Jumat, 29 Maret 2013

Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi

MASALAH UANG PENGGANTI DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI


          Korupsi merupakan kejahatan yang dikelompokan sebagai kejahatan luar biasa (estra ordinary crime). Alasan Korupsi disebut sebagai kejahatan luar biasa adalah karena pelaku tindak pidana korupsi adalah orang-orang yang memiliki intelektual  dan berpendidikan tinggi sehingga berdampak pada rumit dan sulitnya pembuktian perkara.  Akibatnya tidak sedikit pelaku korupsi lolos dari jeratan hukum.
          Disamping itu akibat yang ditimbulkan korupsi terhadap perekonomian dan keuangan negara adalah sangat besar. Korupsi yang merajalela dinegara Indonesia berdampak pada rusaknya sistem perekonomian Indonesia dan banyak uang negara yang raib tidak diketahui rimbanya. Prof. Sumitro sekira tahun 1999 pernah mengungkapkan bahwa kebocoran anggaran pembangunan setiap tahun di Indonesia tidak kurang dari 30 persen. Hal ini terbukti dengan temuan badan pemeriksa keuangan (BPK) yang telah melaporkan pada semester I tahun 2004 mengenai adanya penyimpangan keuangan negara yang mencapai sebesar Rp.166,53 triliun. Angka ini menunjukan bahwa hampir 50 percen dari APBN 2003 melayang kekocek para koruptor ( Krisna harahap:1996:21)       
          Didalam Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (UUPTPK) menyangkut  pengembalian kerugian negara (asset recovery) tidak akan berhenti meskipun pelaku dijatuhi hukuman bebas. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 32 ayat (2) UUPTPK  disebutkan: Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.
            Bunyi pasal 32 ayat (2)   tersebut mengisyaratkan, bahwa persoalan pemberantasan korupsi tidak semata-mata terletak pada upaya menghukum  pelaku   tetapi lebih jauh dari itu adalah upaya untuk mengembalikan kerugian negara yang timbul dari terjadinya tindak pidana korupsi tersebut.
          Persoalan pengembalian kerugian negara (asset recovary) dalam praktek penanganan perkara koruspi telah menjadi persoalan serius, sebab berdasarkan beberapa fakta yang terjadi banyak perkara korupsi yang telah dijatuhi vonis, namun dalam hal pelaksanaan pidana uang pengganti sulit untuk terwujud.  Ternyata pelaksanaan pidana uang pengganti tidak semudah yang dibayangkan, bahkan berdasarkan temuan BPK, bahwa tidak kurang dari Rp.6,7 trilyun mengenai uang pengganti yang dikelola oleh Kejaksaan Agung selama tahun 2004 belum dapat tertagih.
             Kesulitan dalam pelaksanaan pidana uang pengganti selama ini dalam praktek adalah tidak jelasnya pengaturan dalam hukum materil tindak pidana korupsi itu sendiri. Misalnya kasus-kasus yang disidangkan dengan menggunakan ketentuan dalam undang-undang nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam hal pembayaran pidana uang pengganti akan mengalami kendala apabila terpidana tidak mau membayar uang pengganti tersebut sebab tidak ada aturan lebih lanjutnya yang mengatur bagaimana bila terpidana tidak membayar uang pengganti. Sebab pidana uang pengganti tidak memiliki pidana alternatif (subsidiair), seperti pidana denda yang dapat disubsidiair dengan pidana kurungan.
          Maka oleh karena itu dalam praktek terhadap kasus-kasus yang diproses dengan   menggunakan   undang-undang nomor 3 tahun 1971   untuk pembayaran pidana uang pengganti yang tidak dibayarkan oleh terpidana dilakukan dengan menggunakan sarana hukum perdata yaitu  jaksa (Jaksa Pengacara Negara) akan melakukan gugatan perdata terhadap terpidana. Penggunaan sarana gugatan perdata ini menimbulkan persoalan pula yaitu bagaimana bila terpidana sudah tidak memiliki harta lagi (misalnya selama proses siding terpidana telah mengalihkan hartamiliknya). Disamping itu upaya melalui  gugatan perdata    memakan waktu lama dan dirasakan kurang   efisien.
            Dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001tentang pemberantasan tindak pidana korupsi terhadap pidana uang pengganti ini sedikit mengalami perubahan. Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, hakim dalam putusannya dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa perintah kepada Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan penyitaan terhadap harta benda terpidana  untuk dilelang guna menutupi kerugian negara yang tidak dibayarkan oleh terpidana. Lalu ayat (3) pasal 18 tersebut menyebutkan pula bahwa bila terdakwa tidak memiliki harta, maka dalam putusan akan ditambah dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokok.
        Walaupun pasal 18 ayat (2) memberikan kemungkinan untuk segera menyita harta benda milik terpidana guna membayar pidana uang pengganti, masalahnya tidak semudah itu. Sebab  bila ternyata ketika jaksa akan melakukan penyitaan ternyata harta benda milik terpidana sudah tidak ada, misalnya saja selama proses sidang terdakwa telah mengalihkan atau menjual harta benda miliknya sehingga ketika jaksa akan melakukan penyitaan terhadap putusan yang telah incracht  tetap tidak akan berjalan.
             Kendala pelaksanaan pidana uang pengganti tentu akan menimbulkan konsekwensi terhadap tunjuan dari pemberantasan tindak pidana korupsi itu sendiri. Sebab pemberantasan tindak pidana korupsi tidak semata-mata terletak pada dipidananya pelaku, tetapi bagaimana kerugian negara dapat dikembalikan.
Konsep Sita jaminan
         Dalam hukum pidana Indonesia telah memperkenalkan adanya suatu kumulasi dari pidana-pidana pokok yang telah diancamkan bagi suatu tindak pidana tertentu, misalnya dalam UU nomor 3 tahun 1971, UU nomor 31 tahun 1999, UU  nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, begitu pula dengan UU nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi, UU Nomor 23 tahun 1997 tentang lingkungan hidup nomor 23 tahun 1997, UU Nomor 40 tahun 1999 tentang kehutanan .
        Penyimpangan dari pasal 10 KUHPidana juga telah diperkenalkan oleh undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pada waktu undang-undang nomor 3 tahun 1971 telah memperkenalkan pidana tambahan berupa pembayaran  uang pengganti. Pidana uang pengganti ini juga tetap dipertahankan oleh undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001.  Dalam pasal 18 disebutkan salah satu pidana tambahan selain yang disebutkan dalam pasal 10 KUHPidana adalah pidana pembayaran uang pengganti
        Bahkan dalam undang-undang 31 tahun 1999  tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pembayaran uang penggantipun telah diperluas yaitu hakim dapat menjatuhkan pidana berupa penyitaan harta-harta terpidana untuk pembayaran pidana uang pengganti.
          Kendatipun dalam putusan, hakim dapat menjatuhkan putusan penyitaan terhadap barang-barang milik terpidana, persoalannya adalah bagaimana bila selama proses sidang ternyata terdakwa telah mengalihkan harta bendanya, tentu putusan perintah untuk melakukan penyitaan terhadap harta milik terpidana akan menjadi sia-sia.
         Berdasarkan hal tersebutlah, maka konsep penyitaan perlu diperluas. Dalam pasal 39 pasal 1 KUHAP menyebutkan limitisasi penyiataan benda yaitu penyitaan hanya dapat dilakukan terhadap a)benda hasil dari kejahatan, b) benda yang digunakan untuk melakukan kejahatan, c)benda yang digunakan untuk menghalangi penyidikan, d)benda yang khusus dibuat untuk melakukan tindak pidana dan e)benda lain yang mempunyai hubungan lain dengan tindak pidana. Ketentuan pasal 39 KUHAP tersebut tidak membenarkan melakukan penyitaan terhadap benda yang tidak ada kaitannnya dengan kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan.
          Perluasan penyitaan yang penulis maksud adalah menerapkan konsep sita jaminan (conservatoir beslag) sebagaimana yang dikenal dalam Hukum Perdata. Dalam konsep hukum perdata, tujuan diletakannya sita jaminan terhadap harta milik tergugat adalah agar barang tersebut tidak dapat dialihkan tergugat kepada pihal ketiga, sehingga tetap utuh sampai putusan berkekuatan hukium tetap. Apabila tergugat tidak memenuhi pembayaran secara sukarela; pelunasan utang atau ganti rugi itu, diambil secara paksa dari barang sitaan melalui penjualan lelang. (Sudikno Mertokusomo: 1988:65)
          Konsep sita jaminan (conservatoir beslag) sebagaimana yang dikenal dalam hukum perdata tersebut, dapat   dikembangkan dalam hal sebagai jaminan untuk pelaksanaan pidana uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi. Wacana untuk penerapan konsep sita jaminan ini ternyata telah menjadi diskursus dikalangan para ahli.
          Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak hanya menjadikan penyitaan aset tersangka korupsi sebagai wacara, tetapi telah berniat untuk mewujudkannya dengan melakukan percepatan penyitaan asset, hal ini dilakukan untuk mempermudah perampasan aset saat putusan terhadap kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap. (forum Keadilan No:461 tanggal 18-24 Maret 2008).  
          Untuk menghindari ketidak pastian hukum, maka   dipandang perlu konsep   sita jaminan dalam penanganan perkara pidana (perkara korupsi) harus diatur secara tegas dalam peraturan. Oleh karena itu perlu dilakukan revisi terhadap undang-undang tindak pidana korupsi. Adapun tujuan diterapkannya konsep sita jaminan dalam penanganan perkara korupsi untuk menjamin terlaksananya pelaksanaan pidana pengganti. Karena persoalan pembayaran pidana pengganti telah menjadi persoalan krusial, dengan tidak terlaksananya   pidana uang pengganti menjadikan tujuan pemberantasan korupsi menjadi tidak tercapai.