PENYELESAIAN
KORUPSI DENGAN PRINSIP
RESTRORATIVE
JUSTICE
Korupsi telah menjadi
kejahatan yang paling dibenci dan menjadi musuh bersama bagi bangsa Indonesia
disamping kejahatan-kejahatan lain seperti Narkotika, dan teroris. Upaya
penanggulangan kejahatan-kejahatan tersebut, sampai saat ini masih
menghandalkan pada fungsionalisasi hukum pidana. Padahal hukum pidana itu
sendiri tidaklah dapat dihandalkan sebagai langkah utama untuk pencegahan
kejahatan termasuk Korupsi. Adagium bahwa hukum pidana
sebagai Ultimum Remedium,
sebagai bukti bahwa menjadikan hukum pidana sebagai prioritas dalam
penanggulanan kejahatan bukanlah cara yang tepat.
Lalu apakah yang
dilakukan dalam penanggulangan kejahatan tersebut? Mencari sebab adalah cara
tepat, karena dengan mengetahui causa
dari suatu kejahatan, dan kemudian causa
(penyebab) kejahatan tersebut dieliminir
maka dengan sendirinya kejahatan itu akan berkurang.
Jadi penanggulangan
kejahatan yang dilakukan selama ini hanyalah penanggulangan kejahatan secara symptomatic, yaitu hanya mengatasi
gejalanya saja. Penangkapan dan menghukum para pelaku tindak pidana korupsi sama
dengan penanggulangan sympotmatic
tersebut. Menghilangkan gejalanya tanpa menghapus penyebabnya, maka kejahatan
itu tidak akan pernah berkurang. Berkurang itu hanya sesaat, tapi setelah
itu akan mencul lagi, bahkan bisa jauh
lebih parah.
Korupsi itu seperti
kata Mochtar Lubis adalah kejahatan dengan banyak wajah, sehingga tidak dapat
disimpulkan hanya melihat pada satu aspek. Tidak bisa dikatakan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan
korupsi adalah faktor utama gagalnya pemberantasan korupsi. Padahal ada faktor-faktor
lain yang lebih dominan yang menyebabkan orang melakukan korupsi. Itu yang
harus diteliti dan dicari.
Kejaksaan sebagai salah
satu institusi penegak hukum juga diberi amanah untuk melakukan penanggulangan
kejahatan korupsi dalam bidang penegakan hukum. Kejaksaan disamping bertindak
selaku penyidik juga sekaligus penuntut Umum dengan segala kewenangannya.
Disinilah letak peran sentral kejaksaan dalam penanggulangan korupsi.
Belakangan ini mass media ramai memberitakan tentang
bocornya surat edaran Jaksa Agung Republik Indonesia nomor : B-113/F/Fd.1/05/2010 tanggal
18 Mei 2010. Surat Edaran tersebut
ternyata telah melahirkan berbagai pendapat, tapi pada intinya sebagian besar
menolak penyelesaian kasus korupsi dengan menerapkan asas restorative justice.
Surat Edaran Jaksa
Agung (Jaksa Agung Muda Pidana Khusus) Nomor : B-113/F/Fd.1/05/2010 tanggal
18 Mei 2010, salah satu poin dalam
isinya adalah menginstruksikan kepada
seluruh kejaksaan tinggi yang isinya imbauan agar dalam kasus dugaan tindak
pidana korupsi, masyarakat yang dengan kesadaran telah mengembalikan kerugian
negara yang nilainya kecil perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti
atas berlaku asas restorative
justice.
Surat Edaran ini bila
dicerna secara bijaksana sebenarnya ingin melihat bahwa penanggungalan korupsi
yang terkait dengan kerugian negara, sepanjang kerugiannya tidak terlalu besar dan
pelaku dengan kesadaran sendiri telah mengembalikan seluruh kerugian tersebut
bisa diselesaikan diluar pengadilan (prinsip asas restrorative justice).
Pertanyaan yang perlu
diajukan dalam surat edaran ini sesungguhnya tidak terletak pada pantas atau tidak pantasnya pelaku korupsi
diberi keringan, melainkan berapa
sebenarnya nilai kerugian yang dapat dikwalifikasi kecil. Sebeb tanpa ukuran
yang jelas akan menjadi kabur dan melahirkan ambiugitas dalam pemberantasan korupsi
yang pada akhirnya kegagalan dalam memberantas korupsi.
Disamping itu, apakah
kebijakan (diskresi) yang dilahirkan dari surat edaran tersebut dapat
dibenarkan, baik dari aspek filosofis, juridis maupun sosiologis? Secara
filosofis, tujuan dari hukum itu sendiri bukanlah penghukuman. Misalnya Jeremy
Bentham dalam teori utilitasnya menyebutkan tujuan dari hukum adalah
semata-mata mewujudkan apa yang
berfaedah (berguna) bagi orang atau masyarakat.
Berangkat dari tujuan
hukum tersebut, maka sebenarnya terjadinya pengembalian kerugian negara oleh
pelaku tindak pidana korupsi adalah jauh
lebih berfaedah daripada menghukum pelaku sementara kerugian negara tidak bisa
dikembalikan. Bagir Manan dalam suatu kesempatan dalam menanggapi surat edaran
Jaksa Agung tersebut berpendapat hal tersebut dapat dibenarkan, karena
menyangkut diskresi yang dilakukan oleh kejaksaan. Bahwa dengan dipulihkannya
keadaan, misalnya kerugian negara yang telah ditutupi, maka selayaknya perkara
tidak perlu lagi diajukan. Tujuan dari asas restrorative justice sebenarnya adalah memulihkan hubungan antara
pelaku dengan korban. Korban dalam hal ini adalah negara.
Secara
juridis, kejaksaan sebenarnya diberi kewenangan oleh undang-undang yang biasa disebut
dengan asas opurtinitas. Asas opurtinitas
adalah kewenangan untuk mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum
dengan cara tidak melakukan penuntutan,
KUHAP mengatur ini dalam Pasal 14. Jadi pengenyampingan perkara yang dilakukan
oleh Jaksa bukan alasan kepentingan hukum, tapi kepentingan umum. Bahwa
dikaitkan dengan surat edaran Jaksa Agung tersebut, bisa saja apa yang
dilakukan jaksa dengan tidak melakukan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi dengan kerugian negara yang kecil sebagai langkah menerapkan asas
opurtinitas tersebut.
Pertimbangan jaksa
menjalankan prinsip opurtinitas tidak semata-mata kepentingan umum, tapi juga
bisa karena alasan untung ruginya bila perkara tersebut diteruskan ke
pengadilan. Untung rugi ini bisa terkait dengan dana yang harus dikeluarkan
dibanding manfaat yang akan diperoleh. Kerugian negara yang kecil sementara
pengeluaran keuangan negara yang besar untuk melanjutkan perkara bisa dijadikan
pertimbangan.
Bahwa pengertian asas
opurtinitas tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukankan oleh seorang
ahli hukum Belanda bernama Dr. Bert Snel, yang mengatakan, “Apabila jaksa berpendapat bahwa suatu
penuntutan itu tidak ia kehendaki secara bersyarat ataupun tidak, maka ia akan
mengesampingkan perkara. Juga ia akan mengesampingkan suatu perkara apabila
ternyata terdapat kurang bukti, atau dalam hal ia berpendapat bahwa adalah
lebih tepat apabila perkara tersebut diselesaikan menurut hukum perdata. Sebagai dasar untuk melaksanakan asas
opurtinitas itu, undang-undang hanya mengatakan demi kepentingan umum. Dengan
panjang lebar memori penjelasan telah mengatakan, yang pada dasarnya ingin
mengatakan bahwa suatu penuntutaan dapat dikesampingkan, jika penuntutan itu
akan mendatangkan kerugian yang lebih besar daripada mendatangkan keuntungan,
baik bagi pribadi dari tersangka dan atau bagi masyarakat.”
Persoalan tentang surat edaran jaksa agung
tersebut, sebenarnya tidak ada permasalahan dalam upaya penegakan hukum untuk
pemberantasan korupsi, karena isi dari surat edaran tersebut ternyata tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum. Pemberantasan korupsi yang terkait
dengan kerugian negara tidak semata-mata untuk menghukum pelaku, tapi lebih
dari itu adalah bagaimana kerugian keuangan negara dapat dikembalikan. Tujuan
Hukum tidak semata menghukum siapa yang bersalah, tapi yang paling krusial
bagaimana hubungan yang telah rusak dikarenakan adanya pelanggaran dapat
dipulihkan kembali. Pemulihan itu hanya dapat dimanifestasikan dengan adanya
pengembalian kerugian keuangan negara.
Sebagaimana diungkapkan oleh Marthin Luther, Peace is more important than all justice; and
peace was not made for the sake of justice, but justice for the sake of peace (Perdamaian adalah jauh lebih penting dari
semua keadilan, dan Perdamaian tidak diciptakan demi keadilan, melainkan
keadilan untuk perdamaian), atau boleh dikatakan asas restrorative justice dalam
pemberantasan korupsi mengandung makna, Jauh lebih besar manfaatnya bagi bangsa dan negara apabila uang hasil korupsi
dapat ditarik kembali atau dikembalikan oleh pelaku ketimbang menghukum pelaku.