Jumat, 17 Januari 2014

Penegakan Hukum



 
REKAYASA KASUS DALAM PENEGAKAN HUKUM

Ada adagium yang sangat terkenal dalam hukum pidana yaitu, “lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang benar”. Adagium ini mensyaratkan bahwa ketika satu orang benar atau tidak bersalah dijatuhi hukuman, maka runtuhlah hukum itu. Menghukum orang yang tidak bersalah adalah suatu kejahatan paling dikutuk dan tidak dapat dibenarkan sama sekali.
Penegakan hukum dalam hukum pidana adalah mencari kebenaran  materil, bukan kebenaran formil. Karena itu pembuktian dalam hukum pidana jauh lebih hati-hati dibanding dengan pembuktian dalam hukum perdata/tatausaha negara. Itu sebabnya ada prinsip dalam hukum pidana, dalam hal hakim ragu-ragu terhadap alat bukti yang ada, maka hakim sebaiknya menjatuhkan putusan bebas. Kesimpulannya, bahwa menghukum orang bersalah dalam hukum pidana harus benar-benar telah didukung dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan hakim yang penuh.
 Unsur utama dalam hukum pidana adalah unsur kesalahan, karena itu ada asas dalam hukum pidana yang menyebutkan, tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld), atau meminjam istilah lain yang dikemukakan oleh Nurul Huda dengan istilah tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan. Membuktikan unsur kesalahan terhadap seseorang yang didakwa telah melakukan tindak pidana merupakan  hal yang esensial untuk  menentukan bersalah atau tidaknya seseorang.
Para penegak hukum harus memahami benar prinsip pokok hukum pidana ini yaitu tentang unsur kesalahan. Karena kesalahan secara luas terkait dengan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Seringkali dalam praktek untuk menyederhanakan penyelesaian perkara unsur esensial ini tidak atau jarang dibuktikan oleh penegak hukum dipengadilan. Akibatnya bisa berdampak pada lahirnya putusan yang menghukum seseorang bersalah padahal orang tersebut tidak bersalah. Disini telah terjadi pelecehan terhadap keadilan.
Belakangan ini ramai kita mendengar adanya rekayasa kasus yang dilakukan oleh penegak hukum. Putusan Mahkamah Agung yang telah menganulir putusan pidana 4 tahun penjara yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Tinggi Surabaya terhadap Rudy di sinyalir ada rakayasa kasus dalam  perkara tersebut.  Mahkamah Agung memutuskan bahwa Rudy tidak bersalah dan karennya dibebaskan dari dakwaan melanggar undang-undang penyalahgunaan Narkotika.
Pertanyaan yang timbul adalah dimana letak kesalahan ini, sebab pengadilan negeri Surabaya maupun pengadilan tinggi Surabaya selaku judex factie,   menghukum terdakwa bersalah,  Mahkamah Agung selaku judex juris justru memutus bebas, apakah judex factie telah tidak teliti dalam memeriksa perkara atau Mahkamah Agung yang keliru?
Menjawab pertanyaan ini akan dilihat bagaimana dalam praktek pengadilan melakukan pembuktian khususnya dalam perkara tindak pidana Narkotika. Undang-undang  nomor 35 tahun 2009 telah membuat formulasi delik secara sederhana, tujuannya tentu untuk memudahkan pembuktian dari pelanggaran undang-undang tersebut. Sebagai contoh misalnya kita ambil Pasal 111 ayat (1) yang isi lengkapnya adalah sebagai berikut :
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”
Unsur melawan hukum dalam Pasal ini menjadi krusial. Dalam praktek apabila formulasi delik menyebutkan unsur melwan hukum, maka unsur tersebut wajib dibuktikan dipersidangan, bila tidak terbukti, maka terdakwa harus dibebaskan. Ada juga formulasi delik yang tidak menyebutkan unsur melawan hukum, lalu apa unsur tersebut perlu dibuktikan. Jawabnya tidak harus, karena kalau unsur-unsur delik telah terpenuhi, maka dengan sendirinya perbuatan melawan hukumnya telah terbukti. Contohnya Pasal 338 KUHP, filosofinya  menghilangkan nyawa orang lain dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.
Melawan hukum adalah unsur objektif dalam delik, sedangkan kesalahan adalah unsur subjektif. Melawan hukum ada dua pandangan, pertama melawan hukum formil kedua melawan hukum materil. Dalam praktek seperti Pasal 111 (1) tersebut diatas, jaksa maupun hakim hanya membuktikan unsur melawan hukum dari perbuatan terdakwa, tanpa membuktikan kesalahan terdakwa atau lebih tepatnya ketercelaan perbuatan terdakwa. Ini terjadi karena hakim maupun jaksa hanya bertumpu pada pandangan melawan hukum formil. Melawan hukum cukup dibuktikan dengan perbuatan terdakwa menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan I tersebut tidak memiliki hak atau tidak ada izin. Lalu bagaimana terdakwa bisa menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan I tidak pernah dibuktikan, sebenarnya inilah unsur kesalahan (ketercelaan) tersebut. Pasal 111 ayat (1) tersebut diatas, jelas tidak ada disebutkan unsur kesengajaan. Tapi harus dipahami bahwa perbuatan tersebut harus dilakukan dengan kesengajaan.
Terbuktinya unsur melawan hukum biasanya hakim dengan serta merta menghukum terdakwa. Padahal seperti disebut diatas unsur kesalahan secara luas terkait dengan pertanggungjawaban pidana terdakwa. Bahwa meskipun unsur delik terbukti, akan tetapi apabila pada diri terdakwa tidak ada kesalahan, maka terdakwa tidak boleh dihukum, melainkan harus dihukum dengan hukuman lepasa dari tuntutan (onslag van recht  vervolging).
 Lalu apakah disini jaksa maupun hakim tidak perlu membuktikan unsur kesengajaannya? Seharusnya harus dibuktikan. Kesengajaan itu sendiri dalam jurisprudensi maupun praktek selalu diartikan sebagai mengetahui dan menghendaki (will en witten). Memang unsur kesalahan adalah unsur yang subjektif, yaitu keadaan batin seseorang terhadap tindak pidana tersebut. Membuktikan kesengajaan terdakwa dapat dilakukan dengan cara memeriksa pengetahuan dan kehendak terdakwa atas tindak pidana yang dituduhkan tersebut.
Apabila tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa tersebut benar diketahui dan akibatnya juga dikehendaki oleh terdakwa, barulah terdakwa dapat   dinyatakan bersalah oleh hakim. Praktek penegakan hukum selama ini selalu mengabaikan unsur kesalahan ini. Sebagai contoh,  sebutlah namanya A (seorang wanita), dari Medan pergi ke Jakarta dengan menggunakan kapal laut. Dalam perjalanan diatas kapal si A berkenalan dengan si B (seorang pria), selama perjalanan mereka saling ngobrol. Sampai di Tanjung Priok, ketika hendak turun, si B menitipkan sebuah kardus kecil kepada A untuk tolong dibawakan, dan B akan menjemputnya nanti setelah melewati pemeriksaan. A tanpa curiga membawa barang-barangnya bersama dengan titipan B tadi. Ketika melewati portal penjagaan, dilakukan pemeriksaan, lalu petugas curiga dan membuka kardus yang dibawa A, dan ternyata setelah diperiksa berisi Narkotika jenis ganja. Akhirnya A dibawa kekantor Polisi dan oleh polisi diproses dan dikirim ke Jaksa.
Melihat kronologis kasus ini, penyidik maupun jaksa seharusnya meniliti dengan cermat untuk mengetahui letak kesalahan si A, apakah si A dalam hal ini bersalah? Kalau berpikir secara sederhana jelas A bisa disalahkan, karena unsur melawan hukum telah terbukti begitu pula dengan unsur memiliki, menguasi atau menyimpan Narkotika golongan I, karena kardus berisi ganja tersebut ada dalam kekuasaan dari A. Harus juga dicari kebenaran materil, untuk melihat kesalahan A. Apakah A memang sungguh-sungguh mengetahui kardus itu berisi ganja, dan apakah A memang menghendaki hal tersebut. Kemudian juga bisa dilihat dari latar belakang A, apakah A memang punya latar belakang yang terkait dengan pengguna atau pengedaran Narkotika.
Jadi dalam hal ini tidak serta merta harus menghukum A, apalagi  diketahui bahwa kardus tersebut bukan milik dari A, maka A tidak dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana. Jadi dalam praktek sering sekali jebakan-jebakan demikian terjadi dan akibatnya adalah sering sekali orang yang tidak bersalah harus dihukum.
Karena itu benar apa yang disebut oleh adagium dalam hukum pidana tadi, yaitu lebih baik membabaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Keadilan akan runtuh apabila orang benar dihukum. Keadilan itu untuk manusia, seperti yang dikatakan Imanuel Kant, “If justice is gone, there is no reason for a man to live longer on earth”.
Mahkamah Agung yang memeriksa dan mengadili kasus Rudy melihat secara cermat dan akurat letak kesalahan dalam menerapkan hukum pembuktian, dari keterangan saksi-saksi dan fakta dipersidangan terlihat bahwa tidak cukup bukti adanya kesalahan pada diri terdakwa Rudi sebagaimana  dakwaan Penuntut Umum. Karena itu Mahkamah Agung memandang terdakwa Rudi tidak bersalah dan harus dibebaskan.
Apakah dalam kasus ini ada rekayasa? Penulis memandang tidak tepat disebut sebagai rekayasa kasus. Rekayasa itu sendiri mengandung arti rencana jahat atau persekongkolan jahat dengan tujuan untuk merugikan orang lain. Lalu apa kepentingan penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum dan juga hakim judex factie merekayasa kasus itu agar Rudi dihukum? Tentu tidak ada. Lalu apa yang terjadi dalam hal ini? Lebih tepat menyebutnya sebagai kelemahan dan ketidak mampuan penegak hukum dalam memahami hukum sehingga kelemahan tersebut berakibat terjadinya kekeliruan dalam penegakan hukum. Meminjam istilah kedokteran lebih tepat disebut sebagai malpraktek dalam penegakan hukum.
Kita tidak hanya sekedar memerlukan penegak hukum yang jujur, tegas dan berani, tapi juga harus cerdas, jeli dan memiliki kemampuan memahami hukum dengan benar, sehingga orang-orang yang berurusan dengan hukum dapat merasakan keadilan dan tidak merasa diperkosa hak-haknya. Dengan demikian diharapkan tindakan-tindakan malpraktek dalam penegakan hukum dapat dihindari.

1 komentar: