Kamis, 14 April 2011

PERMUFAKATAN JAHAT


PENGERTIAN PERMUFAKATAN JAHAT
DALAM TINDAK PIDANA

         Tindak Pidana Permufakatan Jahat dalam KUHP diatur dalam Pasal 110  ayat (1) sampai dengan ayat (4). Permufakatan jahat (samenspanning) diatur secara khusus yaitu hanya terhadap kejahatan-kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 104, 106, 107 dan 108 KUHP. Artinya tindak pidana Permufakatan Jahat tidak dapat diberlakukan untuk semua tindak pidana yang ada dalam KUHP, jadi bersifat eksepsional (pengeculian) sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 110  KUHP tersebut.
         Pengertian Permufakatan jahat dalam KUHP dapat dilihat dalam Pasal 88 KUHP yang merupakan penafsiran otentik mengenai permufakatan jahat tersebut. Pasal 88 tersebut menyebutkan pengertian permufakatan jahat sebagai              berikut :”Dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan”
         Merujuk kepada pengertian Permufakatan Jahat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 88 KUHP tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa suatu permufakatan jahat dianggap telah terjadi yakni segera setelah dua orang atau lebih mencapai suatu kesepakatan untuk melakukan kejahatan tersebut.[1] Disini permufakatan jahat merupakan tindak pidana sendiri, artinya orang telah dapat dinyatakan melakukan tindak pidana permufakatan jahat dengan adanya kesepakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 104,106, 107 dan 108 KUHP. Wirjono Prodjodikoro  mengatakan sebagai bijzondere deelneming atau sebagai keturut sertaan yang sifatnya khusus.[2] Apa yang dimaksud dengan keturut sertaan yang sifatnya khusus tersebut oleh Wirjono Prodjodikoro tidak dijelaskan lebih lanjut. Barang kali maksud pengertian yang disebutkan oleh Wirjono Prodjodikoro tersebut adalah bahwa permufakatan jahat tersebut memiliki kemiripan dengan keturut sertaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 KUHP, akan tetapi lebih bersifit khusus. Perbedaannya bahwa keturut sertaan dalam Pasal 55 KUHP para pelaku telah melakukan tindak pidana yang dilarang tersebut, sedangkan dalam permufakatan jahat tindak pidana belum dilakukan oleh pelaku. Jadi yang dihukum atau yang merupakan tindak pidana disini adalah niat yang ditandai adanya kata sepakat dari dua orang atau lebih untuk melakukan tindak pidana dalam ketentuan Pasal 104,106,107 dan 108 KUHP.
         Meskipun tindak pidana belum terlaksana tidak berarti permufakatan jahat sama dengan tindak pidana percobaan (poging) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 KUHP. Dalam tindak pidana percobaan harus memenuhi 3 unsur yaitu niat, permulaan pelaksaan dan perbuatan tersebut tidak jadi selesai diluar kehendak pelaku. Apabila melihat rumusan tindak pidana permufakatan jahat, maka niat dalam permufakatan jahat telah dapat dihukum. Karena perbuatan persiapan (voorbereiding) dalam permufakatan jahat sendiri belum ada.
         Melihat bentuk dari permufakatan jahat tersebut timbul pertanyaan, mengapa   permufakatan jahat terhadap ketentuan-ketentuan dalam Pasal 104,106,107 dan 108 KUHP harus dijatuhi hukuman? Hal ini dikarenakan pembuat undang-undang memandang kejahatan-kejahatan (tindak pidana) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 104,106,107 dan 108 KUHP tersebut telah dipandang sebagai kejahatan yang serius dan sangat berbahaya terutama terhadap keselamatan Negara. Oleh karena itu kejahatan yang disebut staatsgevaarlijke misdrijven (kejahatan terhadap keselamatan Negara), sudah harus dicegah atau diberantas pada waktu kejahatan itu masih pada tingkat persiapan atau masih berada pada voorbereidingsstadium.[3]
         Sesungguhnya dalam hukum pidana niat saja tidaklah dapat dihukum, akan tetapi karena kejahatan seperti yang disebutkan dalam Pasal 104,106,107 dan 108 dianggap sebagai kejahatan yang serius, maka dibuatlah tindak pidana permufakatan jahat terhadap pasal-pasal tersebut sebagai tindak pidana. Ketentuan ini yaitu permufakatan jahat dapatlah dikategorikan sebagai Tatbestandausdehnungsgrund yang artinya dasar yang memperluas rumusan delik atau memperbanyak jumlah delik.[4] Karena delik pokoknya adalah ketentuan dalam pasal 104,106, 107 dan 108 KUHP, sedangkan permufakatan adalah delik tambahan atau perluasan dari delik pokok tersebut. Sama halnya dengan tindak pidana percobaan (poging) juga merupakan Tatbestandausdehnungsgrund  dari delik pokoknya. Misalnya percobaan dalam tindak pidana pencurian, disini pidana pokoknya adalah pencurian Pasal 362 KUHP sedangkan percobaan terhadap pencurian tersebut telah pula dianggap sebagai delik, inilah yang dimaksud dengan perluasan delik tersebut.
         Dalam perkembangan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, ternyata tindak pidana permufakatan jahat ini juga dimasukan dalam ketentuan undang-undang pemberantasan Narkotika yaitu UU nomor 22 tahun 1997. Ketentuan ini dapat kita lihat dalam Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (2), Pasal  80 ayat (2), Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 ayat (2). Mengenai pengertian Permufakatan Jahat ternyata undang-undang nomor 22 tahun 1997 memberikan pengertian sendiri. Hal ini dapat dibaca dalam Pasal 1 angka 17 yang isinya sebagai berikut : Permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih dengan maksud bersepekat untuk melakukan tindak pidana Narkotika.
         Pengertian Permufakatan jahat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 17 tersebut juga memiliki pengertian yang sama dengan Pasal 88 KUHP. Hanya saja dalam Pasal 1 angka 17 sedikit tambahan yaitu adanya frasa “perbuatan” dan frasa “dengan maksud”. Penambahan frasa “dengan maksud”, dirasa terlalu berlebihan, karena adanya kesepakatan tentu dilakukan dengan maksud (kesengajaan) karena tidak mungkin ada kesepakatan tanpa ada kesengajaan.
         Ternyata dalam ketentuan undang-undang Narkotika Pasal yang dapat dikenakan permufakatan jahat juga dibatasi, yaitu pasal-pasal seperti yang telah disebutkan diatas. Dimasukannya ketentuan permufakatan jahat sebagai tindak pidana barang kali dikarenakan tindak pidana Narkotika sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 78,79,80,81 dan 82 dipandang sebagai kejahatan yang serius dan sangat membahayakan, terutama bagi kehidupan warga Negara Indonesia.
         Masalah yang muncul dalam praktek terutama dalam hal pembuktian adanya tindak pidana permufakatan jahat tersebut. Karena kesulitan yang akan didapat adalah menemukan bukti-bukti adanya kejahatan tersebut. Misalnya bukti-bukti apa yang bisa dijadikan bahwa telah ada kata sepakat untuk melakukan tindak pidana narkotika. Bila dibandingkan dengan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 104,106,107 dan 108 KUHP  boleh jadi pasal-pasal dalam KUHP tersebut jauh memungkinkan untuk ditemukannya bukti-bukti, seperti dokumen-dokumen maupun rapat-rapat. Kendati demikian dalam praktek hampir dapat dipastikan belum ada   tindak pidana permufakatan jahat yang pernah disidangkan.


[1] P.A.F.Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, Sinar Baru, Bandung, 1986, hal.90.
[2] Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, 202.
[3] Van Bemmelen-Van Hattum Hand en Leerboek II, Hal.71.
[4] A.Z.Abidin Farid dan Andi Hamzah, Bentuk-bentuk Khusus Perwujuduan Delik dan Hukum Penintensier, Raja Grafindi, Jakarta,2006, 25.

2 komentar:

  1. tanya pak
    Kasus : Pihak Pertama Penjual
    Pihak kedua pembeli
    Pihak ketiga calon pembeli
    Kronologis
    Pihak Pertama menawarkan calon pembeli barang kemudian pihak calon pembeli menolak ( tidak mau ) lalu pihak penjual minta tolong mencarikan pembeli dan ditawarkanlah ke pihak sipembeli dan dia mau.selanjutnya pertemuan - pertemuan dan kesepakatan tidak lagi melibatkan calon pembeli.permsalahan ternyata barang yabg akan dijual oleh si penjual tidak ada sedangkan pihak pembeli telah memberikan uang.
    Pertanyaan :
    1. untuk status si calon pembeli bagaimana ?
    2. apakah ini ada unsur kemufakatan jahat ?
    3. dan untuk pihak penjuan dan pembeli bagaimana ?
    Mohon pencerahannya

    BalasHapus