PRAPERADILAN DALAM
PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN
PIDANA TERPADU
I.
PENDAHULUAN
Sejak lahirnya
Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana atau yang
biasa dikenal dengan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana atau disingkat KUHAP, ada beberapa hal yang baru bila dibandingkan dengan hukum acara
pidana sebelumnya yaitu Herziene
Indiesche Reglement (HIR), yaitu :
-
Hak-hak tersangka dan terdakwa (pasal 50 sampai dengan
pasal 68 KUHAP)
-
Bantuan Hukum pada semua tingkat pemeriksaan (pasal 69
sampai dengan pasal 74 KUHAP)
-
Penggabungan perkara perdata pada perkara pidana dalam hal
ganti rugi (pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP)
-
Pengawasan Pelaksanaan putusan Hakim (pasal 277 sampai
dengan pasal 283 KUHAP)
-
Wewenang hakim pada pemeriksaan pendahuluan, yakni
praperadilan (Pasal 77 sampai dengan pasal 83 KUHAP).
Dilihat dari hal-hal yang
baru dalam KUHAP, tergambar jelas bahwa KUHAP sangat menjunjung tinggi hak-hak
asasi manusia terutama hak-hak dari tersangka
dan terdakwa dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Sebagaimana diketahui
pada masa berlakunya HIR, banyak tersangka yang ditangkap dan ditahan tanpa
batas waktu yang jelas hingga disidangkan. Apalagi bila orang yang ditangkap
tersebut ternyata tidak bersalah tidak ada upaya bagi tersangka atau orang yang
ditangkap atau ditahan untuk melakukan tuntutan, dengan kehadiran KUHAP,
masalah ini telah ditampung.
Perlindungan hak-hak
terhadap tersangka yang diberikan oleh KUHAP tidak terlepas dari asas praduga
tidak bersalah (presumption of innocent)
sebagaimana yang diatur dalam pasal 8 undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang
kekuasaan kehakiman yang telah mengalami perubahan (bukan pencabutan)
berdasarkan Undang-undang No.34 tahun 1999 dan terakhir diganti dengan
Undang-undang nomor 4 tahun 2004, dalam pasal 8 UU nomor 14 tahun 1970 tersebut
disebutkan, setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau
dihadapkan didepan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya
putusan Pengadilan yang dinyatakan kesalahnnya dan memperoleh kekuatan hukum
yang tetap.
Keberadaan lembaga
Praperadilan dalam sistem peradilan Indonesia merupakan sebagai sarana control oleh Hakim terhadap
tindakan-tindakan hukum selama proses penyidikan dan penuntutan yang dilakukan
oleh Kepolisian maupun Kejaksaan. Dalam sistem Peradilan Pidana terpadu yang
dianut oleh Hukum Acara Pidana mengandung arti hubungan antara Kepolisian,
Kejaksaan, Kehakiman dan Lembaga Pemasyarakaatan harus merupakan hubungan yang sinkron sehingga tidak terjadi saling
tumpang tindih. Hukum Acara Pidana merupakan suatu sarana dalam pembinaan
keseluruhan komponen diatas, dalam arti bahwa Hukum Acara Pidana haruslah dapat
memberikan pengaturan sedemikian rupa sehingga diantara komponen tersebut tidak
terjadi saling tumpa tindih, serta masing-masing komponen mengetahui tempatnya serta fungsi
masing-masing dalam suatu rangkaian keseluruhan sistem. (Loebby Loqman, SH MH,
Praperadilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hal.16).
Sistem Peradilan Pidana
terpadu ini (intregrited Criminial
justice System) memiliki tujuan adalah untuk dapat mengatasi kejahatan.
Sebagaimana diketahui masing-masing lembaga seperti Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah
Agung dan Lembaga Pemasyarakatan
memiliki undang-undangnya sendiri, sehingga bila masing-masing lembaga tersebut
berjalan sendiri-sendiri untuk mengatasi kejahatan, maka apa yang menjadi
tujuan bisa saja tidak tercapai.
Oleh karena itu Lembaga
Praperadilan sebagai lembaga pengawas oleh Hakim terhadap tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh Kepolisian maupuan Kejaksaan akan mewujudknya tercapainya
apa yang dikehndaki oleh system peradilan pidana terpadu tersebut.
II.
RUANG LINGKUP PRAPERADILAN
- Pengertian Praperadilan
Sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya bahwa lembaga Praperadilan merupakan lembaga baru yang
diperkenalkan oleh KUHAP. Menurut Andi Hamzah, Praperadilan merupakan tiruan
dari Rechter-Commissaris dinegara
Belanda. (Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana , Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1983, hal.188).
KUHAP tidak memberikan
defenisi yang jelas mengenai Praperadilan, hanya saja dalam pasal 1 butir 10
KUHAP disebutkan Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa
dan memutus tentang :
- sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tesangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghhnetiakan penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
- Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.
Dari pengertian Praperadilan tersebut
diatas dapat terlihat bahwa lembaga peradilan bukan lembaga peradilan
tersendiri, melaiankan bagian dari pengadilan negeri. Di Negeri Belanda Rechter Commissaris timbul dari
perkembangan zaman yang menhendaki hakim mempunyai peran aktir dalam peradilan
pidana. Sedangkan praperadilan di Indonesia diciptakan untuk memberikan
perlindungan terhadap hak-hak asasi tersangka/terdakwa. (Ratna Nurul Afiah, Pra
Peradilan dan Ruang Lingkupnya, Akedimika Pressindo, Jakarta, 1986, hal.75).
Fungsi lembaga praperadilan
ini adalah sebagai wujud pengawasan terhadap perlindungan hak-hak asasi
manusia, dan pengawasan tersebut dilaksanakan oleh hakim. Sifat aktif dari
hakim dalam peradilan pidana merupakan
tuntutan zaman, sehingga dalam pelaksanaanya praperadilan ini diharapkan hakim
dapat bertindak secara adil dan benar serta memberikan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia, terutama bagi mereka yang tersangkut dalam peradilan
pidana. Sebagaimana disebutkan oleh Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP bahwa tujuan dibentuknya lembaga Praperadilan
ini adalah untuk tegaknya hukum dan
perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan
penuntutan. (Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar
Grafika, Jakarta,
hal 3).
B.
Wewenang Praperadilan
Sebagaimana disebutkan
dalam pasal 77 KUHAP, ada beberapa wewenang pengadilan negeri untuk memutus dan
memeriksa perkara-perkara yang menjadi kewenangan lembaga praperadilan,
diantaranya yaitu :
a.
Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya Paksa.
Kewenangan memeriksa dan
memutus tentang sah atau tidaknya upaya paksa adalah kewenangan pertama yang
diberikan oleh KUHAP. Yang masuk dalam upaya paksa dalam hal ini adalah penangkapan
dan penahanan.
Sebagaimana diketahui dalam
KUHAP telah ditentukan syarat dan batasan-batasan yang diberikan oleh
undang-undang dalam melakukan upaya paksa. Misalnya batas penangkapan yang
dapat dilakukan oleh penyidik adalah 1 kali dalam 24 jam, dan bila telah lewat
dari 1 kali 24 jam, maka tersangka wajid dilepaskan. Begitu pula dalam
penangkapan harus dilengkapi dengan surat
perintah tangkap. Bila ketentuan-ketentuan tersebut diatas tidak dipenuhi, maka
terhadap penyidik pihak tersangka dapat
mengajukan praperadilan. Begitu pula dengan masa penahanan, dimana
penahanan yang diberikan kepada penyidik hanya 20 hari dan dapat diperpanjang
oleh Penuntut Umum untuk 40 hari. Apabila jangka waktu penahanan telah lewat
dan tidak ada dasar lagi untuk memperpanjang, maka terhadap tersangka wajid
dilepaskan. Apabila tidak dilepaskan, maka tersangka dapat mengajukan
praperadilan. Demikian pula dengan penahanan yang dimiliki oleh Penuntut Umum
hanyalah 20 hari dan dapat diperpanjang oleh Pengadilan selama 30 hari,
menyalah ketentuan tersebut, maka Penuntut umum dapat diajukan praperadilan
oleh tersagka atau terdakwa.
b.
Memeriksa sah atau tidaknya Penghentikan Penyidikan dan
Penghentian Penuntutan.
Kasus lain yang termasuk
kedalam ruang lingkup kewenangan
Praperadilan adalah memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian
penyidikan yang dilakukan pejabat penyidik maupun tentang sah atau tidaknya
penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum.
Sebagaimana diatur dalam
pasal 7 ayat (1) huruf i KUHAP menyebutkan penyidik karena
kewajibannya memiliki kewenangan untuk melakukan penghentikan penyidikan.
Begitu pula dengan kewenangan yang dimiliki oleh Penuntut Umum sebagaimana
diatur dalam pasal 13 KUHAP untuk
menghentikan penuntutan . Penghentian
Penyidikan atau Penuntutan dapat terjadi karena kurang cukup bukti, atau apa
yang disangkakan terhadap tersangka atau terdakwa bukan merupakan kejahatan
atau pelanggaran tindak pidana, atau dapat juga karena alasan nebis in idem
atau perkara telah kadaluarsa untuk menuntut.
Yang menjadi persoalan
adalah apakah alasan penghentian penyidikan atau penuntutan tersebut sudah tepat
dan benar menurut ketentuan undang-undang? Atau penghentian penyidikan atau
penuntutan tersebut telah ditafsirkan secara tidak benar. Oleh karena itu untuk
menghindari penyalahgunaan wewenang (abuse
of authority) maka terhadap penghetikan penyidikan dapat dilakukan
praperadilan oleh pihak ketika atau penuntut umum demikian sebaliknya
penghentian penuntutan dapat dilakukan oleh pihak ketiga atau penyidik.
c.
Memeriksa tuntan ganti rugi dan atau rehabilitasi.
Sebagaimana diatur dalam
pasal 95 KUHAP, bahwa tersangka atau keluarganya atau penasihat hukumnya dapat
mengajukan praperadilan untuk meminta tuntutan ganti rugi berdasarkan alasan :
-
Karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah.
-
Atau oleh karena penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan
dengan ketentuan hukum dan undang-undang.
-
Karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnyamesti
ditangkap, ditahan atau diperiksa.
Terhadap alasan-alasan
tersebut diatas pihak tersangka, atau keluarganya atau penasihat hukum dapat
mengajukan tuntutan ganti rugi melalui lembaga praperadilan.
Disamping hak menuntut
ganti rugi, pihak tersangka, keluarga tersangk atau penasihat hukumnya dapat
juga mengajukan permintaan rehabilitasi.
Pengertian rehabilitasi menurut pasal 1 butir 23 adalah hak seseorang
yang mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan kedudukan dan harkat martabatnya
yang diberikan pada tingkat penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut atau
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena alasan kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan.
C.
Proses Pemeriksaan Praperadilan
Acara praperadilan untuk
ketiga hal yaitu pemeriksan sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan
(pasal 79 KUHAP), pemeriksaan sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau
penuntutan (pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang permintaan ganti kerugian dan
atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat
tidak sahnya penyidikan (pasal 81
KUHAP), ditentukan beberapa hal :
1.
Dalam waktu tiga hari setelah menerima pernohonan hakim
yang ditunjuk menetapkan hari siding.
2.
Dalam memeriksa permohonan praperadilan tersebut, hakim
mendengar keterangan baik terangka atau permohon maupun dari pejabat yang
berwenang;
3.
Pemeriksaan dilakukan secar cepat dan selambat-lambatnya
tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusan.
4.
Sidang dalam perkara praperadilan dilaksanakan oleh hakim
tunggal
5.
Apabila perkara pokok sudah mulai diperiksa oleh pengadilan
negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan praperadilan belum selesai,
maka permintaan tersebut gugur;
6.
Putusan hakim dalam aara pemeriksaan praperadilan dalam
ketiga hal tesebut dimuka harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya (vide
pasal 82 ayat (2) KUHAP).
7.
Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau
penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat
pemeriksan masihg-masig harus segera membebaskan tersangka;
8.
Dalam hal putusan menetapkan bahw seustu penghentian penyidikan
atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penunttutan terhadap tersangka wajib
dilanjutkan;
9.
Dalam hal tuntutan ganti rugi atas penangkapan atau
penahanan yang tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti
kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau
penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan
dicantumkan rehabilitasi;
10.
Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada
yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda
tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu
disita.
D.
Upaya Hukum Atas Putusan Praperadilan
Dalam hukum Acara pidana
yang berlaku di Indonesia
mengenal adanya upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa
berupa banding, kasasi, sedangkan upaya hukum luar biasa yaitu kasasi demi
kepentingan hukum dan pemeriksaan kembali keputusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam putusan praperadilan,
apakah dapat dimintakan upaya-upaya hukum baik upaya hukum biasa, maupun upaya
hukum luar biasa? Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dilihat ketentuan dalam
pasal 83 KUHAP, yang berbunyi :
- Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat dimintakan banding.
- Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yan guntuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan tinggi dlam daerah hukum yang bersangkutan.
Berpijak pada ketentuan
pasal 83 KUHAP tersebut, maka yang dapat dibolehkan untuk dimintakan banding
terhadap putusan praperadilan hanyalah pada putusan tentang sah atau tidaknya
penghentian penyidikan atau penuntutan, sehingga putusan terhadap sah tidaknya
penangkapan, penahanan, ganti rugi, rehabilitasi tidak dapat dimintakan
banding.
Terhadap permintaan banding
menurut ketentuan dalam Pedoman pelaksanaan KUHAP disebutkan bahwa setelah
diterima / dicatat dalam register kepaniteraaan kemudian dikirim ke Pengadilan
Tinggi dengan memperlakukan ketentuan-ketentuan pada aara permohonan banding,
baik mengenai tenggang waktu serta tata cara lainnya. (Pedoman Pelaksaan KUHAP, cetakan kedua tahun 1982).
Mengingat sebagaimana
dikemukakan diatas, bahwa putusan praperadilan pada pokoknya tidak dapat
dimintakan banding kecuali terhadap sah tidaknya penghentian penyidikan atau
penuntutan, lalu apakah terhadap putusan praperadilan dapat juga dimintakan
Kasasi? Mengenai hal ini sesuai dengan keputusan Menteri Khakiman RI No.M 14-PW
07 03 TAHUN 1983, dalam keputusan tesebut disebutkan bahwa untuk putusan
praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi, dengan alasan bahwa ada keharusan
penyelesaian seara cepat dari perkara-perkara praperadilan, sehingga jika masih
dimungkinkan kasasi, maka hal tersebut tidak akan dapt dipenuhi. Selain itu
wewenang pengadilan negeri yan gdilakukan dalam praperadilan dimaksudkan
sebagai wewenang horizontal dari pengadilan negeri.
III.
PERAN PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
A.
Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia.
Pada setiap negara selalu
mempunyai sisten peradilan pidana. Pada setiap negara didunia ini selalu
mempunyai sistem peradilan pidana yang berbeda, dan perbedaan ini memberi
pengaruh terhadap efektifitas pencegahan kejahatan atara satu sistem peradilan
pidana disuatu negara dengan sistem peradilan pidana dinegara lain. (Loeby loqman, SH MH, Praperadilan di
Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hal.15.)
Adanya perbedaan
efektivitas pencegahan kejahatan dalam suatu negara bisa jadi disebabkan adanya
campur tangan yan glebih dari pemerintahnya, dapat pula oleh system ototiter
dari pemerintahannya, bahkan ideologi suatu negara dapat mempengaruhi
efektivitas penegahan kejahatan, dan semua itu tergantung pula dari pada sistem
peradilan pidana dari negara-negara tersebut. (loc.cit)
Sejak berlakunya KUHAP, maka sistem
peradilan pidana yang dianut dalam negara kita adalah sistem peradilan pidana
terpadu (integreted creminal justice system.
Sistem terpadu tersebut diletakan diatas landasan “diferensiasi
fungsional” diantara aparat penegak hukum
sesuai dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-undang
kepada masing-masing. (Yahya Harahap, Pemabahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, Hal 90).
Sehingga aktivitas
pelaksanaan criminal justice system
merupakan fungsi gabungan (ollection of fungction) dari, Legislator,
Polisi, Jaksa, Pengadilan, dan Penjara.
Bila kita lihat ketentuan
dalam pasal 1 undang-undang nomor 14 tahun 1970 yang sekarang menjadi
undang-undang nomor 4 tahun 2004 menyebutkan “Kekuasaan kehakiman adalah
kekusaaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum
Republik Indondesia.” Isi ketentuan dalam pasal 1 UU Nomor 14 tahun 1970 bila
dikaitkan dengan pasal 24 UUD 1945 ada sedikit perbedaan. Pasal 24 UUD 1945
menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Selanjutnya dalam penjelasan
UUD 1945 ditegaskan, bahwa kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang meredeka,
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan.
Melihat kedua bunyi
ketentuan tersebut diatas yaitu pasal 24 UUD 1945 dan pasal 1 UU nomor 14 tahun
1970 terlihat ada perbedaan yaitu adanya pembatasan yang dilakukan pasal 1 UU
Nomor 14 tahun 1970 dalam pelaksanaan kekuasan kehakiman dibanding pasal 24 UUD
1945. Dalam UU nomor 14 tahun 1970 hanya membatasi tugas dan kewenangan kekuasaan
kehakiman sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. Hal ini sebenarnya kurang tepat,
sebab bila dikaitkan dengan system peradilan pidana terpadu, maka yang menjadi
tujuan dilaksanakannya system terpadu tersebut adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan penegakan hukum atau undang-undang. Prof. Barda Nawawi juga kurang sependapat
dengan pembatasan kekuasaan kehakiman hanya pada penyelengaraan peradilan.
Perumusan demikian memberi kesan yang sempit, bahwa “kekuasaan kehakiman”
identik dengan “kekuasaan peradilan” atau “kekuasaan mengadili”. Seharusnya
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan (untuk) menegakan hukum/undang-undang.
Dalam persepektif Sistem Peradilan Pidana, kekuasaan kehakiman itu
diwujudkan/diimplementasikan dalam 4 (empat) tahap, yaitu kekuasaan penyeidikan
(oleh badan/lembaga penyidik), kekuasaan penuntutan (oleh badan/lembaga
penuntut umum), kekuasaan mengadili (oleh badan/lembaga pengadilan) dan
kekuasaan pelaksanaan putusan/pidana (oleh badan/lembaga eksekusi). Kempat
tahap itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana (atau sistem Peradilan pidana) yang integral.
(Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan
Kejahatan, Kencana, Jakarta,
2007, hal.49)
B.
Praperadilan Sebagai Lembaga pengawasan
Dasar dibentuknya lembaga
Praperadilan dapat dilihat dalam
pendoman pelksanaan KUHAP yang mengatakan :
Mengingat bahwa demi kepentingan pemeriksan perkara
diperlukan adanya pengurangan-pengurangan
dari hak-hak asasi tersangka,
namun bagaimanapun hendaknya selalu berdasarkan ketentuan yang diatur daldam
undang-undang, maka untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak
asasi tersangka/terdakwa diadakan suatu lembaga yang dinamakan Praperadilan.
Berpijak dari isi pedoman
pelaksanaan KUHAP tersebut, jelas, terbentuknya Lembaga Praperadilan adalah
sebagai lembaga pengawasan terhadap kinerja lembaga penyidik dan Penuntut Umum
dalam pelaksanaan, penangkapan, penahananan, penghentikan penyidikan maupun
penghentian penuntutan.
Praperadilan merupakan
bagian dari Pengadilan Negeri, dan timbulnya lembaga praperadilan ini sebagai
mana Rechter Commissaris di negeri Belanda tidak lain dari perkembangan zaman
yang menghendaki hakim mempunyai peran aktif dalam peradilan pidana dan juga
untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi tersangka/terdakwa.
Maka untuk
memberikan perlindungan ini yaitu terhadap hak-hak asasi manusia dalam
peradilan pidana, diperlukan suatu pengawasan dan pengawasan ini dilaksanakan
oleh hakim.
Maksud pengawasan disini
adalah pengawasan bagaimana alat negara penegak hukum menjalankan tugasnya,
sampai sejauh mana sikap tindak mereka dalam menggunakan kewenangan yang
diberikan undang-undang dan bagi pihak yang menjadi korban akibat sikap tindak
yang tidak berdasarkan undang-undang yang berlaku itu, berhak untuk mendaatkan
ganti rugi atau rehabilitasi. (Ratna Nurul Afiah, Hal. 75.