Oleh : Hendri Edison
I.
PENDAHULUAN
Bagir
Manan mengatakan bahwa keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan
bergantung pada penerapan dan penegakannya. Apabila penegakan hukum tidak
berjalan dengan baik, peraturan perundang-undangan bagaimanapun sempurnanya
tidak atau kurang memberikan arti sesuai dengan tujuannya. Penegakan hukum
merupakan dinamisator peraturan perundang-undangan.[2] Penegakan hukum dan pelaksanaan hukum di Indonesia masih
jauh dari sempurna. Kelemahan tidak
saja hanya pada sistem hukum dan produk
hukum, tetapi pada penegakan hukum. Harapan masyarakat untuk memperoleh jaminan
dan kepastian hukum masih sangat terbatas. Penegakan dan pelaksanaan hukum
belum berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran.
Seringkali terlihat bahwa Ekspektasi masyarakat terhadap lahirnya berbagai peraturan
perundang-undangan baru dan lembaga baru tersebut sangat tinggi. Tetapi ekspektasi masyarakat seringkali tidak sejalan
dengan realitas yang ada. Kita sering mendengar banyak tersangka koruptor
tetapi akhirnya masyarakat juga kurang puas dengan putusan akhirnya. Mengapa
sering terjadi hakim membebaskan terdakwa atau setidak-tidaknya hukumannya
sangat ringan. Apakah sedemikian tajam perbedaan pemahaman fakta hukum di
persidangan antara hakim dan Jaksa. Argumentasi hukum apa yang mereka
pergunakan, adakah paradigma legalistik-posifistik semata yang dipergunakan
ataukah ada unsur lain yang ikut mempengaruhi adalah deretan pertanyaan publik
yang belum ada akhirnya.
II.
PENGERTIAN PENEGAKAN HUKUM DAN NEGARA HUKUM
Penerapan dan Penegakan hukum
merupakan dua istilah yang sesungguhnya tidaklah sama. Pengertian penerapan
hukum adalah suatu peraturan atau perundang-undangan yang telah disahkan
selanjutnya diundangkan dilembaran negara, posisi ini undang-undang atau
peraturan tersebut telah diterapkan. Sedangkan pengertian penegakan hukum baru
dimulai pada saat hukum yang diterpkan tersebut dilanggar, maka hukum tersebut
ditegakkan.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya
upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai
pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum
itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai
upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan
hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang
berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti
sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai
upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya
hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk
menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat
pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal
ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas,
penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung
didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Tatapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut
penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan
perkataan “Law enforcement” ke dalam bahasa indonesia dalam menggunakan
perkataan “Penegakan Hukum” dalam arti luas dapat pula digunakan istilah
“Penegakan Peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalita aturan
hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan
juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah “the rule
of law” atau dalam istilah “ the rule of law and not of a man” versus istilah “
the rule by law” yang berarti “the rule of man by law” Dalam istilah “ the rule
of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya
yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di
dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “ the rule of just law”. Dalam istilah
“the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada
hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum,
bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan
sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat
kekuasaan belaka.
Indonesia adalah negera hukum. Dalam
undang-undang Dasar 1945 yang telah diamandemen tidak ditambah lagi dengan
embel-embel ”tidak berdasarkan kekuasaan belaka”, jadi hanya disebutkan
Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum. Bagir Manan sendi utama negara
berdasarkan atas hukum adalah bahwa hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi
hukum) dalam mengatur dan menentukan
mekanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat yang satu dengan yang
lain.[3]
Dalam suatu negara hukum, apabila
hukum tersingkirkan, maka negara tersebut tidak lagi dikatakan sebagai negara
hukum, ia bisa berubah menjadi negara otoriter. Dalam konsep negara hukum
kekuasaan negara dibatasi oleh aturan-aturan yang telah ditetapkan sehingga
menghindari terjadinya tindakan kesewenang-wenangan. Frederich Julius Stahl
ahli hukum dari Eropa kontinental memberikan ciri-ciri negara hukum (rechsstaat) sebagai berikut :1)Adanya
perlindungan terhadap hak asasi manusia;2)Adanya pemisahan atau pembagian
kekuasaan;3)Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur) dan 4) Adanya peradilan Administrasi
dalam perselisihan.[4]
Sementara itu A.V.Dicey, seorang ahli
hukum dari kalangan Anglo Saxon memberikan ciri Rule of Law tersebut sebagai
berikut :1) Supremasi Hukum dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan,
sehingga seseorang hanya boleh dihukum bila benar-benar melanggar hukum;2)
Kedudukan yang sama di depan hkum bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat; dan 3)
terjaminnya hak asasi manusia oleh undang-undang dan keputusan-keputusan
pengadilan.[5]
III.
PERAN HUKUM DALAM NEGARA HUKUM
Theo
Huijbers dalam bukunya Filsafat Hukum mengungkapkan bahwa hukum itu sangat erat
dengan keadilan. Sehingga sebagian besar orang berkata bahwa hukum harus
digabungkan dengan keadilan supaya sungguh-sungguh berarti sebagai hukum.[6]
Bahwa hukum memang merupakan suatu
bagian dari upaya manusia dalam kerangka mewujudkan suatu ko-eksistensi etis di
dunia ini. Sehingga melalui penyusunan hukum yang adil maka orang-orang dapat
hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan. Persoalan yang timbul adalah
apakah keadilan itu sendiri merupakan istilah
hukum atau tidak? Sulit untuk menjawabnya. Apa lagi bila dikaitkan
dengan pandangan positivisme hukum, sebab dalam positivisme hukum keadilan
adalah dalam konteks bila hukum yang dikeluarkan oleh penguasa atau otoritas
yang berdaulat ditaati, tidak dipersoalan disini entah aturan itu adil atau
tidak adil. Sehingga hukum merupakan kewajiban dan kewajiban pada hukum hanya
bersifat ekstern. Dalam konteks hukum merupakan kewajiban apabila hukum yang
dibuat (aturan-aturan yang diproduk) benar-benar memiliki nilai keadilan dan
sesuai dengan suasana bathin. Namun hukum tidak lagi bersifat kewajiban dalam
hal nilai-nilai hukum yang diproduk tidak mencerminkan rasa keadilan. Dalam
konteks ini hukum telah beralih fungsi menjadi memaksa.
Sebab itu orang-orang senantiasa tidak
puas dengan norma-norma yang telah ada, orang senantiasa menantikan norma-norma
yang adil. Dalam konteks ini penganut positivisme hukum sendiri menuntut supaya
hukum yang dibentuk bersifat adil.[7] Karena
itu dalam istilah hukum ada dua
perbedaan yang merupakan pemisahan untuk menandakan istilah hukum yaitu :
1.
Hukum dalam arti keadilan (keadilan = iustitia) atau
ius/recht. Disini diitilahkan hukum menandakan peraturan yang adil tentang
kehidupan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan.
2.
hukum dalam arti undang-undang atau lex/wet.
Kaidah-kaidah yang mewajibkan itu dipadang sebagai sarana untuk mewujudkan
aturan yang adil tersebut.
Perbedaan kedua istilah “hukum” ini
memang sangat nyata. Bahwa istilah “hukum” mengandung suatu tuntan keadilan
sedangkan istilah undang-undang merupakan norma-norma yang secara nyata
digunakan untuk memenuhi tuntutan keadilan tersebut, baik tertulis maupun tidak
tertulis. Karena itu dalam positivisme hukum untuk menjadikan hukum itu
berkeadilan, maka hendaklah norma-norma hukum (kaedah-kaedah hukum) yang
dikeluarkan benar-benar bersumber dari kaedah moral, agama, maupun kebiasaan.
Sehingga bagi masyarakat yang mentaatinya akan merasakan suasana bathin yang
tentram dan dengan demikian hukum tersebut menjadi hukum yang berkeadilan.
Harus dihindari suatu produk norma hukum yang dibuat oleh otoritas penguasa
didasari pada kepentingan pemegang otoritas kekuasaan. Apalagi hukum dijadikan
alat untuk menjaga dan mempertahankan kepentingan penguasa.
Dalam konteks
perspektif positivisme hukum sulit untuk diperoleh keadilan yang sesungguhnya,
karena dalam paham positivisme hukum ini yang diutamakan adalah kepastian hukum
bukan keadilan hukum. Dalam positivisme hukum sarat dengan ide pendokumenan dan
pemformulan hukum alam wujudnya sebagai the statutoriness of law atau istilah
lainnya birokasi hukum. Dalam ilmu yang legalistik positivistik, hukum
merupakan pranata pengaturan yang mekanistik dan deterministik. Sehingga dalam
positivisme hukum dilakukan
penyerdehanaan aturan sehingga
dalam pandangan positivisme hukum itu menyebut istilah bahwa hukum adalah suatu
keteraturan.
Sebagaimana yang dipahami kelahiran
positivisme hukum berbarengan dengan kelahiran negara modern, sehingga dalam
negara modern produk hukum dalam konteks positivisme hukum dibentuk atau dibuat
oleh badan legislatif. Dalam hal ini nuansa politik sulit dihindari. Oleh
karena itu acapkan kali terlihat produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh
legislatif dalam konteks negara modern cendrung dipengaruhi oleh faktor-faktor
politik. Sehingga hukum dapat digunakan oleh penguasa untuk melakukan rekayasa
sebagaimana yang dikehendaki oleh Penguasa. Tidak menutup kemungkinan penguasa
akan menggunakan hukum untuk melanggengkan kekuasaannya.
Oleh karena
positivieme hukum yang lahir dalam atmosfir liberalisme dimana dalam konteks
liberalisme pendewaan kepada individualisme sangat mencolok. Dan oleh karena
itu positiviseme hukum dirancang tidak untuk memberikan keadilan bagi
masyarakat atau orang banyak, melainkan untuk memberikan perlindungan kepada
individu. Sehingga dalam positivisme hukum demi kepastian maka keadilan dan
kemanfaatan boleh dikorbankan.
Bahwa hukum dalam bentuk
perundang-undangan tidak saja diciptakan untuk memenuhi asas legalitas, tapi
lebih jauh dari itu perundang-undangan yang diciptakan tersebut juga berfungsi
sebagai sarana untuk membentuk masyarakat kearah yang dikehendaki oleh pembuat
undang-undang. Artinya hukum menjadi faktor kearah perubahan masyarakat,
istilah inilah yang dikenal dengan Law is
a tool of social engeeniring. Konsep ini mula-mula diperkenalkan oleh
Roscoe Pound dalam tulisannya berjudul Scope
and Purposes of Sociological Jurisprudence, Ia mengatakan bahwa hukum
adalah alat rekayasa social. Jadi hukum dapat digunakan secara sadar untuk
mengadakan perubahan masyarakat.
Menurut
Soerjono Soekanto, a tool of social engineering atau social engineering by law adalah sebagai berikut :
“…Hukum sebagai alat untuk mengubah
masyarakat, dalam arti bahwa hukum mungkin digunakan sebagai alat oleh Agent of
change. Dan agent of Change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau
sekelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin
satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan mimimpin
masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan didalam melaksanakan hal itu
langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk mengadakan perubahan, dan
bahkan mungkin menyebabkan perubahan-perubahan pula pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan social yang dikehendaki atau
direncanakan, selalu berada dibawah pengendalian dan pengawasan pelopor
perubahan tersebut.”[8]
Melalui metode law is a tool of
social engeeniring apa yang menjadi tujuan dari perubahan yang dipelopori
oleh agent of change dapat tercapai.
Namun demikian tidak semua perundang-undangan yang dibuat dapat menciptakan
perubahan dalam masyarakat sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh
undang-undang itu sendiri. Untuk itu agar metode “law as a tool of social engineering” dapat digunakan secara efektif, perlu
diperhatikan 4 asas utama. Adam
Podgorecki menggambarkan keempat asas
utama itu sebagai berikut[9] :
a.
Menguasai
dengan baik situasi yang dihadapi.
b.
Membuat
suatu analisis tentang penilian-penilaian yang ada serta menempatkan dalam
suatu aurutan hirarkhie. Analisis dalam hal ini mencakup pula asumsi mengenai
apakah metode yang akan digunakan tidakaakan lebih menimbulkan suatu efek yang
memerburuk keadaan.
c.
Melakukan
verifikasi hipotesis-hipotesis seperti apakah suatu metode yang dipkirkan untuk
digunakan pada akhirnya nanti memang akan membawa kepada tujuan sebagaimana
yang dikehendaki.
d.
Pengukuran terhadap efek perundang-undangan yang ada.
Konsep Law as tool of social engenering apabila penguasa tidak
mengutamakan moralitas dalam penciptaan hukum, maka tidak menutup kemungkinan
hukum akan dijadikan alat untuk kejahatan (law
as tool of crime). Roni Rahman Nitibaskara, pernah mengungkapkan ini dalam
tulisannya, ia mengatakan bahwa dalam perkembangan praktik hukum ternyata
acapkali hukum telah disalahgunakan yaitu untuk melakukan kejahatan.[10].
Judicial crime terjadi karena terdapat
peluang untuk mempertukarkan kekuasan dengan materi melalui celah-celah
kelemahan hukum. Kehebatan mereka dalam menggunakan hukum itulah, menghasilkan
penyimpangan yang tampak sah secara hukum. Karena penyimpangan tersebut
bergerak dalam bingkai hukum, maka kelihatan semuanya berjalan dan sesuai
dengan hukum kendatipun ada pelanggaran hukum. Sering sekali secara tersembunyi
dalam putusan hakim sesungguhnya terjadi judicial
crime atau discretionary justice
para penegak hukum. Hal inilah yang disebut dengan istilah kejahatan yang
sempurna adalah kejahatan yang dibungkus dengan hukum (Perfect crime).[11]
Aliran positivisme hukum yang menjadi
standar ukuran untuk segala sesuatu adalah hukum yang tertulis diluar hukum
yang tidak tertulis, maka itu bukan hukum. Dalam pandangan positivisme hukum
tidak ada kaedah kebiasaan, kaedah
moral, kaedah agama maupun kaedah kesopanan.
Menurut Julis Moor yang
memiliki pandangan tidak jauh berbeda dengan John Austin mengemukakan bahwa positivisme hukum dalam
model analitik atau normatif merupakan
hal yang semata-mata diproduksi oleh suatu otoritas publik penguasa dimasyarakat, dan oleh karenanya
menuntut dua hal yaitu :
- Hukum semata-mata merupakan kaidah-kaidah atau kategori-kategori imperatif (keharusan-keharusan berprilaku) yang dibawah otoritas bulik diterbitkan) dan apapun yang telah diteribtkan sebagai hukum.
- Dalam aliran positivisme hukum dituntut adanya suatu pemisahaan yang tajam antara hukum positif dengan kaedah-kaidah moral dan kebijakan kemasyarakatan, sehingga dalam pandangan positivisme hukum keadilan identik dengan kepatuhan terhadap aturan-aturan.[12]
Oleh karena itu
penyimpangan hukum dapat terjadi dikarenakan semua hukum dan produk-produknya
dibuat oleh para ahli hukum dengan tidak banyak mempertimbangkan aspek moral,
dan keberlakuannya sangat ditentukan oleh yang berkuasa.[13]
Hubungan antara hukum
positif dengan moral ada 3 (tiga) kemungkinan yang dapat terjadi yaitu : Pertama, hukum dan moral harus berkaitan
artinya apa yang ditetapkan oleh hukum positif dalam aturannya harus merupakan
perwujudan moralitas atas asas-asas moral. Dengan demikian hukum positif yang
tidak mengandung aspek moralitas, maka hukum positif tersebut dianggap tidak
memiliki kekuatan mengikat. Jadi ketaatan orang terhadap hukum identik dengan
perbuatan moral. Kedua, hubungan
hukum moral dengan hukum positif tidak berhubungan, dimana hukum positif
mengatur semua perbuatan lahir, menyelenggarakan kedamaian dan keteranganan
hidup manusia di masyarakat, sedangkan hukum moral mengatur perbuatan batin,
dan menyempurnakan kehidupan manusia. Ketiga, hukum positif dan moralitas memiliki otonomi
dan ruang lingkup yang ekslusif. Dalam hukum positif kekuatan hukumnya terletak
pada pengundangnya yang formal. Sedangkan hukum moral hanyalah sekedar
asas-asas seperti asas manfaat, tradisi dan kebiasaan masyarakat.[14]
IV.
PENUTUP
Dalam negera hukum fungsi hukum
sesungguhnya sangat signifikan, justru bila terjadi pelanggaran hukum dan
penegakan hukum tidak dilaksankaan, maka kondisi suatu negara akan menjadi
goyah dan tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan kekacauan (chaos). Oleh karena itu hukum harus
dijadikan panglima (supreme of law).
Akan tetapi dalam konteks hukum
modern, kadang kala hukum juga dijadikan sarana untuk melakukan
kebijakan-kebijakan publik (publik policy)
yang justru kadang kala menyengsarakan masyarakat. Hukum yang demikian akan
menjadikan hukum jauh dari cita-cita hukum yang sesungguhnya yaitu mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Sebab itu dalam hukum modern yang
merupakan buah dari aliran positivisme hukum memandang hukum sebagai perintah penguasa, sehingga dalam konteks ini
hubungan hukum positif dan moral dapat terlihat dari pespektif penguasa atau
otoritas pemegang kekuasaan yang melahirkan undang-undang. Sehingga otoritas
penguasa yang bijaksana tentu akan melahirkan produk hukum yang berlandaskan
asas-asas moralitas pula.
[1]
Makalah ini disampaikan pada saat memberikan seminar Sehari Penegakan Hukum dan
Pendidikan Politik di Kab.Batubara.
[2] Erman Rajagukguk, Perlu Pembaharuan Hukum dan Profesi Hukum,
Pidato Pengukuhan Sebgai Guru Besar Hukum, Suara Pembaharuan, hlm. 11
[3] Bagir Manan, Pemahaman Sistem Hukum
Nasional, Jakarta 1994, Makalah.
[4]
Oemar Seno Adji, Prasaran Seminar Ketatanegaraan UUD 1945, Jakarta, 1966 Seruling Mas, hal.24.
[5]
Moh.Mahfud M.D. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1993, hal.23
[6]
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, 1995, hal 64
[7]
Ibid Hal. 48.
[8] Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi
Hukum bagi kalangan Hukum, Alumini
Bandung, 1979, hal.104-105
[9] C.J.M
Schuyt, Rechts sosoilogie, een terreinverkening, Rotterdam Universitaire Pres,
1971, hal.54
[10] Tb.Roni
Rahman Nitibaskara, Tegakan Hukum Gunakan Hukum, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
2006, hal.60
[11] Ibid
[12] Herman
Bakir Op.cit hal 276
[13]
RB.Sumanto, Hukum dan Sosiolgi Hukum, Pemikiran, Teori dan Masalah, diterbitkan
oleh LPP dan UPT bekerja sama dengan Percetakan UNS, Surakarta, 2007, hal.70
[14] Ibid
hal. 84
Tidak ada komentar:
Posting Komentar