PERSPEKTIF
Perspektif
itu adalah cara pandang seseorang terhadap sesuatu yang didasarkan pada pengamatannya, lalu dari hasil pengamatan
atas fenomena yang ada tadi membuat suatu penilaian (kesimpulan). Atau dengan
kata lain perspektif itu berupa kumpulan asumsi atau keyakinan seseorang atas
sesuatu hal.
Terhadap
sesuatu objek, setiap manusia pasti punya perspektif yang berbeda. Karena itu
tidak ada kebenaran perspektif manusia yang mutlak, yang ada itu perspektif
dominan. Bisanya yang dominanlah yang menguasai minoritas. Perspektif minoritas
biasanya disebut sesat atau keliru.
Perspektif
tadi sering melahirkan kondisi saling mengklaim kebenaran dan menyalahkan pihak
lain. Bahkan sering berujung pada bentrok fisik
sampai pada pembunuhan. Misalnya ketika Hittler membunuh orang-orang Yahudi,
hal itu didasarkan perspektif Hittler bahwa Yahudi itu pembuat masalah. Hitler
mengatakan dalam buku Mein Kampf yang ditulisnya, “Tidak akan kubantai habis
seluruh yahudi agar di masa yang akan datang kalian mengerti alasan mengapa aku
membantai mereka.” Hitler punya perspektif terhadap bangsa Yahudi dan
menurutnya perspektifnya itu benar.
Lalu dapatkah
kita mengatakan bahwa Hitler itu tidak waras? Jawabannyapun tergantung dari
perspektif mana kita melihat. Barangkali dari perspektif bangsa Jerman saat
itu, apa yang diperbuat oleh Hitler itu benar, tapi dalam perspektif bangsa
Yahudi tentu lain, mereka akan bilang Hitler tidak waras dan sadis.
Para teroris
membunuh orang dengan cara meletakan bom mobil ditengah keramaian, bagi teroris
itu adalah kebenaran, tapi orang-orang lain akan memandang itu adalah tindakan
gila dan tidak beradab. Siapakah yang benar disini, semua kembali kepada, dari
perspektif mana kita milihat.
Fenomena yang
terjadi didunia ini juga akan melahirkan perspektif yang bermancam-macam.
Bahkan belakangan ini ada benturan antara peradaban modern dan pra modern.
Orang-orang modern memandang bahwa peradaban pra modern adalah irrasional,
sedangkan orang modern memiliki pandangan yang rasional. Lalu mana yang benar
dari dua peradaban itu. Orang pra
modern memiliki pandangan kosmopolitan, sedangkan orang modern lebih
berpandangan rasionalitas. Jawabannya tergantung dari perspektif mana kita akan
melihatnya.
Agamapun
telah melahirkan perspektif bermacam-macam, maka lahirlah dogmatika. Tuhanpun
telah dinilai oleh manusia dari perspektif manusia itu sendiri, dan anehnya
setiap manusia punya perspektif sendiri tentang Tuhan, akibatnya lahirlah
berbagai teologia tentang Tuhan. Orang-orang Hindu akan memandang bahwa yang
Maha kuasa itu adalah terdiri dari dewa-dewi, orang Kristen menyebut yang maha
Tinggi itu dalam istilah Tritunggal, sedangkan Islam menyebut Allah, bangsa
Yahudi menyebutnya Yahwe sedangkan bangsa Yunani menyebut yang maha Tinggi
dengan Zeus.
Pertanyaannya,
manakah yang benar? Jawabnya tergantung dari
pespektif mana saudara melihatnya. Sama halnya ketika ada sebutan orang waras atau tidak waras, itupun
tergantung dari perspektif mana saudara melihat. Orang yang merasa dirinya
waras akan menyebut orang yang tidak sejalan dengan pikirannya dengan tidak
waras (gila) sebaliknya orang gila tadi akan menyebut orang waras itu sebagai
orang aneh (gila) juga. Jakob Sumarno dalam bukunya ambang waras dan gila,
justru melihat kewarasan yang sebenarnya adalah kegilaan, dan kegilaan yang
sebenarnya adalah kewarasan. Menurutnya hidup waras itu hanya manipulasi
orang-orang gila. Hidup penuh kebohongan. Hidup penuh kepura-puraan. Jadi apa
yang disebut hidup waras adalah hidup yang mengikuti cara berpikir umum tentang
apa yang disebut waras, jadi itu adalah kesepakatan budaya.
Pendapat
Jakob Sumarno tadi memang ada benarnya, tapi itu akan dibantah oleh orang lain
dengan perspektif lain juga. Mereka akan berkata bahwa gila itu adalah
berprilaku aneh dan tidak lazim.
Lalu apakah
yang hendak kita peroleh dari ada
banyaknya perspektif itu? Jawabnnya adalah bahwa kita sesungguhnya tidak bisa
mengklaim kebenaran itu dengan menafikan kebenaran menurut perspektif orang
lain. Artinya kita harus tetap menghargai pendapat orang lain, kendatipun kita
tidak satu ideologi, atau tidak satu paham tidak berarti kita dibenarkan untuk
melakukan kekerasan terhadap orang yang tidak sealiran dengan kita tadi,
apalagi dengan cara membunuh.
Menonjolkan
sikap yang lebih terbuka dan melihat
bahwa dunia ini luas dan memiliki pelbagai peradaban yang mana satu dengan
lainnya saling berbeda, tapi perbedaan itu tidak menjadikan kita harus bersikap
picik tapi melihat itu sebagai kekayaan dan menjadi sumber pengetahuan bagi
kita.
Belajar untuk
menerima perbedaan pendapat adalah rahmat. Apabila orang
lain tidak sependapat dengan kita atau berpeda perspektif dalam memandang sesuatu kebenaran, itupun
harus kita terima dengan lapang dada, karena dunia ini dari sejawak awal memiliki
perbedan. Bahkan menurut kepercayaan sebagian besar orang beragama menyakini
bahwa Tuhan sendiri menciptakan perbedaan itu dan memberi pengetahuan pada
manusia untuk menilai yang baik dan jahat. Pengetahuan inilah yang melahirkan
perspektif dalam kehidupan manusia, karena manusia itu seperti disebutkan oleh
Aristoteles sebagai “binatang yang berakal”
Sayapun
sadar, bahwa tulisan ini juga belum tentu diterima oleh orang lain yang
memiliki perspektif berbeda dengan saya, lalu sayapun tidak bisa mengatakan
bahwa apa yang saya tulis ini adalah yang paling benar, karena orang lain bisa
saja berpendapat lain. So, mari saling menghormati perbedaan...