PENGERTIAN PERMUFAKATAN JAHAT
DALAM TINDAK PIDANA
Tindak Pidana
Permufakatan Jahat dalam KUHP diatur dalam Pasal 110 ayat (1) sampai dengan ayat (4). Permufakatan
jahat (samenspanning) diatur secara
khusus yaitu hanya terhadap kejahatan-kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal
104, 106, 107 dan 108 KUHP. Artinya tindak pidana Permufakatan Jahat tidak
dapat diberlakukan untuk semua tindak pidana yang ada dalam KUHP, jadi bersifat
eksepsional (pengeculian) sebagaimana
yang disebutkan dalam Pasal 110 KUHP
tersebut.
Pengertian Permufakatan jahat dalam
KUHP dapat dilihat dalam Pasal 88 KUHP yang merupakan penafsiran otentik
mengenai permufakatan jahat tersebut. Pasal 88 tersebut menyebutkan pengertian
permufakatan jahat sebagai berikut
:”Dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat
akan melakukan kejahatan”
Merujuk kepada pengertian Permufakatan
Jahat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 88 KUHP tersebut, dapatlah disimpulkan
bahwa suatu permufakatan jahat dianggap telah terjadi yakni segera setelah dua
orang atau lebih mencapai suatu kesepakatan untuk melakukan kejahatan tersebut.[1] Disini
permufakatan jahat merupakan tindak pidana sendiri, artinya orang telah dapat
dinyatakan melakukan tindak pidana permufakatan jahat dengan adanya kesepakatan
untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana sebagaimana yang disebutkan dalam
Pasal 104,106, 107 dan 108 KUHP. Wirjono Prodjodikoro mengatakan sebagai bijzondere deelneming atau sebagai keturut sertaan yang sifatnya
khusus.[2] Apa yang
dimaksud dengan keturut sertaan yang sifatnya khusus tersebut oleh Wirjono
Prodjodikoro tidak dijelaskan lebih lanjut. Barang kali maksud pengertian yang
disebutkan oleh Wirjono Prodjodikoro tersebut adalah bahwa permufakatan jahat
tersebut memiliki kemiripan dengan keturut sertaan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 55 KUHP, akan tetapi lebih bersifit khusus. Perbedaannya bahwa
keturut sertaan dalam Pasal 55 KUHP para pelaku telah melakukan tindak pidana
yang dilarang tersebut, sedangkan dalam permufakatan jahat tindak pidana belum
dilakukan oleh pelaku. Jadi
yang dihukum atau yang merupakan tindak pidana disini adalah niat yang ditandai
adanya kata sepakat dari dua orang atau lebih untuk melakukan tindak pidana
dalam ketentuan Pasal 104,106,107 dan 108 KUHP.
Meskipun tindak pidana belum
terlaksana tidak berarti permufakatan jahat sama dengan tindak pidana percobaan
(poging) sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 53 KUHP. Dalam tindak pidana percobaan harus memenuhi 3 unsur yaitu
niat, permulaan pelaksaan dan perbuatan tersebut tidak jadi selesai diluar
kehendak pelaku. Apabila melihat rumusan tindak pidana permufakatan jahat, maka
niat dalam permufakatan jahat telah dapat dihukum. Karena perbuatan persiapan (voorbereiding) dalam permufakatan jahat
sendiri belum ada.
Melihat bentuk dari permufakatan jahat
tersebut timbul pertanyaan, mengapa
permufakatan jahat terhadap ketentuan-ketentuan dalam Pasal 104,106,107
dan 108 KUHP harus dijatuhi hukuman? Hal ini dikarenakan pembuat undang-undang
memandang kejahatan-kejahatan (tindak pidana) sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 104,106,107 dan 108 KUHP tersebut telah dipandang sebagai kejahatan yang
serius dan sangat berbahaya terutama terhadap keselamatan Negara. Oleh karena
itu kejahatan yang disebut staatsgevaarlijke
misdrijven (kejahatan terhadap keselamatan Negara), sudah harus dicegah
atau diberantas pada waktu kejahatan itu masih pada tingkat persiapan atau
masih berada pada voorbereidingsstadium.[3]
Sesungguhnya dalam hukum pidana niat
saja tidaklah dapat dihukum, akan tetapi karena kejahatan seperti yang
disebutkan dalam Pasal 104,106,107 dan 108 dianggap sebagai kejahatan yang
serius, maka dibuatlah tindak pidana permufakatan jahat terhadap pasal-pasal tersebut
sebagai tindak pidana. Ketentuan ini yaitu permufakatan jahat dapatlah
dikategorikan sebagai Tatbestandausdehnungsgrund
yang artinya dasar yang memperluas rumusan delik atau memperbanyak jumlah
delik.[4]
Karena delik pokoknya adalah ketentuan dalam pasal 104,106, 107 dan 108 KUHP,
sedangkan permufakatan adalah delik tambahan atau perluasan dari delik pokok
tersebut. Sama halnya dengan tindak pidana percobaan (poging) juga merupakan Tatbestandausdehnungsgrund dari delik pokoknya. Misalnya percobaan dalam tindak pidana
pencurian, disini pidana pokoknya adalah pencurian Pasal 362 KUHP sedangkan
percobaan terhadap pencurian tersebut telah pula dianggap sebagai delik, inilah
yang dimaksud dengan perluasan delik tersebut.
Dalam perkembangan peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia,
ternyata tindak pidana permufakatan jahat ini juga dimasukan dalam ketentuan
undang-undang pemberantasan Narkotika yaitu UU nomor 22 tahun 1997. Ketentuan
ini dapat kita lihat dalam Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (2), Pasal 80 ayat (2), Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82
ayat (2). Mengenai pengertian Permufakatan Jahat ternyata
undang-undang nomor 22 tahun 1997 memberikan pengertian sendiri. Hal ini dapat
dibaca dalam Pasal 1 angka 17 yang isinya sebagai berikut : Permufakatan jahat
adalah perbuatan dua orang atau lebih dengan maksud bersepekat untuk melakukan
tindak pidana Narkotika.
Pengertian Permufakatan jahat
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 17 tersebut juga memiliki pengertian
yang sama dengan Pasal 88 KUHP. Hanya saja dalam Pasal 1 angka 17 sedikit
tambahan yaitu adanya frasa “perbuatan” dan frasa “dengan maksud”. Penambahan
frasa “dengan maksud”, dirasa terlalu berlebihan, karena adanya kesepakatan
tentu dilakukan dengan maksud (kesengajaan) karena tidak mungkin ada
kesepakatan tanpa ada kesengajaan.
Ternyata dalam ketentuan undang-undang
Narkotika Pasal yang dapat dikenakan permufakatan jahat juga dibatasi, yaitu
pasal-pasal seperti yang telah disebutkan diatas. Dimasukannya ketentuan permufakatan
jahat sebagai tindak pidana barang kali dikarenakan tindak pidana Narkotika
sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 78,79,80,81 dan 82 dipandang
sebagai kejahatan yang serius dan sangat membahayakan, terutama bagi kehidupan
warga Negara Indonesia.
Masalah yang muncul dalam praktek
terutama dalam hal pembuktian adanya tindak pidana permufakatan jahat tersebut.
Karena kesulitan yang akan didapat adalah menemukan bukti-bukti adanya
kejahatan tersebut. Misalnya bukti-bukti apa yang bisa dijadikan bahwa telah
ada kata sepakat untuk melakukan tindak pidana narkotika. Bila dibandingkan
dengan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 104,106,107 dan 108
KUHP boleh jadi pasal-pasal dalam KUHP
tersebut jauh memungkinkan untuk ditemukannya bukti-bukti, seperti
dokumen-dokumen maupun rapat-rapat. Kendati demikian dalam praktek
hampir dapat dipastikan belum ada
tindak pidana permufakatan jahat yang pernah disidangkan.
[1] P.A.F.Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap
Kepentingan Hukum Negara, Sinar Baru, Bandung,
1986, hal.90.
[2] Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia,
Refika Aditama, Bandung,
2003, 202.
[3] Van Bemmelen-Van Hattum
Hand en Leerboek II, Hal.71.
[4] A.Z.Abidin Farid dan Andi
Hamzah, Bentuk-bentuk Khusus Perwujuduan Delik dan Hukum Penintensier, Raja
Grafindi, Jakarta,2006, 25.