MASALAH UANG PENGGANTI DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI
Korupsi merupakan kejahatan yang dikelompokan sebagai
kejahatan luar biasa (estra ordinary
crime). Alasan Korupsi disebut sebagai kejahatan luar biasa adalah karena
pelaku tindak pidana korupsi adalah orang-orang yang memiliki intelektual dan berpendidikan tinggi sehingga berdampak
pada rumit dan sulitnya pembuktian perkara.
Akibatnya tidak sedikit pelaku korupsi lolos dari jeratan hukum.
Disamping itu akibat yang ditimbulkan
korupsi terhadap perekonomian dan keuangan negara adalah sangat besar. Korupsi
yang merajalela dinegara Indonesia berdampak pada rusaknya sistem perekonomian
Indonesia dan banyak uang negara yang raib tidak diketahui rimbanya. Prof.
Sumitro sekira tahun 1999 pernah mengungkapkan bahwa kebocoran anggaran
pembangunan setiap tahun di Indonesia tidak kurang dari 30 persen. Hal ini
terbukti dengan temuan badan pemeriksa keuangan (BPK) yang telah melaporkan
pada semester I tahun 2004 mengenai adanya penyimpangan keuangan negara yang
mencapai sebesar Rp.166,53 triliun. Angka ini menunjukan bahwa hampir 50 percen
dari APBN 2003 melayang kekocek para koruptor ( Krisna harahap:1996:21)
Didalam Undang-undang nomor 31
tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun
2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (UUPTPK) menyangkut pengembalian kerugian negara (asset recovery) tidak akan berhenti
meskipun pelaku dijatuhi hukuman bebas. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal
32 ayat (2) UUPTPK disebutkan: Putusan
bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut
kerugian terhadap keuangan negara.
Bunyi pasal 32 ayat (2) tersebut mengisyaratkan, bahwa persoalan
pemberantasan korupsi tidak semata-mata terletak pada upaya menghukum pelaku tetapi lebih jauh dari itu adalah upaya untuk
mengembalikan kerugian negara yang timbul dari terjadinya tindak pidana korupsi
tersebut.
Persoalan pengembalian kerugian negara
(asset recovary) dalam praktek
penanganan perkara koruspi telah menjadi persoalan serius, sebab berdasarkan
beberapa fakta yang terjadi banyak perkara korupsi yang telah dijatuhi vonis,
namun dalam hal pelaksanaan pidana uang pengganti sulit untuk terwujud. Ternyata pelaksanaan pidana uang pengganti
tidak semudah yang dibayangkan, bahkan berdasarkan temuan BPK, bahwa tidak kurang
dari Rp.6,7 trilyun mengenai uang pengganti yang dikelola oleh Kejaksaan Agung
selama tahun 2004 belum dapat tertagih.
Kesulitan dalam pelaksanaan pidana uang
pengganti selama ini dalam praktek adalah tidak jelasnya pengaturan dalam hukum
materil tindak pidana korupsi itu sendiri. Misalnya kasus-kasus yang
disidangkan dengan menggunakan ketentuan dalam undang-undang nomor 3 tahun 1971
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam hal pembayaran pidana uang
pengganti akan mengalami kendala apabila terpidana tidak mau membayar uang
pengganti tersebut sebab tidak ada aturan lebih lanjutnya yang mengatur
bagaimana bila terpidana tidak membayar uang pengganti. Sebab pidana uang
pengganti tidak memiliki pidana alternatif (subsidiair),
seperti pidana denda yang dapat disubsidiair dengan pidana kurungan.
Maka oleh karena itu dalam praktek terhadap
kasus-kasus yang diproses dengan menggunakan undang-undang nomor 3 tahun 1971 untuk
pembayaran pidana uang pengganti yang tidak dibayarkan oleh terpidana dilakukan
dengan menggunakan sarana hukum perdata yaitu
jaksa (Jaksa Pengacara Negara) akan melakukan gugatan perdata terhadap
terpidana. Penggunaan sarana gugatan perdata ini menimbulkan persoalan pula
yaitu bagaimana bila terpidana sudah tidak memiliki harta lagi (misalnya selama
proses siding terpidana telah mengalihkan hartamiliknya). Disamping itu upaya
melalui gugatan perdata memakan waktu lama dan dirasakan kurang efisien.
Dalam undang-undang nomor 31 tahun
1999 sebagaimana yang telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi terhadap pidana uang pengganti ini sedikit
mengalami perubahan. Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, hakim dalam putusannya
dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa perintah kepada Jaksa Penuntut Umum
untuk melakukan penyitaan terhadap harta benda terpidana untuk dilelang guna menutupi kerugian negara
yang tidak dibayarkan oleh terpidana. Lalu ayat (3) pasal 18 tersebut
menyebutkan pula bahwa bila terdakwa tidak memiliki harta, maka dalam putusan
akan ditambah dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman
maksimum dari pidana pokok.
Walaupun pasal 18 ayat (2) memberikan
kemungkinan untuk segera menyita harta benda milik terpidana guna membayar
pidana uang pengganti, masalahnya tidak semudah itu. Sebab bila ternyata ketika jaksa akan melakukan
penyitaan ternyata harta benda milik terpidana sudah tidak ada, misalnya saja
selama proses sidang terdakwa telah mengalihkan atau menjual harta benda
miliknya sehingga ketika jaksa akan melakukan penyitaan terhadap putusan yang
telah incracht tetap tidak akan berjalan.
Kendala pelaksanaan pidana uang
pengganti tentu akan menimbulkan konsekwensi terhadap tunjuan dari
pemberantasan tindak pidana korupsi itu sendiri. Sebab pemberantasan tindak
pidana korupsi tidak semata-mata terletak pada dipidananya pelaku, tetapi
bagaimana kerugian negara dapat dikembalikan.
Konsep Sita jaminan
Dalam hukum pidana Indonesia telah
memperkenalkan adanya suatu kumulasi dari pidana-pidana pokok yang telah
diancamkan bagi suatu tindak pidana tertentu, misalnya dalam UU nomor 3 tahun 1971,
UU nomor 31 tahun 1999, UU nomor 20
tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, begitu pula dengan UU nomor 7 Drt
Tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi, UU Nomor 23 tahun 1997 tentang
lingkungan hidup nomor 23 tahun 1997, UU Nomor 40 tahun 1999 tentang kehutanan .
Penyimpangan dari pasal 10 KUHPidana juga
telah diperkenalkan oleh undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pada waktu undang-undang nomor 3 tahun 1971 telah memperkenalkan pidana
tambahan berupa pembayaran uang pengganti.
Pidana uang pengganti ini juga tetap dipertahankan oleh undang-undang nomor 31
tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun
2001. Dalam pasal 18 disebutkan salah
satu pidana tambahan selain yang disebutkan dalam pasal 10 KUHPidana adalah
pidana pembayaran uang pengganti
Bahkan dalam undang-undang 31 tahun
1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi pembayaran uang penggantipun telah diperluas yaitu hakim dapat
menjatuhkan pidana berupa penyitaan harta-harta terpidana untuk pembayaran
pidana uang pengganti.
Kendatipun dalam putusan, hakim dapat
menjatuhkan putusan penyitaan terhadap barang-barang milik terpidana,
persoalannya adalah bagaimana bila selama proses sidang ternyata terdakwa telah
mengalihkan harta bendanya, tentu putusan perintah untuk melakukan penyitaan
terhadap harta milik terpidana akan menjadi sia-sia.
Berdasarkan hal tersebutlah, maka konsep
penyitaan perlu diperluas. Dalam pasal 39 pasal 1 KUHAP menyebutkan limitisasi penyiataan
benda yaitu penyitaan hanya dapat dilakukan terhadap a)benda hasil dari
kejahatan, b) benda yang digunakan untuk melakukan kejahatan, c)benda yang
digunakan untuk menghalangi penyidikan, d)benda yang khusus dibuat untuk
melakukan tindak pidana dan e)benda lain yang mempunyai hubungan lain dengan
tindak pidana. Ketentuan pasal 39 KUHAP tersebut tidak membenarkan melakukan
penyitaan terhadap benda yang tidak ada kaitannnya dengan kejahatan atau tindak
pidana yang dilakukan.
Perluasan penyitaan yang penulis
maksud adalah menerapkan konsep sita jaminan (conservatoir beslag) sebagaimana yang dikenal dalam Hukum Perdata.
Dalam konsep hukum perdata, tujuan diletakannya sita jaminan terhadap harta
milik tergugat adalah agar barang tersebut tidak dapat dialihkan tergugat
kepada pihal ketiga, sehingga tetap utuh sampai putusan berkekuatan hukium
tetap. Apabila tergugat tidak memenuhi pembayaran secara sukarela; pelunasan
utang atau ganti rugi itu, diambil secara paksa dari barang sitaan melalui penjualan
lelang. (Sudikno Mertokusomo: 1988:65)
Konsep sita jaminan (conservatoir beslag) sebagaimana yang
dikenal dalam hukum perdata tersebut, dapat
dikembangkan dalam hal sebagai jaminan untuk pelaksanaan pidana uang
pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi. Wacana untuk penerapan konsep
sita jaminan ini ternyata telah menjadi diskursus dikalangan para ahli.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) tidak hanya menjadikan penyitaan aset tersangka korupsi sebagai wacara,
tetapi telah berniat untuk mewujudkannya dengan melakukan percepatan penyitaan
asset, hal ini dilakukan untuk mempermudah perampasan aset saat putusan
terhadap kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap. (forum Keadilan No:461
tanggal 18-24 Maret 2008).
Untuk menghindari ketidak pastian
hukum, maka dipandang perlu konsep sita jaminan dalam penanganan perkara pidana
(perkara korupsi) harus diatur secara tegas dalam peraturan. Oleh karena itu
perlu dilakukan revisi terhadap undang-undang tindak pidana korupsi. Adapun
tujuan diterapkannya konsep sita jaminan dalam penanganan perkara korupsi untuk
menjamin terlaksananya pelaksanaan pidana pengganti. Karena persoalan
pembayaran pidana pengganti telah menjadi persoalan krusial, dengan tidak
terlaksananya pidana uang pengganti menjadikan tujuan
pemberantasan korupsi menjadi tidak tercapai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar