REKAYASA
KASUS DALAM PENEGAKAN HUKUM
Ada adagium yang sangat terkenal dalam hukum
pidana yaitu, “lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum
satu orang yang benar”. Adagium ini
mensyaratkan bahwa ketika satu orang benar atau tidak bersalah dijatuhi
hukuman, maka runtuhlah hukum itu. Menghukum orang yang tidak bersalah adalah
suatu kejahatan paling dikutuk dan tidak dapat dibenarkan sama sekali.
Penegakan
hukum dalam hukum pidana adalah mencari kebenaran materil, bukan kebenaran formil. Karena itu
pembuktian dalam hukum pidana jauh lebih hati-hati dibanding dengan pembuktian
dalam hukum perdata/tatausaha negara. Itu sebabnya ada prinsip dalam hukum
pidana, dalam hal hakim ragu-ragu terhadap alat bukti yang ada, maka hakim
sebaiknya menjatuhkan putusan bebas. Kesimpulannya, bahwa menghukum orang
bersalah dalam hukum pidana harus benar-benar telah didukung dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan hakim yang
penuh.
Unsur utama dalam hukum pidana adalah unsur
kesalahan, karena itu ada asas dalam hukum pidana yang menyebutkan, tiada
pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder
schuld), atau meminjam istilah lain yang dikemukakan oleh Nurul Huda dengan
istilah tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan. Membuktikan unsur
kesalahan terhadap seseorang yang didakwa telah melakukan tindak pidana
merupakan hal yang esensial untuk menentukan bersalah atau tidaknya seseorang.
Para
penegak hukum harus memahami benar prinsip pokok hukum pidana ini yaitu tentang
unsur kesalahan. Karena kesalahan secara luas terkait dengan pertanggungjawaban
pidana (criminal responsibility). Seringkali
dalam praktek untuk menyederhanakan penyelesaian perkara unsur esensial ini
tidak atau jarang dibuktikan oleh penegak hukum dipengadilan. Akibatnya bisa
berdampak pada lahirnya putusan yang menghukum seseorang bersalah padahal orang
tersebut tidak bersalah. Disini telah terjadi pelecehan terhadap keadilan.
Belakangan
ini ramai kita mendengar adanya rekayasa kasus yang dilakukan oleh penegak
hukum. Putusan Mahkamah Agung yang telah menganulir putusan pidana 4 tahun
penjara yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Tinggi
Surabaya terhadap Rudy di sinyalir ada
rakayasa kasus dalam perkara tersebut. Mahkamah Agung memutuskan bahwa Rudy tidak
bersalah dan karennya dibebaskan dari dakwaan melanggar undang-undang penyalahgunaan
Narkotika.
Pertanyaan
yang timbul adalah dimana letak kesalahan ini, sebab pengadilan negeri Surabaya
maupun pengadilan tinggi Surabaya selaku judex
factie, menghukum terdakwa
bersalah, Mahkamah Agung selaku judex juris justru memutus bebas, apakah
judex factie telah tidak teliti dalam
memeriksa perkara atau Mahkamah Agung yang keliru?
Menjawab
pertanyaan ini akan dilihat bagaimana dalam praktek pengadilan melakukan
pembuktian khususnya dalam perkara tindak pidana Narkotika. Undang-undang nomor 35 tahun 2009 telah membuat formulasi
delik secara sederhana, tujuannya tentu untuk memudahkan pembuktian dari
pelanggaran undang-undang tersebut. Sebagai contoh misalnya kita ambil Pasal
111 ayat (1) yang isi lengkapnya adalah sebagai berikut :
“Setiap orang
yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,
memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan
I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”
Unsur
melawan hukum dalam Pasal ini menjadi krusial.
Dalam praktek apabila formulasi delik menyebutkan unsur melwan hukum, maka
unsur tersebut wajib dibuktikan dipersidangan, bila tidak terbukti, maka
terdakwa harus dibebaskan. Ada juga formulasi delik yang tidak menyebutkan
unsur melawan hukum, lalu apa unsur tersebut perlu dibuktikan. Jawabnya tidak
harus, karena kalau unsur-unsur delik telah terpenuhi, maka dengan sendirinya
perbuatan melawan hukumnya telah terbukti. Contohnya Pasal 338 KUHP, filosofinya
menghilangkan nyawa orang lain dianggap
sebagai perbuatan melawan hukum.
Melawan
hukum adalah unsur objektif dalam delik, sedangkan kesalahan adalah unsur
subjektif. Melawan hukum ada dua pandangan, pertama melawan hukum formil kedua
melawan hukum materil. Dalam praktek seperti Pasal 111 (1) tersebut diatas,
jaksa maupun hakim hanya membuktikan unsur melawan hukum dari perbuatan
terdakwa, tanpa membuktikan kesalahan terdakwa atau lebih tepatnya ketercelaan
perbuatan terdakwa. Ini terjadi karena hakim maupun jaksa hanya bertumpu pada
pandangan melawan hukum formil. Melawan hukum cukup dibuktikan dengan perbuatan
terdakwa menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan
narkotika golongan I tersebut tidak memiliki hak atau tidak ada izin. Lalu
bagaimana terdakwa bisa menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai
atau menyediakan narkotika golongan I tidak pernah dibuktikan, sebenarnya
inilah unsur kesalahan (ketercelaan) tersebut. Pasal 111 ayat (1) tersebut
diatas, jelas tidak ada disebutkan unsur kesengajaan. Tapi harus dipahami bahwa
perbuatan tersebut harus dilakukan dengan kesengajaan.
Terbuktinya
unsur melawan hukum biasanya hakim dengan serta merta menghukum terdakwa.
Padahal seperti disebut diatas unsur kesalahan secara luas terkait dengan
pertanggungjawaban pidana terdakwa. Bahwa meskipun unsur delik terbukti, akan
tetapi apabila pada diri terdakwa tidak ada kesalahan, maka terdakwa tidak
boleh dihukum, melainkan harus dihukum dengan hukuman lepasa dari tuntutan (onslag van recht vervolging).
Lalu apakah disini jaksa maupun hakim tidak perlu
membuktikan unsur kesengajaannya? Seharusnya harus dibuktikan. Kesengajaan itu
sendiri dalam jurisprudensi maupun praktek selalu diartikan sebagai mengetahui
dan menghendaki (will en witten).
Memang unsur kesalahan adalah unsur yang subjektif, yaitu keadaan batin
seseorang terhadap tindak pidana tersebut. Membuktikan kesengajaan terdakwa
dapat dilakukan dengan cara memeriksa pengetahuan dan kehendak terdakwa atas
tindak pidana yang dituduhkan tersebut.
Apabila
tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa tersebut benar diketahui dan
akibatnya juga dikehendaki oleh terdakwa, barulah terdakwa dapat dinyatakan bersalah oleh hakim. Praktek
penegakan hukum selama ini selalu mengabaikan unsur kesalahan ini. Sebagai
contoh, sebutlah namanya A (seorang
wanita), dari Medan pergi ke Jakarta dengan menggunakan kapal laut. Dalam
perjalanan diatas kapal si A berkenalan dengan si B (seorang pria), selama
perjalanan mereka saling ngobrol. Sampai di Tanjung Priok, ketika hendak turun,
si B menitipkan sebuah kardus kecil kepada A untuk tolong dibawakan, dan B akan
menjemputnya nanti setelah melewati pemeriksaan. A tanpa curiga membawa
barang-barangnya bersama dengan titipan B tadi. Ketika melewati portal
penjagaan, dilakukan pemeriksaan, lalu petugas curiga dan membuka kardus yang
dibawa A, dan ternyata setelah diperiksa berisi Narkotika jenis ganja. Akhirnya
A dibawa kekantor Polisi dan oleh polisi diproses dan dikirim ke Jaksa.
Melihat
kronologis kasus ini, penyidik maupun jaksa seharusnya meniliti dengan cermat
untuk mengetahui letak kesalahan si A, apakah si A dalam hal ini bersalah?
Kalau berpikir secara sederhana jelas A bisa disalahkan, karena unsur melawan
hukum telah terbukti begitu pula dengan unsur memiliki, menguasi atau menyimpan
Narkotika golongan I, karena kardus berisi ganja tersebut ada dalam kekuasaan
dari A. Harus juga dicari kebenaran materil, untuk melihat kesalahan A. Apakah
A memang sungguh-sungguh mengetahui kardus itu berisi ganja, dan apakah A
memang menghendaki hal tersebut. Kemudian juga bisa dilihat dari latar belakang
A, apakah A memang punya latar belakang yang terkait dengan pengguna atau
pengedaran Narkotika.
Jadi
dalam hal ini tidak serta merta harus menghukum A, apalagi diketahui bahwa kardus tersebut bukan milik
dari A, maka A tidak dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana. Jadi
dalam praktek sering sekali jebakan-jebakan demikian terjadi dan akibatnya
adalah sering sekali orang yang tidak bersalah harus dihukum.
Karena
itu benar apa yang disebut oleh adagium dalam hukum pidana tadi, yaitu lebih
baik membabaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak
bersalah. Keadilan akan runtuh apabila orang benar dihukum. Keadilan itu untuk
manusia, seperti yang dikatakan Imanuel Kant, “If justice is gone, there is no reason for a man to live longer on
earth”.
Mahkamah
Agung yang memeriksa dan mengadili kasus Rudy melihat secara cermat dan akurat
letak kesalahan dalam menerapkan hukum pembuktian, dari keterangan saksi-saksi
dan fakta dipersidangan terlihat bahwa tidak cukup bukti adanya kesalahan pada
diri terdakwa Rudi sebagaimana dakwaan Penuntut
Umum. Karena itu Mahkamah Agung memandang terdakwa Rudi tidak bersalah dan
harus dibebaskan.
Apakah
dalam kasus ini ada rekayasa? Penulis memandang tidak tepat disebut sebagai
rekayasa kasus. Rekayasa itu sendiri mengandung arti rencana jahat atau
persekongkolan jahat dengan tujuan untuk merugikan orang lain. Lalu apa
kepentingan penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum dan juga hakim judex factie merekayasa kasus itu agar
Rudi dihukum? Tentu tidak ada. Lalu apa yang terjadi dalam hal ini? Lebih tepat
menyebutnya sebagai kelemahan dan ketidak mampuan penegak hukum dalam memahami
hukum sehingga kelemahan tersebut berakibat terjadinya kekeliruan dalam
penegakan hukum. Meminjam istilah kedokteran lebih tepat disebut sebagai malpraktek dalam penegakan hukum.
Kita tidak
hanya sekedar memerlukan penegak hukum yang jujur, tegas dan berani, tapi juga
harus cerdas, jeli dan memiliki kemampuan memahami hukum dengan benar, sehingga
orang-orang yang berurusan dengan hukum dapat merasakan keadilan dan tidak
merasa diperkosa hak-haknya. Dengan demikian diharapkan tindakan-tindakan malpraktek dalam penegakan hukum dapat
dihindari.
ulasannya mudah dipahami. terima kasih
BalasHapus