Kamis, 04 Agustus 2011

Penegakan hukum


HILANGNYA WIBAWA HUKUM
Oleh : HENDRI EDISON, S.H.,M.H.

         Hukum dalam peradaban manusian menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Dalam kehidupan bermasyarakat, eksistensi hukum   diperlukan untuk mengatur hubungan-hubungan yang timbul dalam kelompok maupun antar kelompok dalam masyarakat.
         Perkembangan kehidupan masyarakat melahirkan hubungan-hubungan yang komplek ditambah lagi dengan kemajuan dibidang teknologi  hukum yang diciptakan harus memiliki kemampuan untuk  mengatur perhubungan tersebut. Tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya benturan-benturan yang berakibat pada rusaknya tatanan dalam masyarakat, Negara maupun dunia.        
          Masing-masing individu, masyarakat maupun bangsa memiliki  kepentingan dan oleh  hukum akan dipertahankan  perdamaian dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya, karena hukum hanya dapat mencapai tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai) jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan   mana terdapat keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi
        Keberadaan hukum tentu sangat dibutuhkan dan sangat penting. Persoalannya hukum itu bersifat mengatur dan secara psikologis, manusia enggan untuk diatur, karena manusia memiliki sifat untuk menuntut kebebasan dalam kehidupan. Tentu hal tersebut tidak dibenarkan, karena hak  seseorang akan berbenturan dengan kewajibannya.
         Penghormatan terhadap hukum wajib sifatnya dan  juga untuk  dipatuhi setiap masyarakat, hukum yang tidak dihormati lagi, sama artinya hukum telah kehilangan wibawa. Persoalannya rasa ketidak adilan seringkali melahirkan sikap tidak mau menghormati hukum. Lalu apakah yang dimaksud dengan keadilan itu sendiri.
      Bahwa sudah seyogyanya yang menjadi tujuan daripada hukum adalah mengwujudkan keadilan itu sendiri. Tapi perlu pula disadari, bahwa hukum tidaklah identik dengan keadilan, kendati demikian sejatinya (das solen) antara hukum dengan keadilan haruslah sejalan. Namun apabila hukum dengan keadilan tidak sejalan, hukum tetap harus ditegakan, mengapa demikian sebab sekalipun hukum itu tidak adil, ia harus ditaati, sebab bila tidak ditaati, maka hukum akan kehilagan wibawanya, demikian ungkapan Socrates saat menjelang dihukum mati.
       Ungkapan Socrates ini hendak menyampaikan pesan betapa pentingnya  sikap untuk menghormati hukum, bahkan jauh lebih penting dari pada masalah keadilan itu sendiri. Bila hukum sudah tidak dihormati, sama artinya keadaan tanpa hukum. Keadaan tanpa hukum itu berarti keadaan yang penuh dengan kekacauan dan kecemasan.
       Persoalan tentang sikap menghormati hukum, ternyata tidak sekedar dipertontonkan oleh masyarakat, tapi juga oleh pejabat dinegeri ini. Ini membuktikan betapa hukum dinegeri ini telah bobrok alias kehilangan wibawa. Kasus yang menimpa jemaat gereja Kristen Indonesia (GKI) di komplek perumahan  Yasmin Bogor adalah bukti bahwa hukum telah kehilangan wibawa.
       Jemaat GKI yang sedang membangun gereja di komplek perumahan Yasmin harus dihentikan oleh keputusan walikota Bogor, padahal GKI telah mengantongi izin mendirikan gereja. Pihak GKI mencoba melakukan mediasi dengan pihak walikota, akan tetapi tetap mendapat benturan, yaitu izin tetap dibekukan dan pihak GKI tidak boleh melanjutnya pembangunan Gereja GKI tersebut.
       Merasa terbentur, akhirnya jemaat GKI melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan, dan sampai pada tingkat kasasi di MA. Oleh MA dalam Putusannya telah memenangkan jemat GKI. Kendati putusan MA telah keluar, persoalan  ternyata tidak selesai disitu, Walikota Bogor tetap saja menolak untuk mencabut pembekuan izin tersebut, dan bahkan terkesan tidak menghormati putusan MA.
       Inilah barangkali yang disebut dengan tidak menghormati hukum yang dipertontonkan oleh sang Walikota, dan ironisnya ketidak patuhan terhadap hukum itu dilakukan oleh orang yang nota bene pejabat dinegeri ini yang seyogyanya wajib menghormati hukum sebagai contoh bagi warganya.
       Konsekwensi yang muncul dari sikap Walikota Bogor ini adalah akan melahirkan kondisi hukum yang kehilangan wibawa. Ungkapan yang disampaikan Socrates sebagaimana yang ditulis diatas, patut untuk direnungkan, apalagi secara konstitusional disebutkan bahwa Negara adalah  berdasarkan hukum.
       Kemajuan peradaban suatu bangsa sangat ditentukan dari ketaatannya pada hukum, sikap Walikota Bogor seperti yang terjadi pada jemaat GKI Yasmin menunjukan betapa peradaban bangsa ini masih jauh tertinggal dan menunjukan rendahnya integritas pemimpin.
   

Filsafat Hukum


KEADILAN DALAM PERSPEKTIF POSITIVISME HUKUM

PENDAHULUAN
         Sebagaimana diketahui, bahwa relasi antara hokum dengan keadilan seumpama dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan bicara tentang hokum tanpa bicara tentang keadilan, sama artinya bukan bicara tentang hokum. Sebab tujuan dari hokum adalah keadilan, sebagaimana disebutkan oleh Van Apeldoorn bahwa kepentingan dari perseorangan dan kepentingan golongan-golongan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian, bahkan peperangan antara semua orang melawan semua orang. Sehingga dalam hal demikian hokum harus bertindak sebagai perantara untuk mempertahankan perdamaian. Dan hokum mempertahankan perdamaian dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya, karena hokum hanya dapat mencapai tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai) jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan pada mana terdapat keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi.   (Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, 1985, hal.23).
          Bahwa sudah seyogyanya yang menjadi tujuan daripada hokum adalah mengwujudkan keadilan itu sendiri. Tapi perlu pula disadari, bahwa hokum tidaklah identik dengan keadilan, kendati demikian sejatinya (das solen) antara hokum dengan keadilan haruslah sejalan. Namun apabila hokum dengan keadilan tidak sejalan, hokum tetap harus ditegakan, mengapa demikian sebab sekalipun hokum itu tidak adil, ia harus ditaati, sebab bila tidak ditaati, maka hokum akan kehilagan wibawanya, demikian ungkapan Socrates saat menjelang dihukum mati. (Herman Bakir, SH., MH Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur Kesejarahan, Refika Aditama, 2007, hal.174).
         Maka dalam kerangka untuk mewujudkan keadilan itu   dalam ilmu hokum  telah lahir beberapa aliran hokum dimana aliran-aliran tersebut telah mengutarakan beberapa pokok pikirannya yang menjadi landasan bagi aliran /mazhab untuk meingimplementasikan hakekat dari keadilan tersebut.
          Sebagaimana diketahui hal paling menonjol dalam pembicaraan hokum adalah masalah keadilan, karena jelas hokum atau aturan perundangan harusnya adil, tapi nyatanya sering kali tidak. Menurut Cicero tidaklah mungkin memungkiri karakter hokum sebagai hokum yang tidak adil, namun mustahil  pula  untuk mengindetikan hokum dengan keadilan. (C.J.Friedrich, Falsafat Hukum Perspektif Historis, 2004, hal 239).
         Sejarah perkembangan hokum didunia ini ada beberapa aliran/mazhab yang merupakan  gambaran dari berbagai pandangan tentang keadilan. Dimana setiap aliran memiliki pandangan sendiri bagaimana menemukan keadilan. Misal aliran positivisme memahami keadilan berbeda dengan aliran histories, maupun aliran-aliran lain.  
 
SEKILAS TENTANG ALIRAN POSITIVISME HUKUM
A.  Sejarah Positivisme Hukum dan Perkembangannya              
         Sebagaimana diketahui dalam sejarah perkembangan filsafat hokum, telah melahirkan beberapa aliran filsafat hokum. Menurut F.S.G Northrop ada beberapa aliran / mazhab dalam filsafat hokum yaitu :
  1. Legal positivism;
  2. Pragmatic legal Realism;
  3. Neo Kantian and Kelsenian Ethical Jurisprudence;
  4. Functional Antropological or Sociological Jurisprudence;
  5. Naturalistic Jurisprudence  (Prof.Dr. H.Lili Rasjidi, SH, S.Sos, LL.M, Dasar-dasar Filsafat Hukum dan Teori Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal.45.)
         Disamping pembagian aliran tersebut diatas Lili Rasjidi juga telah membuat bentuk pembagian aliran / mazhab kedalam dua kelompok yaitu :
A.   Aliran Hukum Alam, terdiri dari :
1.     Yang Irasional
2.    Yang rasional
B.    Aliran Hukum Positif, terdiri dari :
1.     Analitis
2.    Murni
3.    Aliran Utilitarianisme
4.    Mazhab Sejarah
5.    Sociologial Jurisprudence
6.    Pramatic Legal realism (Op.cit hal. 46)
          Melihat bentuk pembagian yang dibuat oleh Lili Rasjidi tersebut diatas, terlihat bahwa dalam aliran hokum positif sebenarnya mengalami banyak perkembangan, sehingga dalam aliran hokum positif tersebut lahir  beberapa aliran lagi seperti Analitis,Murni ,Aliran Utilitarianisme,Mazhab Sejarah,Sociologial Jurisprudence,Pramatic Legal realism.
          Pembahasan di arahkan pada aliran positif, lahirnya aliran positivisme hukum merupakan perkembangan dari pemikiran manusia mengenai hukum. Dalam sejarah perkembangannya,  filsafat hokum memiliki fungsi untuk menjawab tantangan-tantangan yang muncul pada umat manusia, yaitu untuk menemukan bentuk hokum mana yang paling tepat untuk dilaksanakan. Demikianlah, ketika timbul masalah, sementara aliran-aliran yang ada tidak mampu mengatasinya, maka muncullah aliran baru lainya. Misalnya aliran positivisme hokum hadir adalah untuk menawarkan jawaban tatkala aliran hokum alam tidak mampu lagi menjawab permasalahan riil hokum. Begitu seterusnya ketika aliran positivisme hokum tidak mampu lagi menjawab permasalahan, maka lahir aliran mazhab sejarah, begitu seterusnya hingga sampai pada kemunculan aliran dalam perspektif terkini. Konsekewensi seperti tersebut diatas telah melahirkan berbagai macam gambaran mengenai hokum. Tidak dapat bagi kita untuk menyatakan sesuatu aliran salah atau tidak benar, melainkan kesimpulan yang dapat kita tarik adalah bahwa tiap aliran atau mazhab adalah berbeda.
          Tulisan ini akan mengkaji pada positivisme hukum. Bahwa lahirnya aliran positivisme hukum tidak terlepas dari ketidak puasan pada aliran hukum alam (hukum kodrat). Bahwa lahirnya hukum   Alam atau sering disebut dengan hukum kodrat merupakan sejarah umat manusia dalam usahanya untuk menemukan keadilan yang mutlak (absolute justice).  Dalam pemikiran hukum alam, keadilan merupakan tujuan utama dari hukum tersebut.  Karena itu keterkaitan antara hukum dan moral tidak dapat dipisahkan. (Dr.Jhonny Ibrahim, SH.,M.Hum, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, hal.87)
          Berbeda dengan aliran positivisme hukum yang lebih menonjolkan kepada kepastian hukum, sehingga dalam aliran positivisme hukum yang memisahkan keterkaitan antara hukum dan moral. Dalam sejarah lahirnya positiivisme hukum tidak terlepas dari lahirnya filsafat positivisme yang  diwacanakan oleh seorang filsuf Perancis bernama Auguste Comte. Filsafat Positivisme lahir melalui karya Comte melalui bukunya yang berjudul Cours de Philosophie Positive. (Jhonny Ibrahim, Ibid, hal.75.)
          Comte telah membagi gelombang pemikiran manusia kedalam tiga tahanapan yaitu :
 1.     Periode Teologikal atau mistis.
Dalam tahapan ini pengetahuan mansuai diarahkan untuk mencari unsure tertingi, yang diasumsikan sebagai sebab atau permulaan dari segala sesuatu, serta yang menjadi tujuan paling utama dari misi umat manusia turun ke dunia.
2.    Periode mengabstraksi (metafisikal)
Dalam tahapan ini orang cendrung larut dalam pelbagai pertanyaan berupa : apakah Tuhan itu ada,apa alam semesta itu berkarakter tidak berbatas, apakah manusia itu terlahir bebas dan lain sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pengetahuan puncak menurut Comte atau para filsuf menyebutnya sebagai metafisika.
3.    Periode Positif
Dalam tahapan ini dapat disebutkan sebagai tahapan atau periode ilmiah artinya disini manusia berkonsentrasi untuk mencapai pengetahuannya dengan semata-mata berpeganan pda berbagai konspirasi factual.
          Bahwa pengaruh filsafat positivisme yang dikembangkan oleh Auguste Comte telah mempengarhuhi pandangan filsafat para ahli hukum. Adalah Jhon Austin menccoba mengajukan pemikiran filsafatnya yang dikenal dengan legal positivism atau positivisme hukum. Jhon Austin dianggap sebagai pendiri aliran positivisme hukum, dikarenakan dialah yang telah merumuskan secara sistematikal dan konseptual tentang positivisme hukum. (Herman Bakir, Op.cit hal 263).

B.  Pandangan Positivisme Hukum Atas Moral
          Aliran positivisme Hukum pemisahan antara hukum positif dan keaidah moral serta kebijaksanaan masyarakat sangat nyata. Bahwa yang dimaksud dengan hukum dalam pandangan positivisme hukum adalah apa yang disebut dengan perintah penguasa atau perintah yang bersumber dari otoritas yang berdaulat didalam masyarakat. Suatu ungkapan dari keinginan yang diarahkan oleh ototitas yang berdaulat, yang mengharuskan orang atau orang-orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal. Perintah itu bersandar karena adanya ancaman keburukan, yang akan dipaksakan berlakunya jika perintah itu tidak ditaati. Keburukannya yang mengancam bagi mereka yang tidak taat adalah terwujud sanksi yang berada dibelakang setiap perintah itu. Jadi dalam pandangan positivisme hukum ada tiga hal pokok yang sangat esensial yaitu suatu perintah, suatu kewajiban untuk menaati dan suatu sanksi. (Ahmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Penyebab dan Solusinya, Ghalia Indonesia,Jakarta, 2005, hal.22).
          Acuan positivisme hukum  untuk menentukan suatu hukum adalah apa yang menjadi kehendak dari yang berdaulat, sehingga akan terlihat bila yang berdaulat atau otoritas pemegang kekuasaan yang tertinggi adalah penguasa yang lalim, maka hukum yang dilahirkan adalah jauh dari aspek moralitas, sebaliknya bila penguasa yang berdaulat adalah orang yang arif dan bijaksana, maka hukum yang dikeluarkan adalah hukum yang sarat dengan nilai moralitas atau hikmat.
          Paham positivisme hukum untuk menentukan ukuran  segala sesuatu adalah hukum yang tertulis diluar hukum yang tidak tertulis, maka itu bukan hukum. Dalam pandangan positivisme hukum tidak ada kaedah  kebiasaan, kaedah moral, kaedah agama maupun kaedah kesopanan.
          Menurut Julis Moor yang memiliki pandangan tidak jauh berbeda dengan John Austin  mengemukakan bahwa positivisme hukum dalam model analitik atau normatif  merupakan hal yang semata-mata diproduksi oleh suatu otoritas publik  penguasa dimasyarakat, dan oleh karenanya menuntut dua hal yaitu :
  1. Hukum semata-mata merupakan kaidah-kaidah atau kategori-kategori imperatif (keharusan-keharusan berprilaku) yang dibawah otoritas bulik diterbitkan) dan apapun yang telah diteribtkan sebagai hukum.
  2. Dalam aliran positivisme hukum dituntut adanya suatu pemisahaan yang tajam antara hukum positif dengan kaedah-kaidah moral dan kebijakan kemasyarakatan, sehingga dalam pandangan positivisme hukum keadilan identik dengan kepatuhan terhadap aturan-aturan. (herman Bakir, hal.276)                
          Oleh karena itu penyimpangan hukum dapat terjadi dikarenakan semua hukum dan produk-produknya dibuat oleh para ahli hukum dengan tidak banyak mempertimbangkan aspek moral, dan keberlakuannya sangat ditentukan oleh yang berkuasa.(RB.Sumanto, Hukum dan Sosiolgi Hukum, Pemikiran, Teori dan Masalah, diterbitkan oleh LPP dan UPT bekerja sama dengan Percetakan UNS, Surakarta, 2007, hal.70)
          Hubungan antara hukum positif dengan moral ada 3 (tiga) kemungkinan yang dapat terjadi yaitu : Pertama, hukum dan moral harus berkaitan artinya apa yang ditetapkan oleh hukum positif dalam aturannya harus merupakan perwujudan moralitas atas asas-asas moral. Dengan demikian hukum positif yang tidak mengandung aspek moralitas, maka hukum positif tersebut dianggap tidak memiliki kekuatan mengikat. Jadi ketaatan orang terhadap hukum identik dengan perbuatan moral. Kedua, hubungan hukum moral dengan hukum positif tidak berhubungan, dimana hukum positif mengatur semua perbuatan lahir, menyelenggarakan kedamaian dan keteranganan hidup manusia di masyarakat, sedangkan hukum moral mengatur perbuatan batin, dan menyempurnakan kehidupan manusia. Ketiga,  hukum positif dan moralitas memiliki otonomi dan ruang lingkup yang ekslusif. Dalam hukum positif kekuatan hukumnya terletak pada pengundangnya yang formal. Sedangkan hukum moral hanyalah sekedar asas-asas seperti asas manfaat, tradisi dan kebiasaan masyarakat. (R.B.Sumanto, op.cit hal. 84)

KEADILAN DALAM POSITIVISME HUKUM
A.   Keadilan Dalam Positivisme Hukum.
          Pandangan positivisme hukum yang diutamakan adalah adanya kepastian hukum, artinya seseorang hanya dapat dikatakan bersalah bila ia telah dinyatakan bersalah oleh prosedural pengadilan atau telah diputus oleh Hakim. Sehingga dalam positivisme hukum orang yang dinyatakan tidak bersalah atau dinyatakan bersalah harus berdasarkan hukum sehingga dengan demikian terwujud apa yang disebut dengan kepastian hukum.
          Perspektif positivisme hukum sulit untuk diperoleh keadilan yang sesungguhnya, karena dalam paham positivisme hukum ini yang diutamakan adalah kepastian hukum bukan keadilan hukum. Dalam positivisme hukum sarat dengan ide pendokumenan dan pemformulan hukum alam wujudnya sebagai the statutoriness of law atau istilah lainnya birokasi hukum. Dalam ilmu yang legalistik positivistik, hukum merupakan pranata pengaturan yang mekanistik dan deterministik. Sehingga dalam positivisme hukum dilakukan  penyerdehanaan aturan  sehingga dalam pandangan positivisme hukum itu menyebut istilah bahwa hukum adalah suatu keteraturan.
         Sebagaimana yang dipahami kelahiran positivisme hukum berbarengan dengan kelahiran negara modern, sehingga dalam negara modern produk hukum dalam konteks positivisme hukum dibentuk atau dibuat oleh badan legislatif. Dalam hal ini nuansa politik sulit dihindari. Oleh karena itu acapkan kali terlihat produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh legislatif dalam konteks negara modern cendrung dipengaruhi oleh faktor-faktor politik. Sehingga hukum dapat digunakan oleh penguasa untuk melakukan rekayasa sebagaimana yang dikehendaki oleh Penguasa. Tidak menutup kemungkinan penguasa akan menggunakan hukum untuk melanggengkan kekuasaannya.
         Oleh karena positivieme hukum yang lahir dalam atmosfir liberalisme dimana dalam konteks liberalisme pendewaan kepada individualisme sangat mencolok. Dan oleh karena itu positiviseme hukum dirancang tidak untuk memberikan keadilan bagi masyarakat atau orang banyak, melainkan untuk memberikan perlindungan kepada individu. Sehingga dalam positivisme hukum demi kepastian maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan.
B.  Hukum yang berkeadilan
         Theo Huijbers dalam bukunya Filsafat Hukum mengungkapkan bahwa hukum itu sangat erat dengan keadilan. Sehingga sebagian besar orang berkata bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan supaya sungguh-sungguh berarti sebagai hukum. (Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, 1995, hal 64.)
         Bahwa hukum memang merupakan suatu bagian dari upaya manusia dalam kerangka mewujudkan suatu ko-eksistensi etis di dunia ini. Sehingga melalui penyusunan hukum yang adil maka orang-orang dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan.
         Persoalan yang timbul adalah apakah keadilan itu sendiri merupakan istilah  hukum atau tidak? Sulit untuk menjawabnya. Apa lagi bila dikaitkan dengan pandangan positivisme hukum, sebab dalam positivisme hukum keadilan adalah dalam konteks bila hukum yang dikeluarkan oleh penguasa atau otoritas yang berdaulat ditaati, tidak dipersoalan disini entah aturan itu adil atau tidak adil. Sehingga hukum merupakan kewajiban dan kewajiban pada hukum hanya bersifat ekstern. Dalam konteks hukum merupakan kewajiban apabila hukum yang dibuat (aturan-aturan yang diproduk) benar-benar memiliki nilai keadilan dan sesuai dengan suasana bathin. Namun hukum tidak lagi bersifat kewajiban dalam hal nilai-nilai hukum yang diproduk tidak mencerminkan rasa keadilan. Dalam konteks ini hukum telah beralih fungsi menjadi memaksa.
         Sebab itu orang-orang senantiasa tidak puas dengan norma-norma yang telah ada, orang senantiasa menantikan norma-norma yang adil. Dalam konteks ini penganut positivisme hukum sendiri menuntut supaya hukum yang dibentuk bersifat adil.(Theo Huijbers, Ibid Hal. 48.)
         Karena itu dalam  istilah hukum ada dua perbedaan yang merupakan pemisahan untuk menandakan istilah hukum yaitu :
1.     Hukum dalam arti keadilan (keadilan = iustitia) atau ius/recht. Disini diitilahkan hukum menandakan peraturan yang adil tentang kehidupan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan.
2.    hukum dalam arti undang-undang atau lex/wet. Kaidah-kaidah yang mewajibkan itu dipadang sebagai sarana untuk mewujudkan aturan yang adil tersebut.
         Perbedaan kedua istilah “hukum” ini memang sangat nyata. Bahwa istilah “hukum” mengandung suatu tuntan keadilan sedangkan istilah undang-undang merupakan norma-norma yang secara nyata digunakan untuk memenuhi tuntutan keadilan tersebut, baik tertulis maupun tidak tertulis.
         Karena itu dalam positivisme hukum untuk menjadikan hukum itu berkeadilan, maka hendaklah norma-norma hukum (kaedah-kaedah hukum) yang dikeluarkan benar-benar bersumber dari kaedah moral, agama, maupun kebiasaan. Sehingga bagi masyarakat yang mentaatinya akan merasakan suasana bathin yang tentram dan dengan demikian hukum tersebut menjadi hukum yang berkeadilan. Harus dihindari suatu produk norma hukum yang dibuat oleh otoritas penguasa didasari pada kepentingan pemegang otoritas kekuasaan. Apalagi hukum dijadikan alat untuk menjaga dan mempertahankan kepentingan penguasa.
P E N U T U P
         Setelah penulis menguraikan mengenai keadilan dalam perspektif positivisme hukum, maka untuk mengakhiri tulisan ini penulis akan membuat kesimpulan dari uraian penulis sebelumnya yaitu :
1.     Dalam aliran positivisme hukum hubungan hukum dan moral ada 3 (tiga) kemungkinan yang dapat terjadi yaitu : Pertama, hukum dan moral harus berkaitan artinya apa yang ditetapkan oleh hukum positif dalam aturannya harus merupakan perwujudan moralitas atas asas-asas moral. Dengan demikian hukum positif yang tidak mengandung aspek moralitas, maka hukum positif tersebut dianggap tidak memiliki kekuatan mengikat. Jadi ketaatan orang terhadap hukum identik dengan perbuatan moral. Kedua, hubungan hukum moral dengan hukum positif tidak berhubungan, dimana hukum positif mengatur semua perbuatan lahir, menyelenggarakan kedamaian dan keteranganan hidup manusia di masyarakat, sedangkan hukum moral mengatur perbuatan batin, dan menyempurnakan kehidupan manusia. Ketiga,  hukum positif dan moralitas memiliki otonomi dan ruang lingkup yang ekslusif. Dalam hukum positif kekuatan hukumnya terletak pada pengundangnya yang formal. Sedangkan hukum moral hanyalah sekedar asas-asas seperti asas manfaat, tradisi dan kebiasaan masyarakat.
Sebenarnya para penganut aliran hukum  positif yang keras, maka moral tidak ada hubungannya dengan hukum positif. Sebab menurut aliran positivisme hukum yang dikatakan hukum adalah apa yang menjadi perintah penguasa, sehingga dalam konteks ini hubungan hukum positif dan moral dapat terlihat dari pespektif penguasa atau otoritas pemegang kekuasaan yang melahirkan undang-undang. Sehingga otoritas penguasa yang bijaksana tentu akan melahirkan produk hukum yang berlandaskan asas-asas moralitas.
2.    Dalam hukum sebagaimana yang dipahami ada 3 (tiga) nilai yaitu nilai kepastian , nilai keadilan   dan nilai kegunaan. Ketiga nilai ini tidak mungkin dapat dipenuhi pada  saat yang bersamaan, sehingga acapkan kali kita melihat ada hukum yang hanya mengutakaman nilai keadilan saja, ada pula  yang mengutamakan nilai kepastian atau nilai kepastian.
Dalam aliran positivisme hukum, maka sulit bagi kita untuk melihat keadilan secara sesungguhnya, sebab didalam positivisme hukum faktor legalistik sangat menentukan. Karena itu sulit kita akan mendapatkan keadilan sosial (social justice), tapi lebih cendrung pada keadilan Hukum /undang-undang (law justice).
Sehingga dalam aliran positivisme hukum ini penekanan cendrung pada nilai kepastian hukum. Apakah suatu hukum yang diberlakukan itu adil atau tidak itu tidak menjadi bahasan aliran positivisme hukum, sebab menurut positivisme hukum yang dikatakan hukum adalah apa yang dibuat penguasa dalam bentuk legal formal  (undang-undang) diluar undang-undang itu bukan hukum.