Kamis, 28 April 2011

Hukum dan ketertiban

KETERTIBAN  TANPA HUKUM
  
                    Hubungan hukum dengan masyarakat diungkapkan dalam bahasa latin yang sederhana yaitu ubi societas ibi ius yang artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Kandungan kata ini juga berarti bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa tatanan. Dimanapun dan kapanpun manusia senantiasa hidup dengan tatanan sebab kalu tidak maka kehidupan manusia tersebut akan chaos (kacau). Lalu kalau ada orang yang mengatakan bahwa manusia bisa hidup tertib tanpa hukum, apakah hal demikian dimungkinkan.
                    Hukum memang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan keamanan  dalam masyarakat. Ini dikarena bahwa hukum itu sendiri diciptakan memang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Sejak dahulu kala para ahli hukum atau filsafat hukum telah memperhatikan hal ini, sehingga kondisi tersebut telah melahirkan beberapa aliran dalam cabang filsafat hukum seperti hukum alam dan positivisme hukum. Filsafat hukum merupakan suatu bentuk dari upaya manusia dalam menjawab tantangan-tantangan yang muncul pada umat manusia seputar mencari format hukum mana yang paling tepat untuk dilaksanakan.
                    Lahirnya hukum   Alam atau hukum kodrat merupakan sejarah umat manusia dalam usahanya untuk menemukan keadilan yang mutlak (absolute justice).  Dalam pemikiran hukum alam, keadilan merupakan tujuan utama dari hukum tersebut.  Karena itu keterkaitan antara hukum dan moral tidak dapat dipisahkan. Berbeda dengan aliran positivisme hukum yang lebih menonjolkan kepada kepastian hukum, sehingga dalam aliran positivisme hukum relasi  antara hukum dan moral adalah terpisah.
                    Dalam pandangan ilmu hukum lahirnya aliran positivisme hukum merupakan cikal bakal lahirnya hukum modern. Dalam konteks hukum modern kepastian hukum sangat ditonjolkan. Sehingga disini kepentingan individual lebih diutamakan daripada kepentingan orang banyak.
                    Dalam tulisan ini hukum yang penulis maksud adalah hukum modern. Yaitu hukum yang mulai dikenal sejak abad ke-18/19, dimana sebelumnya apa yang disebut dengan hukum modern itu belum dikenal. Sehingga akan kita lihat apakah   hukum modern dapat mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum itu sendiri yaitu ketertiban. Dalam pelajaran hukum yang mulai dipelajari oleh mahasiswa hukum, maka relasi antara hukum dan ketertiban sangat erat, dan dapat dikatakan tujuan dari hukum itu sendiri adalah ketertiban. Sebagaimana dikatakan oleh Van Vollenhoven, bahwa tujuan dari hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai (tertib hukum). Sehingga perdamian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi setiap kepentingan-kepentigan manusia yang tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta dan sebagainaya terhadap yang merugikannya.
                    Untuk mengatur ketertiban tersebut maka dalam   tataran hukum modern kepastian hukum lebih memungkinkan untuk diterapkan, karena takaran keadilan sulit untuk diukur secara formal. Oleh karena itu dikalangan ahli hukum modern, memandang hukum adalah aturan yang dibuat secara tertulis dan formal. Dalam pandangan legalistik formalistik, keadilan adalah bila aturan yang diciptakan oleh penguasa dilaksanakan, dan pelanggaran terhadap aturan tersebut merupakan kejahatan dan pelaku harus dihukum. Dalam konteks ini hukum modern tidak melihat apa dasar seseorang telah melakukan pelanggaran terhadap hukum tertulis tersebut.
                    Prof.Sajipto Rahardjo mengatakan, tidak mudah untuk mengatakan bahwa hukum (hukum modern) mampu mengatur ketertiban, alih-alih mengatur ketertiban malah sering kali hukum menimbulkan ketidak tertiban atau kekacauan (chaos). Pertama harus disadari terlebih dahulu bahwa hukum modern lahir seiring dengan perkembangan paham liberal (liberalisme) di Amerika dan Eropa. Dimana dalam liberalisme kepentingan idividual sangat diagungkan, sehingga untuk melindungi kepentingan indivudual diganakan sarana hukum. Lalu hukum berkembang dari format hukum yang tidak dikenal sebelumnya dibuat dalam bentuk yang lebih legal, yaitu dengan mewujudkan adanya kepastian hukum bagi perlindungan kepentingan individual diperlukan hukum tertulis (legalisme).
                  Oleh karena itu dalam hukum modern lahirlah beberapa asas yang memperlihatkan menonjolnya kepentingan individu. Seperti pengakuan hak milik sebagai hak yang mutlak, asas seorang tidak boleh dihukum bila aturan terlebih dahulu tidak ada melarangnya dan lain sebagainya.
                    Indonesia walau tidak jelas sebagai penganut aliran positivisme hukum, akan tetapi meanstream yang dianut adalah positivisme hukum. Sehingga lahirlah produk-produk hukum yang dibuat penguasa tanpa didasari dengan pengkajian mendalam mengenai aturan yang hendak diterapkan. Lahirnya UUPA Nomor 5 tahun 1960 telah mengakibatkan benturan antara hukum adat dengan hukum pertanahan nasional. Sehingga rakyat yang telah lama menguasai dan mengusahai tanah tersebut didasarkan pada hak ulayat harus kehilangan hak atas tanah tersebut, bahkan harus tergusur dari tanah diamana selama ini telah menjadi sumber penghidupan dan tempat tinggalnya, karena tanah yang mereka kuasai dan usahai selama ini telah menjadi milik lain hanya dengan dasar orang tersebut telah memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh pemerintah (BPN). Menurut UUPA sertifikat merupakan bukti terkuat dalam hal kepemilikan hak atas tanah.  Lalu apakah dengan demikian dapat kita katakan hukum tersebut telah menimbulkan ketertiban atau kedamaian dalam masyarakat.  Kita dapat mencatat sejak bergulirnya reformasi di Indonesia, gelombang unjuk rasa masyarakat yang hendak memperoleh hak atas tanahnya yang telah dirampas pada masa orde baru terus berlangsung tanpa henti. Kasus Maruya, kasus tanah PTP di Deli serdang, kasus Polonia dan lain sebagainya bukti  bahwa hukum telah melahirkan ketidak tertiban.
                    Lahirnya Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga UU nomor 23 tahun 2004, memang memiliki tujuan yang baik (filosofisnya), tapi penulis melihat bahwa masyarakat belum bisa memahami undang-undang tersebut dengan baik. UUKDRT menjadi contoh bagi pemerintah untuk menertibkan masyarakat dengan menggunakan sarana penal. Tapi fakta karena ketidak pahaman masyarakat justru ada rumah tangga yang berantakan karena UUKDRT tersebut. Seorang suami yang menampar istrinya, lalu istri melapor kepihak Kepolisian dan akhirnya suami ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara karena telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Ternyata persoalan tidak selesai disitu, suami yang merupakan tulang punggung kehidupan keluarga menjadi kehilangan pekerjaan dan istri serta anaknya tersebut yang bergantung kepada suami menjadi terlantar. Lalu dapatkah kita mengatakan bahwa hukum telah memberikan ketertiban dan kedamaian?
                    Apa yang penulis kemukakan diatas adalah contoh kecil  bahwa hukum ternyata sering  menimbulkan kekacauan. Bila kita lihat kebelakang ternyata masyarakat pada masa dulu bisa hidup dengan tenang tanpa ada hukum, Masyarakat dapat mengelola lahan dan mengambil hasil hutan tanpa harus dikenai sanksi melanggar undang-undang kehutanan. Persoalan-persoalan atau konflik  dalam masyarakat  ternyata bisa selesai dan masyarakat dapat hidup tenang kendati tanpa  hukum. Hal ini membuktikan bahwa penyelesaian sengketa secara adat jauh lebih menyentuh perasaan hukum (rechtgevol) masyarakat ketimbang penyelesaian melalui hukum modern.
                    Prof. Soedjito Rahardjo telah mengungkapkan tulisan Kathryn E. Neilson tentang bagaimana keadaan diluar hukum ternyata masih ada ketertiban. Contoh ini terjadi di Kamboja sebagaimana ditulis Kathryn E.Neilson.
                    Pada tahun 1975 di Kamboja Parta Demkratik Kamboja  (khemer Merah) mengambil alih kekuasaan dan menghancurkan semua institusi tradisional yang ada dalam rangka membangun suatu masyarakat Marxis. Semua rakyat diperkotaan dan yang berpendidikan hampir semua dibabat habis, Pengadilan, Fakultas Hukum dan lain-lain dihancurkan. Buku-buku dimusnahkan, Hakim, advokat dan para gurubesar  dibunuh atau melarikan diri. Sehingga dari 400-600 tenaga hukum profesional yang ada pada tahun 1979 telah menyusut dan tinggal enam sampai 12 orang saja. Kondisi ini menjadikan Kambojo merosot menjadi suatu negara tanpa hukum. Ternyata walaupun keadaan Kamboja demikian kehidupan tetap berjalan kendati hukum ambruk sama sekali. Ini berarti diluar hukum ternyata masih ada ketertiban.
                    Tidak dapat dipungkiri penyelesaian sengketa dalam masyarakat tidak selamanya bisa diselesaikan di pengadilan. Hukum modern saat ini telah menjadikan pengadilan sebagai sarana untuk mencari pemenang, pengadilan tidak lagi sebagai institusi yang memberikan keadilan. Ketika terjadi perdebatan antara Hakim, Jaksa dan advokat diruang sidang tidak lain merupakan perdebatan yang hendak membuktikan siapa yang lebih unggul. Tidak lagi perdebatan untuk mencari kebenaran atau keadilan.
                    Pergulatan terbesar manusia dalam hidupnya adalah pergulatan dalam mencari atau menciptakan keadilan dalam masyarakat. Lalu apabila hukum (modern) itu sendiri telah menciptakan ketidak teraturan apakah masih dapat dikatakan hukum. Jadi dalam konteks ini perlu kita pikir ulang apakah hukum modern yang telah kita terapkan saat ini yang sebenarnya jauh dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat masih terus dipertahankan. Tanpa hukum yang ada saat ini masyarakat Indonesia telah hidup tertib, lalu kenapa saat ini dengan menerapkan hukum modern masyarakat merasa hukum itu sebagai hal asing?    

Kamis, 14 April 2011

Kewenangan Kejaksaan Menyidik Korupsi


MENYOAL KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM
PENYIDIKAN KORUPSI

                    Eksistensi kejaksaan sebagai penyidik dalam perkara tindak pidana korupsi tidak sepenuhnya dapat dipahami dengan satu pendapat. Sebab faktanya dalam praktek peradilan ada pengadilan yang tidak dapat menerima alasan bahwa jaksa berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Misalnya kita pernah mendengar putusan pengadilan negeri Ciamis Jawa Barat  yang  membebaskan terdakwa dalam perkara atas nama terdakwa Jamaluddin dengan pertimbangan bahwa kejaksaan tidak berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.[1] Berita ini tentunya sangat mengejutkan semua kalangan, bahkan kalangan anti korupsi sangat menyesalkan putusan pengadilan negeri Ciamis tersebut. Yang menjadi persoalan bagi penulis adalah bahwa pengadilan sendiri ternyata memiliki pandangan beragam mengenai kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
                    Sampai saat inipun mengenai kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi tetap dipersoalkan, dan saat ini  sedang dilakukan  uji materil di Mahkamah Konsititusi. Dalam sidang ini yang dipersoalankan adalah eksistensi dari Pasal 30 huruf d Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. yaitu mengenai kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana tertentu yaitu tindak pidana korupsi. Dalam tulisan ini penulis akan coba melakukan kajian juridis normatif tentang kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi.
                    Sejak berlakunya KUHAP, kewenangan penyidikan jatuh ketangan kepolisian Repulbik Indonesia.  Pasal 6 KUHAP menyebutkan penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, ini berarti bahwa kepolisian adalah penyidik tunggal didalam KUHAP.  Akan tetapi dalam aturan peralihan pasal 284 ayat (1) KUHAP   menyebutkan dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualiann untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi
                    Dapat dikatakan bahwa sejak berlakunya KUHAP, maka dasar hukum yang dimiliki oleh Kejaksaan selaku penyidik dalam tindak pidana koruspi adalah pasal 284 ayat (1) KUHAP. Dalam pasal tersebut dikatakan : dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.
Lalu dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ketentuan khusus adalah ketentuan yang menyangkut pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi (UU nomor 7 Drt tahun 1955 dan UU tentang Pemberantasan tindak Pidana korupsi.
                    Akan tetapi untuk tidak menimbulkan keragaman penafsiran dalam Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1983  dalam pasal 17  secara tegas menyebutkan kejaksaan sebagai penyidik untuk tindak pidana tertentu (korupsi). Untuk lebih lengkapnya isi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
“Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud  dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa, dan pejabat Penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
                    Pasal inilah yang menjadi acuan untuk memberikan kewenangan kejaksaan bertindak selaku penyidik tindak pidana korupsi. Dalam pasal tersebut sebenarnya ada pembatasan yaitu dengan adanya redaksi “sementara”.  Kenyataannya setelah sekian banyak ketentuan mengenai undang-undang tindak pidana korupsi mulai dari undang-undang nomor 3 tahun 1971, UU nomor 31 tahun 1999 sampai dengan UU nomor 20 tahun 2001 tidak ada penyebutan secara tegas tentang apakah kejaksaan memiliki kewenangan untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
                    Oleh karena itu timbulah pelbagai macam penafsiran tentang apakah kejaksaan memiliki kewenangan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Keragaman penafsiran ini pulalah yang barang kali melahirkan putusan pengadilan negeri Ciamis tersebut yang menyatakan kejaksaan tidak berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
                    Apakah memang kejaksaan memiliki kewenangan dalam penyidikan tindak pidana korupsi? Untuk menjawab persoalan ini, maka perlu dilakukan pengkajian secara juridis normatif, artinya akan dilihat apakah memang dalam ketentuan perundang-undangan yang ada dinegara Indonesia ada ketentuan yang mengatur tentang keweangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi.
                    Oleh karena itu penulis dalam makalah ini akan melihat dari aspek juridis normatif mengenai kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Adapun permasalahan yang hendak penulis angkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Apa yang menjadi tugas dan kewenangan kejaksaan baik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia maupun dalam sistem peradilan pidana.
2.    Dalam penanganan tindak pidana korupsi, secara juridis normatif apakah ada dasar hukum kejaksaan dalam melakukan penyidikan tidak pidana korupsi, atau apakah kejaksaan adalah selaku penyidik tunggal dalam tindak pidana korupsi?
                    Demikian permasalahan yang penulis angkat dalam makalah ini, dan selanjutnya penulis akan bahas pada bab-bab berikut ini.
A.   Tugas dan Kewenangan Kejaksaan
                    Tugas dan kewenangan kejaksaan secara juridis formal terdapat didalam undang-undang nomor 16 tahun 2004 yaitu pasal 30 ayat 1-3. Dari isi pasal 30 tersebut maka tugas dan kewenangan kejaksaan dapat dibagi kedalam tiga bagian yaitu :
  1. Dibidang Pidana, kejaksaan mempunyai tuas dan wewenang, a)melakukanpenuntutan; b) melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d) melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
  2. Dibidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah.
  3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan : a)peningkatan kesadaran hukum masyarakt; b) pengamanan kebijakan penegakan hukum; c)pengamanan peredaran barang cetakan; d)pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; dan e)penegahan penyalahgunaan dan / atau penodaan agama; f) penelitian dan pengembangan hukum serta statistic criminal.
                    Disamping itu kejaksaan juga memiliki tugas-tugas lain yaitu  seperti diatur dalam pasal 31, 33 dan 34 UU nomor 16 tahun 2004  yaitu : 
a.    kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seseorang terdakwa dirumahsakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak
b.    Membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan badan Negara lainnya;
c.    Dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya;
                    Disamping tugas dan kewenangan kejaksaan, khusus Jaksa Agung oleh UU nomor 16 tahun 2004 juga mengatur tugas dan kewenangan Jaksa Agung yaitu didalam pasal 35, 36,37 UU nomor 16 tahun 2004.
                    Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan secara eksplisit telah menyebutkan secara tegas bahwa kejaksaan memiliki kewenangn dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d yaitu melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana tertentu adalah tindak pidana Korupsi dan Pelanggaran HAM. Dengan bunyi Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 tahun 2004 maka secara juridis formil kejaksaan telah memiliki kewenangan dalam hal melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi dan Pelanggaran HAM.
B.      Kedudukan Jaksa Penuntut Umum dalam Sistem Peradilan Pidana
                    Pada setiap negara selalu mempunyai sisten peradilan pidana. Pada setiap negara didunia ini selalu mempunyai sistem peradilan pidana yang berbeda, dan perbedaan ini memberi pengaruh terhadap efektifitas pencegahan kejahatan atara satu sistem peradilan pidana disuatu negara dengan sistem peradilan pidana dinegara lain.[2]
                    Adanya perbedaan efektivitas pencegahan kejahatan dalam suatu negara bisa jadi disebabkan adanya campur tangan yangl ebih dari pemerintahnya, dapat pula oleh system otoriter dari pemerintahannya, bahkan ideologi suatu negara dapat mempengaruhi efektivitas pencegahan kejahatan, dan semua itu tergantung pula dari pada sistem peradilan pidana dari negara-negara tersebut.[3]
                    Sejak berlakunya KUHAP, maka sistem peradilan pidana yang dianut dalam negara kita adalah sistem peradilan pidana terpadu (integreted creminal justice system.  Sistem terpadu tersebut diletakan diatas landasan “diferensiasi fungsional” diantara aparat penegak hukum  sesuai dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-undang kepada masing-masing.[4] Sehingga aktivitas pelaksanaan criminal justice system  merupakan fungsi gabungan (ollection of fungction) dari, Legislator, Polisi, Jaksa, Pengadilan, dan Penjara.
                    Bila kita lihat ketentuan dalam pasal 1 undang-undang nomor 14 tahun 1970 yang sekarang menjadi undang-undang nomor 4 tahun 2004 menyebutkan “Kekuasaan kehakiman adalah kekusaaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum  dan keadilan berdasarkan  Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indondesia.” Isi ketentuan dalam pasal 1 UU Nomor 14 tahun 1970 bila dikaitkan dengan pasal 24 UUD 1945 ada sedikit perbedaan. Pasal 24 UUD 1945 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Selanjutnya dalam penjelasan UUD 1945 ditegaskan, bahwa kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan.
                    Perbedaan yang terdapat dari ketentuan dalam UU nomor 14 tahun 1970 sebagaimana yang telah diubah dalam UU nomor 4 tahun 2002 dengan pasal 23 UUD 1945 adalah bahwa pasal 1 UU nomor 14 tahun 1970 kekuasaan kehakiman hanya menyelenggarakan peradilan, sehingga disini proses law enforcement hanya sebatas pada proses dipengadilan. Padahal kalau mau jujur proses penegakan hukum (law enforcoment) itu sifatnya konfrehensif. Tidak  hanya sebatas proses persidangan dipengadilan, tapi telah dimulai dari proses penyelidikan oleh penyelidik dan penyidik. Disamping itu bentuk dari penegakan hukum tidak terletak pada proses persidangan dipengadilan saja, tapi juga termasuk semua bentuk kebijakan aparat penegak hukum yang sifatnya juga adalah preventif.
                    Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, kedudukan Kejaksaan memiliki peran sentral. Hal ini tidak terlepas dari kewenangan yang dimiliki kejaksaan dalam hal menentukan apakah suatu perkara dapat atau tidak diajukan kemuka persidangan. Kekuasaan untuk menentukan apakah suatu perkara dapat diteruskan atau tidak kepersidangan berdasarkan alat bukti yang sah merupakan Dominus litis yang dimiliki kejaksaan dinegara Indonesia.[5]
                    Berdasarkan hal tersebut sejatinya kejaksaan dalam proses penyelidikan dan penyidikan suatu perkara sudah harus terlibat, jadi tidak hanya sebatas berkas perkara yang dikirimkan oleh penyidik Polri untuk diteliti oleh Jaksa. Jika demikian jaksa akan sulit untuk mengarahkan suatu perkara menuju pengumpulan alat bukti yang memadai guna menyidangkan perkara kepengadilan.
                    Perbedaan mendasar HIR dengan KUHAP sehubungan dengan kedudukan kejaksaan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, dimana kejaksaan pada masa berlakunya  KUHAP tidak lagi bertindak selaku kooridinator penyidikan. Dimana pada masa berlakunya HIR (sebagai hukum acara pidana), penyidikan dianggap bagian dari penuntutan. Kewenangan yang demikian menjadikan Penuntut Umum (Jaksa) sebagai kooridnator penyidikan, bahkan Jaksa dapat melakukan penyidikan sendiri.
                    Dalam KUHAP, kewenangan kejaksaan (penuntut umum) sebagaimana disebutkan dalam pasal 14 KUHAP butir b, menyebutkan, “mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidian dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.’
                    Dalam pasal 14 KUHAP butir b tersebut tidak menggunakan penyidikan lanjutan yang biasa dikenal dalam HIR, namun dalam KUHAP menyebutkannya dengan istilah prapenuntutan. Andi Hamzah berpendapat pembuat Undang-undang  (DPR) terkesan menghindari kesan seakan-akan jaksa atau penuntut umum mempunyai wewenang penyidikan lanjutan, sehingga hal tersebut disebut prapenuntutan[6]
                    Andi Hamzah perpendapat bahwa petunjuk untuk menyempurnakan penyidikan merupakan bagian dari penyidikan, sehingga penyidikan dan penuntutan tidak dapat dipisahkan.[7] Sehingga dengan demikian sebenarnya kejaksaan (jaksa Penuntut Umum) merupakan penyidik dalam perkara tindak pidana apapun. Dan penulis berpendapat hal ini merupakan kelemahan dari KUHAP, semestinya dalam penyidikan jaksa harus terlibat secara sebagaimana pada masa berlakunya HIR.
C.   Dasar hukum kejaksaan selaku penyidik tindak pidana korupsi
                    Sebagaimana pada awal tulisan ini yaitu pada bagian pendahuluan penulis telah mengutip suatu putusan pengadilan negeri Ciamis yang berpendapat bahwa Kejaksaan (Jaksa) tidak berewenang secara juridis dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Alasan hakim pada saat itu adalah merujuk pda pada pasal 26 UU nomor 31 tahun 1999 yang menyebutkan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam UU dan hal ini dikaitkan dengan pasal 6 KUHAP yang menyebutkan penyidik adalah pejabat polisi negara dan PPNS tertentu yang diberi wewenang khusus.  Berdasarkan hal tersebut pengadilan negeri Ciamis menolak pelimpahan perkara yang diajukan dalam hal penyidikannya dilakukan oleh jaksa.
                    Lalu, apakah dengan demikian penyidikan yang selama ini  dilakukan oleh Kejaksaan dianggap tidak sah?  Pada bagian ini penulis akan coba melihat atau melakukan kajian secara normatif, bagaimana kewenangan kejaksaan sesungguhnya dalam hal melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
                    Sejak berlakunya KUHAP pada tanggal 31 Desember 1981, sesuai dengan pasal 6 KUHAP, maka yang dimaksud dengan penyidik adalah pejabat kepolisian negara R.I dan Pejabat pegawai Negeri Sipil yang diberi kewenangan khusus (dalam hal ini tidak termasuk kejaksaan), sehingga di negara R.I ini Kepolisian merupakan penyidik tunggal terhadap perkara apapun.
                    Didalam peraturan peralihan KUHAP yaitu pasal 284 ayat (2)  disebutkan : “Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualiaan untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.”
                    Lalu dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ketentuan khusus adalah ketentuan yang menyangkut pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi (UU nomor 7 Drt tahun 1955 dan UU tentang Pemberantasan tindak Pidana korupsi.
                    Akan tetapi untuk tidak menimbulkan keragaman penafsiran dalam Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1983  dalam pasal 17  secara tegas menyebutkan kejaksaan sebagai penyidik untuk tindak pidana tertentu (korupsi). Untuk lebih lengkapnya isi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
“Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud  dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa, dan pejabat Penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
                    Bahwa pada saat berlakunya KUHAP, dimana ditetapkan bahwa tugas-tugas  penyidikan diserahkan sepenuhnya  kepada penyidik sebagaimana diatur  dalam pasal 6 KUHAP, maka kejaksaan tidak lagi berwenang untuk melakukan penyidikan  terhadap perkara-perkara tindak pidana umum. Namun demikian, sesuai dengan ketentuan pasal 284 ayat (2) KUHAP Jo pasal 17 Peraturan Pemerintah  nomor 27 tahun 1983, Jaksa masih berwenang untuk melakukan penyidikan  terhadap tindak pidana tertentu (tindak pidana khusus).
                    Disamping PP nomor 27 tahun 1983 tersebut yang menjadi dasar hukum kejaksaan melakukan penyidikan adalah pasal 2 TAP MPR Nomor : XI/MPR/1998 tanggal 13 Nopember 1983 yang secara eksplisit mengakui eksistensi kejaksaan Republik Indonesia sebagai penyidik tindak pidana korupsi dan menugaskan kejaksaan untuk melakukan akselerasi dalam pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Bahkan dengan berlakunya Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan sebagaimana diatur dalam pasal 30 ayat (1) huruf d yang menyebutkan :
Tugas dan kewenangan Jaksa adalah : “Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan UU”.
                    Dalam penjelasannya dinyatakan yang dimaksud dengan tindak pidana tertentu berdasarkan UU adalah sebagaimana diatur dalam UU Nomor : 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM dan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Korupsi Jo UU Nomor 20 tahun 2000 Jo UU Nomor : 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
                    Seperti telah disebutkan dimuka adanya putusan pengadilan negeri Ciamis tersebut setidaknya telah menimbulkan keragaman putusan pengadilan atas suatu hal dan objek yang sama. Memang belum dapat dipastikan adanya jurisprudensi tetap yang dapat dijadikan pedoman dalam menjawab dengan pasti mengenai kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
                    Mahkamah Agung telah memberikan jawaban untuk menanggapi persoalan hukum tersebut dengan mengeluarkan pendapat/fatwa nomor KMA/102/III/2005 tanggal 9 Maret 2005, dimana pada pokonya fatwa tersebut berpendirian bahwa jaksa mempunyai kewenangan untuk menyidik perkara tindak pidana korupsi sesudah berlakunya UU Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang nomor 20 tahun 2001 dengan dasar :
-          Pasal 26 UU nomor 31 tahun 1999 ju undang-undang nomor 20 tahun 2001
-          Pasal 27 UU nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang nomor 20 tahun 2001.
-          Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan penjelasannya.
-          Pasal 17 PP Nomor 27 tahun 1983
-          Pasal 30 ayat (1) huruf d UU nomor 16 tahun 2004. (sumber Varia Peradilan ke-XXI nomor 243 Pebruari 2006, hal. 34).
                    Melalui fatwa Mahkamah Agung ini didapat konstruksi hukum yaitu bahwa berdasarkan pasal 26 UU nomor 31 tahun 1999 Jo. UU nomor 20 tahun 2001 penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum Acara Pidana  (KUHAP), sehingga oleh karena KUHAP ada aturan pasal 284 ayat (2) KUHAP dan penjelasannya jo pasal 17 PP nomor 27 tahun 1983 maka jelas jaksa memiliki kewenangan dalam menyidik tindak pidana korupsi.




[1] kompas, 26 Juni 2007
[2] Loeby loqman, SH MH, Praperadilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hal.15
[3] loc.cit
[4] Yahya Harahap, Pemabahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, Hal 90
[5] Marwan Efendi, Kejaksaan R.I, Posisi dan fungsinya dalam Perspektif Hukum, Gramedia, 2005, hal. 105
[6] Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, 1983, Ghalia Indonesia, hal.159
[7] ibid

Pengadilan Tipikor


KPK DAN PENGADILAN TIPIKOR

       Sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 19 Desember 2006 melahirkan kritik pedas dari beberapa kalangan. Dapat dicatat penyesalan yang  timbul terhadap putusan MK tersebut, misalnya ada yang menganggap bahwa putusan MK tersebut  sebagai putusan kontraproduktif dan ada pula yang  menganggap sebagai penghambat upaya pemberantasan korupsi.    MK dianggap  memiliki andil menghalangi upaya pemberantasan korupsi. Sehingga ada yang berpendapat bahwa dengan putusan MK tersebut pengadilan Tipikor telah di “bunuh”.   
       Sebenarnya bila dilihat isi putusan   MK tanggal 19 Desember 2006 tidaklah bermaksud membubarkan pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). Sebenarnya putusan MK lebih bersifiat putusan koreksi (a verdict of correction) karena MK merasa bahwa  pembentukan Pengadilan Tipikor   bertentangan dengan UUD 1945. Alasannya adalah keberadaan pengadilan Tipikor sebagai ”cantelan” dari UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK tidak dapat dibenarkan.
       Pasal 53 UU Nomor 30 tahun 2002 mensyaratkan perlu dibentuk pengadilan khusus yang mengadili perkara tindak pidana Korupsi. Keberadaan pengadilan Tipikor yang dibentuk berdasarkan undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK itulah yang dianggap oleh MK tidak sesuai dengan maksud dari UUD 1945. Pasal 24 A ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa susunan, kedudukan dan hukum acara Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang.
       Atas dasar itulah maka MK meminta agar DPR bersama Pemerintah segera membuat Pengadilan Tipikor berdasarkan Undang-undang. MK tidak serta merta menyatakan pengadilan tipikor dibubarkan sejak putusan, akan tetapi MK telah memberikan tenggang waktu selama 3 tahun untuk memberikan kesempatan kepada DPR dan pemerintah untuk  membentuk undang-undang mengenai pengadilan Tipikor.  
       Masalah yang dihadapi adalah bahwa setelah diberi tenggang waktu selama 3 tahun oleh Mahkamah Konstitusi, ternyata sampai saat ini (kurang dari dua bulan lagi batas akhir tanggal 19 Desember 2009) undang-undang Pengadilan tipikor tidak juga kunjung selesai dibuat. Keadaan demikian  melahirkan wacana bahwa bila UU pengadilan Tipikor tidak juga selesai, maka KPK tidak dibenarkan lagi melakukan penuntutan, karena dianggap tidak sah. Oleh karena itu banyak kalangan mewacanakan agar Presiden mengeluarkan Perpu untuk pembentukan Pengadilan Tipikor tersebut.
       Apakah memang benar wacana yang mengatakan bahwa bila undang-undang pengadilan Tipikor tidak selesai pada batas waktu yang telah ditentukan mengakibatkan KPK tidak berwenang lagi melakukan penuntutan? Masalahnya tidak sesederhana itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas, kita perlu mengkaji, apakah maksud dari Undang-undang KPK nomor 30 tahun 2002 memang mensyaratkan bahwa KPK hanya diberikan kewenangan untuk melakukan penuntutan di Pengadilan Tipikor.
       Pasal 52 ayat (1) UU KPK menyebutkan Penuntut Umum setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut wajib melimpahkan berkas perkara tersebut ke Pengadilan Negeri. Selanjutnya ayat (2) menyebutkan bahwa Ketua Pengadilan Negeri Wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diperiksa dan diputus.
       Ketentuan tersebut diatas jelas menyebutkan pelimpahan perkara korupsi oleh Penuntut Umum KPK adalah kepada Pengadilan Negeri, tidak menyebutkan kepada Pengadilan Tindak Pidana korupsi. Selanjutnya bila kita lihat ketentuan dalam BAB VII UU KPK dengan titel pemeriksaan disidang Pengadilan, ternyata bila dibaca mulai dari Pasal  53 sampai dengan Pasal 63 tidak ada berbicara tentang pemeriksaan disidang Pengadilan, tapi membahas mengenai pembentukan pengadilan Tipikor. Pasal 63 hanya menegaskan proses persidangan di Pengadilan Tipikor tetap mengacu pada ketentuan dalam KUHAP.
       Mencermati hal tersebut diatas, ternyata pelimpahan perkara ke Pengadilan Negeri oleh KPK tidaklah bertentangan dengan UU KPK. Seterusnya bila pengadilan Tipikor tidak ada, maka tentu proses pelimpahan perkara adalah ke Pengadilan Negeri. Oleh karena itu wacana yang mengatakan bahwa bila UU Pengadilan Tipikor tidak jadi terbentuk maka KPK  tidak berwenang melakukan penuntutan adalah tidak berdasar sama sekali. Indriyanto Seno Adji juga mengatakan bahwa KPK tetap harus melakukan penegakan hukum yaitu melakukan penuntutan, pelimpahan dan penyidikan perkara seperti biasa kendati RUU Pengadilan Tipikor tidak selesai dibahas hingga DPR Periode 2004-2009 mengakhiri tugasnya.(kompas, 20-08-2009)
       Begitupula dengan wacana yang mendesak agar Presiden mengeluarkan Perpu untuk mengatasi kegagalan pembentukan pengadilan Tipikor sama sekali tidak berdasar juga. Perpu yang dikeluarkan oleh Presiden harus memiliki kriteria yaitu dalam hal keadaan darurat atau dalam hal kegentingan yang memaksa.  Permasalahannya apakah kegagalan pembentukan pengadilan Tipikor merupakan keadan darurat atau  keadaan hal kegentingan yang memaksa? Apakah dengan tidak terbentuknya pengadilan Tipikor maka bubarlah KPK?
       Pengertian hal kegentingan yang memaksa menjadi syarat mutlak bagi Presiden untuk mengeluarkan Perpu. Penafsiran mengenai hal kegentingan yang memaksa tersebut dalam praktek  kadang kala memang menjadi bias dan tidak jelas. Untuk melihat batasan ”hal ihwal kegentingan yang memaksa” dapat dilihat pendapat Prof. Bagir Manan dalam bukunya teori dan Politik konstitusi. Dikatakannya bahwa hal ilhwal kegentingan yang memaksa tersebut harus bisa dibuktikan secara nyata oleh Presiden. Jika keadaan hal ihwal kegentingan yang memaksa itu tidak dapat dibuktikan secara nyata oleh Presiden, maka Perpu tersebut batal demi hukum, karena bertentangan dengan asas legalitas yaitu dibuat tanpa wewenang. Hal ihwah kegentingan yang memaksa harus menimbulkan bahaya atau hambatan secara nyata terhadap kelancaran fungsi pemerintahan. 
       Seperti yang telah diuraikan diatas ternyata keberadan KPK tidak tergantung kepada keberadan pengadilan Tipikor, karena KPK dalam melimpahkan perkara korupsi dapat dilakukan ke Pengadilan Negeri (umum). Maka   keadaan tentang ”hal ihwal keggentingan yang memaksa” dalam hal ini tidaklah dapat diterima. Oleh karena itu Presiden tidak perlu mengeluarkan Perpu untuk membentuk Undang-undang Pengadilan tipikor.
       Satu hal yang patut disayangkan adalah sikap politik DPR, dimana kendati telah diberikan tenggang waktu 3 tahun oleh MK ternyata tidak dimanfaatkan untuk segera membentuk UU pengadilan Tipikor. Justru yang terjadi mengulur-ulur waktu hingga batas waktu  hampir habis. Pembentukan suatu undang-undang yang dilakukan secara tergesa-gesa akan berakibat jelek, dimana undang-undang yang dirumuskan  tersebut nantinya  bisa kurang baik.