Kamis, 08 September 2011

Hukum Pidana


REMISI UNTUK TERPIDANA KORUPSI
Oleh : Hendri Edison, S.H.,M.H.

Belakangan ini kembali santer diributkan masalah pemberian remisi terhadap para terpidana terkait kasus korupsi. Setiap kali menjelang tanggal 17 Agustus (hari kemerdekaan) maupun saat menjelang perayaan hari-hari besar keagamaan selalu ada berita tentang pemberian remisi, Remisi itu sendiri secara juridis memiliki arti sebagai pengurangan hukuman.
      Menurut ketentuan dalam  dalam Pasal 14 ayat (1) huruf  i Undang-undang nomor 12 tahun 1985 jo Pasal 34 ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2006 menyebutkan bahwa remisi merupakan hak yang diberikan kepada narapidana maupun pidana anak.
      Pemberian remisi kepada terpidana maupun anak pidana , haruslah memenuhi persyaratan.  Tata cara maupun persyaratan untuk memperoleh remisi tersebut diatur dalam Peraturan pemerintah nomor 28 tahun 2006. Pasal 34 ayat (2) PP nomor 28 tahun 2006 secara umum mensyaratkan untuk memperoleh remisi ada dua hal yaitu pertama berkelakuan baik dan kedua telah menjalani pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
      Sedangkan dalam ayat (3) diatur ketentuan lebih spesifik, mengenai pemberian remisi kepada terpidana kasus terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap HAM berat dan kejahatan transnasional lainnya, dimana persyaratan yang harus dipenuhi adalah pertama berkelakuan baik dan kedua telah menjalani 1/3  masa pidana.
      Melihat dari ketentuan yang diatur baik dalam UU nomor 12 tahun 1995 dan Peraturan pemerintah nomor 28 tahun 2006, bahwa tidak ada larangan bagi terpidana korupsi untuk memperoleh remisi. Akan tetapi saat ini sering sekali pada setiap ada remisi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana korupsi senantiasa menuai protes dari beberapa pihak.
      Penanggulangan tindak pidana korupsi dinegeri ini, memang telah menjadi prioritas sejak bergulirnya reformasi. Bahkan gerakan utama dilakukannya reformasi dinegeri ini adalah memberantas korupsi, sehingga kejahatan korupsi dianggap sebagai kejahatan nomor satu dinegeri ini dan harus diutamakan pemberantasannya.
      Penulis memperhatikan, bahwa adalah masalah besar yang dihadapi oleh Indonesia dalam penanggulangan korupsi, dan ini menjadi kegagalan. Persoalan itu adalah bahwa upaya penanggulangan  korupsi dinegeri ini masih berharap sepenuhnya kepada penegak hukum. Penanggulangan korupsi yang bertumpu pada penegakan hukum semata tentulah tidak akan memberikan hasil sebagaimana diharapkan.
      Menganggap korupsi sebagai kejahatan besar tidak mesti membuat kita harus ekstrim, yaitu dengan merampas hak-hak para terpidana korupsi. Sejarah pemidanaan ternyata telah memberi pengetahuan pada kita, bahwa penghukuman terhadap pelaku kejahatan tidak semata-mata sebagai bentuk dari balas dendam (retributif). Pandangan modern mengenai tujuan pemidanaan tidak lain adalah disamping pencegahan (deterrence effect), tapi juga upaya melakukan perbaikann pada diri terpidana. Oleh karena itu pergantian nama dari lembaga penjara menjadi  lembaga pemasyarakatan  adalah gambaran bahwa  paradigma pemidanaan di Indonesia lebih bersifat modern.
      Pemberian remisi kepada terpidana, apapun kejahatannya sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur dalam peraturan adalah hal yang tidak perlu dipersoalkan, dan apa yang dilakukan oleh lembaga Kemenkuhham dengan memberikan remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan aturan hukum, dan karena itu tidak perlu dipersoalkan.
      Kalaulah ada anggapan yang muncul, bahwa pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi akan berdampak pada terhambatnya upaya penanggulangan korupsi. Pandangan atau anggapan demikian menurut penulis adalah keliru.      
      Memang patut untuk dipertanyakan, bahwa setelah tigabelas tahun reformasi berjalan, ternyata penanggulangan korupsi dinegeri ini seolah tidak ada kemajuan. Lalu apa yang menjadi masalah dan kendala?
      Sesungguhnya negeri ini telah melakukan pemberantasan korupsi tanpa arah yang jelas dan juga tidak diketahui capaian apa yang hendak diperoleh. Sehingga kita lihat upaya penanggulangan korupsi lebih berfokus pada upaya penegakan hukum, dan ini adalah kesalahan yang fatal.
      Meminjam istilah yang digunakan oleh Mochtar Lubis tentang korupsi, dikatakannya bahwa korupsi itu adalah kejahatan berwajah banyak (multidimensi). Sehingga untuk penanggulangannya juga tidak dapat dilakukan dengan melihat pada satu aspek. Tapi penanggulangan yang dilakukan haruslah penanggulangan secara konfrehensip.
      Penanggulangan korupsi tidak dapat dilakukan dengan menghilangkan gejalanya (symptomatic) saja, tapi haruslah penanggulangan yang bersifat causatife, artinya yang diatasi adalah faktor-faktor penyebab timbulnya korupsi itu sendiri.
      Barangkali kita harus mengkaji ulang langkah-langkah maupun strategi yang hedak diambil dalam upaya penanggulangan korupsi, karena kalau tidak sampai kapanpun upaya pemberantasan korupsi yang telah menjadi cita-cita reformasi tidak akan berbuah banyak.         
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar