sekali jebakan-jebakan demikian terjadi dan akibatnya adalah sering sekali orang yang tidak bersalah harus dihukum.
Karena itu benar apa yang disebut oleh adagium dalam hukum pidana tadi, yaitu lebih baik membabaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Keadilan akan runtuh apabila orang benar dihukum. Keadilan itu untuk manusia, seperti yang dikatakan Imanuel Kant, “If justice is gone, there is no reason for a man to live longer on earth”.
Mahkamah Agung yang memeriksa dan mengadili kasus Rudy melihat secara cermat dan akurat letak kesalahan dalam menerapkan hukum pembuktian, dari keterangan saksi-saksi dan fakta dipersidangan terlihat bahwa tidak cukup bukti adanya kesalahan pada diri terdakwa Rudi sebagaimana  dakwaan Penuntut Umum. Karena itu Mahkamah Agung memandang terdakwa Rudi tidak bersalah dan harus dibebaskan.
Apakah dalam kasus ini ada rekayasa? Penulis memandang tidak tepat disebut sebagai rekayasa kasus. Rekayasa itu sendiri mengandung arti rencana jahat atau persekongkolan jahat dengan tujuan untuk merugikan orang lain. Lalu apa kepentingan penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum dan juga hakim judex factie merekayasa kasus itu agar Rudi dihukum? Tentu tidak ada. Lalu apa yang terjadi dalam hal ini? Lebih tepat menyebutnya sebagai kelemahan dan ketidak mampuan penegak hukum dalam memahami hukum sehingga kelemahan tersebut berakibat terjadinya kekeliruan dalam penegakan hukum. Meminjam istilah kedokteran lebih tepat disebut sebagai malpraktek dalam penegakan hukum.
Kita tidak hanya sekedar memerlukan penegak hukum yang jujur, tegas dan berani, tapi juga harus cerdas, jeli dan memiliki kemampuan memahami hukum dengan benar, sehingga orang-orang yang berurusan dengan hukum dapat merasakan keadilan dan tidak merasa diperkosa hak-haknya. Dengan demikian diharapkan tindakan-tindakan malpraktek dalam penegakan hukum dapat dihindari.