Kamis, 04 Agustus 2011

Penegakan Hukum

MENEGAKAN HUKUM DENGAN HATI NURANI
Oleh : Hendri Edison, S.H.M.H.

        Judul tulisan ini terinspirasi dari    pidato Jaksa Agung Basrief Arief saat upacara Hari Bhakti Adhyaksa ke 51 tahun 2011 di Jakarta, salah satu isi pidatonya adalah meminta insan Adhyaksa untuk menegakan hukum dengan menggunakan hati nurani.
        Persoalan ini lahir dari banyaknya peristiwa dalam   penegakan hukum yang sering mengusik rasa keadilan ditengah-tengah masyarakat. Masyarakat merasa miris ketika melihat warna penegakan hukum dinegeri ini sepertinya memihak kepada pelaku-pelaku yang memiliki materi dan kekuasaan yang besar. Sedangkan pihak yang lemah  diberlakukan hukum secara tidak adil.
         Masih segar dalam ingatan kita  kasus yang menimpa seorang nenek bernama Minah hanya karena mengambil 3 buah kakao harus dihukum, atau kasus pencurian Semangka yang melibatkan Basar Suyanto dan Cholil. Kasus Prita Mulyasari ikut juga menjadi perhatian masyarakat. Sesungguhnya ada banyak kasus-kasus lain yang serupa, hanya saja tidak terekspose oleh mass media, sehingga menjadi hidden news atau berita tersembunyi.
          Bila digambarkan, persoalan-persoalan yang mengusik rasa keadilan itu  seumpama gunung es, yang muncul kepermukaan hanyalah sebagian kecil, kebanyakan yang belum terkuak tentu  lebih besar lagi.
        Persoalannya adalah apakah yang dimaksud dengan menegakan hukum dengan hati nurani, apakah dalam penegakan hukum diperlukan adanya hati nurani? Hukum itu sendiri terkait dengan keadilan, akan tetapi ukuran tentang keadilan itu sendiri tidak semudah membalikan telapak tangan, karena persoalan keadilan akan terbentur pada subjek yang menilai keadilan itu.
        Orang yang berperkara di pengadilan, tentu akan mengatakan putusan itu adil, bila berpihak pada dirinya, tapi sebaliknya akan mengatakan tidak adil, jika putusan dirasa merugikan dirinya.
        Hukum  didalam kajian filsafat memiliki tiga nilai, yaitu selain nilai keadilan, juga mengandung nilai kegunaan dan kepastian hukum. Lahirnya paham positivisme hukum yang  dikembangkan oleh Jhon Austin telah melahirkan pemikiran bahwa hukum adalah apa yang menjadi perintah penguasa (law is the command of sovereignty). Dalam konteks positivism hukum, kepastian hukumlah yang utama, karena hanya kepastian hukum yang dapat direalisasi, sedangkan nilai keadilan dan kegunaan sangat sulit diwujudkan.
        Paham positivism hukum yang merambah dunia hukum Indonesia,bahkan menjadi mainstream,  telah melahirkan pemikiran dikalangan penegak hukum, bahwa keadilan itu adalah ketika hukum telah dilaksanakan (nilai kepastian). Maka kasus nenek Minah, atau kaasus Prita dan  lain-lain, akan menjadi aneh dikalangan penegak hukum di negeri ini, bila harus dibebaskan dari tuntutan pidana, karena dalam positivism hukum pengecualiaan hukum juga ditentukan oleh undang-undang. Undang-undang sendiri tidak mengenal adanya   alasan pemaaf  maupun alasan pembenar,  hanya didasarkan pada  perdamian maupun  nilai kerugian.
        Padahal hukum itu sendiri sangat erat kaitannya dengan etika, karena etika/moral berbicara tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang apa yang boleh atau tidak. Sedangkan hati nurani kita maksudkan adalah penghayatan tentang baik atau buruk berhubungan dengan tingkah laku konkret.  Tidak mengikuti hati nurani itu berarti menghancurkan integritas pribadi kita sendiri.
        Rasa keadilan dalam masyarakat sebenarnya tidak menuntut agar nenek minah atau Basar Suyanto dan Cholil begitu pula dengan Prita Mulyasaridibebas. Apa yang dilakukan oleh nenek minah dan Basar tetaplah dianggap sebagai pencurian dan harus pula dihukum. Persoalannya adalah membandingkan   terhadap orang-orang yang punya kekuasaan dan materi seringkali hukum tidak bernyali. Bahkan terhadap perkara-perkara yang sudah diajukan dan pelakunya adalah orang yang memilki materi besar, seringkali harus diputus bebas, atau mendapat perlakuan istimewa dari aparat penegak hukum.
         Contoh-contoh tersebutlah yang mengusik rasa keadilan masyarakat. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, hukum sangat terkait dengan etika, dan etika itu sendiri tidak terlepas dari penghayatan tentang apa yang baik dan buruk, sehingga dalam penegakan hukum hendaklah menempatkan hati nurani didepan dalam   menjalankan profesi.
         Integritas moral penegak hukum sangat ditentukan dari kesanggupan untuk menolak suap. Karena kejahatan terbesar dalam penegakan hukum (dinegara manapaun didunia ini), adalah terkait dengan suap. Apabila dalam penegakan hukum sudah diwarnai dengan suap, maka  tidak mungkin diharapkan penegak hukum akan melaksanakan profesinya secara benar. Ketika penegak hukum  dalam mengambil keputusan terlibat   suap, maka saat itu pulalah hati nurani  terpinggirkan.
      Barangkali perlu direnungkan apa yang dikatakan kitab suci tentang suap. Kelauran 23:8 menyebutkan : “Janganlah menerima uang suap,sebab uang suap itu membuat orang menjadi buta terhadap yang benar dan merugikan orang-orang yang tidak bersalah”. Para penegak hukum tidak boleh lepas dari penghayatan ini, bahwa gunakalah hati nurani dalam menegakan hukum, karena hukum terkait dengan moralitas, dan penegak hukum itu adalah pengawal dari moralitas itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar