Selasa, 25 Februari 2014

Korupsi

 
PENYELESAIAN  KORUPSI DENGAN PRINSIP
                                            RESTRORATIVE JUSTICE

Korupsi telah menjadi kejahatan yang paling dibenci dan menjadi musuh bersama bagi bangsa Indonesia disamping kejahatan-kejahatan lain seperti Narkotika, dan teroris. Upaya penanggulangan kejahatan-kejahatan tersebut, sampai saat ini masih menghandalkan pada fungsionalisasi hukum pidana. Padahal hukum pidana itu sendiri tidaklah dapat dihandalkan sebagai langkah utama untuk pencegahan kejahatan termasuk Korupsi.  Adagium bahwa  hukum pidana  sebagai Ultimum Remedium, sebagai bukti bahwa menjadikan hukum pidana sebagai prioritas dalam penanggulanan kejahatan bukanlah cara yang tepat.
Lalu apakah yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan tersebut? Mencari sebab adalah cara tepat, karena dengan mengetahui causa dari suatu kejahatan, dan kemudian causa (penyebab) kejahatan tersebut dieliminir maka dengan sendirinya kejahatan itu akan berkurang.
Jadi penanggulangan kejahatan yang dilakukan selama ini hanyalah penanggulangan kejahatan secara symptomatic, yaitu hanya mengatasi gejalanya saja. Penangkapan dan menghukum para pelaku tindak pidana korupsi sama dengan penanggulangan sympotmatic tersebut. Menghilangkan gejalanya tanpa menghapus penyebabnya, maka kejahatan itu tidak akan pernah berkurang. Berkurang itu hanya sesaat, tapi setelah itu  akan mencul lagi, bahkan bisa jauh lebih parah.
Korupsi itu seperti kata Mochtar Lubis adalah kejahatan dengan banyak wajah, sehingga tidak dapat disimpulkan hanya melihat pada satu aspek. Tidak bisa dikatakan lemahnya  penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan korupsi adalah faktor utama gagalnya pemberantasan korupsi. Padahal ada faktor-faktor lain yang lebih dominan yang menyebabkan orang melakukan korupsi. Itu yang harus diteliti dan dicari.
Kejaksaan sebagai salah satu institusi penegak hukum juga diberi amanah untuk melakukan penanggulangan kejahatan korupsi dalam bidang penegakan hukum. Kejaksaan disamping bertindak selaku penyidik juga sekaligus penuntut Umum dengan segala kewenangannya. Disinilah letak peran sentral kejaksaan dalam penanggulangan korupsi.   
Belakangan ini mass media ramai memberitakan tentang bocornya surat edaran Jaksa Agung Republik Indonesia nomor : B-113/F/Fd.1/05/2010 tanggal 18 Mei 2010.  Surat Edaran tersebut ternyata telah melahirkan berbagai pendapat, tapi pada intinya sebagian besar menolak penyelesaian kasus korupsi dengan menerapkan asas restorative justice.
Surat Edaran Jaksa Agung (Jaksa Agung Muda Pidana Khusus) Nomor : B-113/F/Fd.1/05/2010 tanggal 18 Mei 2010,  salah satu poin dalam isinya adalah  menginstruksikan kepada seluruh kejaksaan tinggi yang isinya imbauan agar dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi, masyarakat yang dengan kesadaran telah mengembalikan kerugian negara yang nilainya kecil perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti atas berlaku asas restorative justice.
Surat Edaran ini bila dicerna secara bijaksana sebenarnya ingin melihat bahwa penanggungalan korupsi yang terkait dengan kerugian negara, sepanjang kerugiannya tidak terlalu besar dan pelaku dengan kesadaran sendiri telah mengembalikan seluruh kerugian tersebut bisa diselesaikan diluar pengadilan (prinsip asas restrorative justice).
Pertanyaan yang perlu diajukan dalam surat edaran ini sesungguhnya tidak terletak pada   pantas atau tidak pantasnya pelaku korupsi diberi keringan,  melainkan berapa sebenarnya nilai kerugian yang dapat dikwalifikasi kecil. Sebeb tanpa ukuran yang jelas akan menjadi kabur dan melahirkan ambiugitas dalam pemberantasan korupsi yang pada akhirnya kegagalan dalam memberantas korupsi.
Disamping itu, apakah kebijakan (diskresi) yang dilahirkan dari surat edaran tersebut dapat dibenarkan, baik dari aspek filosofis, juridis maupun sosiologis? Secara filosofis, tujuan dari hukum itu sendiri bukanlah penghukuman. Misalnya Jeremy Bentham dalam teori utilitasnya menyebutkan tujuan dari hukum adalah semata-mata  mewujudkan apa yang berfaedah (berguna) bagi orang atau masyarakat.
Berangkat dari tujuan hukum tersebut, maka sebenarnya terjadinya pengembalian kerugian negara oleh pelaku tindak pidana korupsi  adalah jauh lebih berfaedah daripada menghukum pelaku sementara kerugian negara tidak bisa dikembalikan. Bagir Manan dalam suatu kesempatan dalam menanggapi surat edaran Jaksa Agung tersebut berpendapat hal tersebut dapat dibenarkan, karena menyangkut diskresi yang dilakukan oleh kejaksaan. Bahwa dengan dipulihkannya keadaan, misalnya kerugian negara yang telah ditutupi, maka selayaknya perkara tidak perlu lagi diajukan. Tujuan dari asas restrorative justice  sebenarnya adalah memulihkan hubungan antara pelaku dengan korban. Korban dalam hal ini adalah negara.
     Secara juridis, kejaksaan sebenarnya diberi kewenangan oleh undang-undang yang biasa disebut dengan asas opurtinitas. Asas opurtinitas  adalah kewenangan untuk mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum dengan cara  tidak melakukan penuntutan, KUHAP mengatur ini dalam Pasal 14. Jadi pengenyampingan perkara yang dilakukan oleh Jaksa bukan alasan kepentingan hukum, tapi kepentingan umum. Bahwa dikaitkan dengan surat edaran Jaksa Agung tersebut, bisa saja apa yang dilakukan jaksa dengan tidak melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi dengan kerugian negara yang kecil sebagai langkah menerapkan asas opurtinitas tersebut.
Pertimbangan jaksa menjalankan prinsip opurtinitas tidak semata-mata kepentingan umum, tapi juga bisa karena alasan untung ruginya bila perkara tersebut diteruskan ke pengadilan. Untung rugi ini bisa terkait dengan dana yang harus dikeluarkan dibanding manfaat yang akan diperoleh. Kerugian negara yang kecil sementara pengeluaran keuangan negara yang besar untuk melanjutkan perkara bisa dijadikan pertimbangan.
Bahwa pengertian asas opurtinitas tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukankan oleh seorang ahli hukum Belanda bernama Dr. Bert Snel, yang mengatakan,  “Apabila jaksa berpendapat bahwa suatu penuntutan itu tidak ia kehendaki secara bersyarat ataupun tidak, maka ia akan mengesampingkan perkara. Juga ia akan mengesampingkan suatu perkara apabila ternyata terdapat kurang bukti, atau dalam hal ia berpendapat bahwa adalah lebih tepat apabila perkara tersebut diselesaikan menurut hukum perdata.  Sebagai dasar untuk melaksanakan asas opurtinitas itu, undang-undang hanya mengatakan demi kepentingan umum. Dengan panjang lebar memori penjelasan telah mengatakan, yang pada dasarnya ingin mengatakan bahwa suatu penuntutaan dapat dikesampingkan, jika penuntutan itu akan mendatangkan kerugian yang lebih besar daripada mendatangkan keuntungan, baik bagi pribadi dari tersangka dan atau bagi masyarakat.”
 Persoalan tentang surat edaran jaksa agung tersebut, sebenarnya tidak ada permasalahan dalam upaya penegakan hukum untuk pemberantasan korupsi, karena isi dari surat edaran tersebut ternyata tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum. Pemberantasan korupsi yang terkait dengan kerugian negara tidak semata-mata untuk menghukum pelaku, tapi lebih dari itu adalah bagaimana kerugian keuangan negara dapat dikembalikan. Tujuan Hukum tidak semata menghukum siapa yang bersalah, tapi yang paling krusial bagaimana hubungan yang telah rusak dikarenakan adanya pelanggaran dapat dipulihkan kembali. Pemulihan itu hanya dapat dimanifestasikan dengan adanya pengembalian kerugian keuangan negara.
Sebagaimana diungkapkan oleh Marthin Luther, Peace is more important than all justice; and peace was not made for the sake of justice, but justice for the sake of peace (Perdamaian adalah jauh lebih penting dari semua keadilan, dan Perdamaian tidak diciptakan demi keadilan, melainkan keadilan untuk perdamaian), atau boleh dikatakan  asas restrorative justice dalam pemberantasan korupsi mengandung makna, Jauh lebih besar manfaatnya bagi  bangsa dan negara apabila uang hasil korupsi dapat ditarik kembali atau dikembalikan oleh pelaku ketimbang menghukum pelaku.